Pemandangan Pelataran Gunung Padang dari Undakan Kedua |
Rute menuju Gunung Padang sesungguhnya bisa diakses melalui kota Cianjur maupun kota Sukabumi. Perjalanan untuk mencapai tempat ini
kami mulai dari kota Bandung. Kami menggunakan kendaraan pribadi. Selepas kota
Cianjur, pada jarak 11 kilometer, kita akan sampai di daerah bernama Warung
Kondang. Sebuah pertigaan kecil ke kiri jadi arah yang harus kita tuju.
Penandanya adalah sebuah mini market dan
papan penunjuk arah ke Gunung Padang.
Dari pertigaan ini jarak ke Gunung Padang sekitar 20 kilometer. Ruas jalannya sebagian sedang dilakukan pengecoran. Meski muat dua mobil, rute yang berkelak-kelok membuat kita harus hati-hati. Mendekati lokasi Gunung Padang, kita akan disambut dengan pemandangan khas ketinggian, yaitu kebun teh. Meski melewati beberapa simpang jalan, selalu tersedia petunjuk jalan agar kita tidak tersesat.
Dari pertigaan ini jarak ke Gunung Padang sekitar 20 kilometer. Ruas jalannya sebagian sedang dilakukan pengecoran. Meski muat dua mobil, rute yang berkelak-kelok membuat kita harus hati-hati. Mendekati lokasi Gunung Padang, kita akan disambut dengan pemandangan khas ketinggian, yaitu kebun teh. Meski melewati beberapa simpang jalan, selalu tersedia petunjuk jalan agar kita tidak tersesat.
Lapangan Parkir Mobil |
Gerbang Utama Gunung Padang |
Jalan berkelok, naik-turun, dan
melewati beragam lingkungan itu berakhir di sebuah lapangan parkir. Dengan
sigap seorang pemuda desa membantu saya memarkirkan mobil. Selembar tiket yang
dikeluarkan oleh pemerintah desa harus saya tebus sebesar Rp.10 ribu rupiah.
Tak bisa dibilang murah untuk sebuah retribusi parkir di tempat terpencil ini. Bagi pengendara motor, kalian bisa parkir di
dekat gerbang loket Gunung Padang.
Hari telah menunjukkan pukul 14.00
WIB, artinya perjalanan kami sekeluarga dari Bandung memakan waktu 5 jam.
Perjalanan kami memang terhambat dua kali. Perbaikan jalan di daerah Cipapat
dan pengecoran jalan Cianjur – Gunung Padang mengakibatkan perjalanan kami harus
berhenti hampir 2 jam. Artinya, jika tanpa hambatan tersebut, jarak sejauh
100-an kilometer dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Sebuah waktu tempuh yang
wajar.
Gunung Padang, demikian nama tujuan
kami. Belakangan di depan namanya disematkan predikat Situ Megalitikum. Nama
yang diambil dari dusun tempat kawasan ini berada, belakangan tenar di kalangan
pecinta wisata. Dibumbui oleh cerita-cerita bombastis, Gunung Padang telah
menjadi destinasi bagi wisatawan yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Keberadaan situs ini sebenarnya
sudah diendus sejak jaman kononial Belanda. Adalah Rapporten van de
Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan")
mewartakannya pada tahun 1914. Sejarawan Belanda, N.
J. Krom juga telah
menyinggungnya pada tahun 1949. (https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang). Pemerintah Indonesia mulai tahun
1979 telah dilapori mengenai situs tersebut. Sejak itulah studi mengenai Gunung
Padang mulai dilakukan.
Lokasi yang terletak di ketinggian 900
dpl ini mulai tenar sejak tahun 2011. Saat itu tim katastrofi yang dibentuk
oleh kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana menyatakan
bahwa Gunung Padang adalah hasil karya manusia, bukan hasil sebuah fenomena
alam. Sejak saat itu beragam teori muncul dan didengungkan. Bentuknya juga
dikaitkan dengan piramida di Mesir sana.
Kelar mengisi perut dengan nasi
berlauk ikan di warung samping lapangan parkir, kami meneruskan perjalanan. Harga
makanan di sini tidak bisa dibilang murah. Seport nasi berlauk ikan Mas goreng
diharga Rp.16 ribu. Seorang pria menawari kami jasa ojek ke gerbang loket. Menurut
info yang saya dapat di internet, jasa ojek dari parkiran mobil ke gerbang
loket sebesar Rp.25 ribu. Penjaga warung bilang bahwa jaraknya hanya 1
kilometer. Kami sekeluarga sepakat untuk jalan kaki. Baru menapaki tikungan
pertama, 2 orang tukang ojek menawari kami jasa mereka dengan ongkos hanya Rp.5
ribu. Istri saya goyah, saya tidak.
Benar saja, kami hanya butuh waktu
10 menit untuk tiba di gerbang loket. Ruas jalan dari parkiran mobil ke gerbang
loket berupa jalan beraspal dan muat dilalui mobil, namun memang mobil pelancong
tidak diijinkan untuk masuk sampai ke depan loket. Area parkiran di dekat
gerbang loket dikhususkan untuk sepeda motor.
Lapangan parkir sepeda motor di dekat gerbang utama |
Loket Pembayaran Retribusi Gunung Padang |
Dengan harga tiket sebesar Rp.5 ribu
per orang, Gunung Padang dibuka 24 jam. Begitu memasuki gerbang utamanya, kami
disambut sebuah perigi. Namanya Sumur Kahuripan. Airnya jernih. Selain
pengunjung, penduduk setempat memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. Di
sebelah kanan perigi tersebut, 2 buah jalur pendakian disediakan buat
pengunjung. Jalur sebelah kiri terbuat dari undakan batu andesit yang disusun
menjadi anak tangga. Jaraknya sekitar 175 meter. Untuk mendakinya butuh stamina
yang baik, karena sudutnya amat curam. Pengelola menyediakan pegangan besi di
sisi kiri-kanan.
Jalur sebelah kanan terbuat dari beton. Jalurnya lebih landai dan memutar. Jaraknya lebih kurang 300 meter. Jalur ini sebetulnya didesain untuk pengunjung yang turun dari puncak, namun di saat pengunjung tak ramai, mereka bebas memilih jalur pendakiannya.
Sumur Kahuripan |
Jalur pendakian Gunung Padang |
Jalur pendakian sebelah kiri yang curam |
Begitu memasuki area puncak, sebuah
pemandangan yang menakjubkan akan menyambut kita. Yang pertama kali akan kita
tapaki adalah pelataran seukuran dua kali lapangan bola voli. Hamparan dipenuhi
oleh tumpukan balok batu di atasnya. Bentuk balok tersebut amat mirip.
Berbentuk segi lima dan sepanjang sekitar 1 meter, balok itu ada yang tersusun
dalam formasi tertentu, ada pula yang tertumpuk di bagian tengah bidang. Sebuah
pohon menjulang tinggi di pinggir sengkedan tersebut seolah menyambut
kedatangan siapa saja.
Bidang tersebut merupakan undakan
pertama dari 3 undakan di kawasan ini. Luas ketiganya relatif sama. Sebaran
batunya pun mirip, baik yang yang berpola maupun yang tidak berpola. Di bidang
kedua terdapat sebuah formasi batu yang mirip formasi meja rapat. Ada sebuah
batu yang diduga sebagai bangku pimpinan/ raja, dan ada batu yang diduga
sebagai tempat duduk peserta pertemuan. Dari tempat duduk raja pandangan kita
akan mengarah lurus ke sebuah puncak bukit di sebelah barat laut.
Lereng yang memisahkan antara undakan pertama dan undakan kedua |
Bagian dari situs Gunung Padang yang diberi pagar pembatas agar pengunjung berhati-hati |
Bukan Indonesia jika tidak
menyajikan kemudahan. Tepat di samping tiga undakan luas ini terdapat deretan
warung. Warung-warung tersebut menjajakan makanan dan minuman ringan. Yang
patut diacungi jempol adalah ketersediaan tempat sampah di setiap sudut
kawasan. Sebuah bangunan permanen juga disediakan pengelola untuk berteduh,
bermeditasi, atau bahkan bermalam. Bangunan yang lain difungsikan sebagai
tempat para seniman dan pengurus desa untuk memainkan alat musik tradisional
dan menjajakan kopi khas daerah tersebut.
Bangunan tempat para seniman berkumpul |
Bangunan multi fungsi, bisa untuk meditasi, gardu pandang, atau menginap |
Kopi seberat 150 gram itu dikemas
dengan apik dan dijual seharga Rp.35 ribu. Mereka juga menjual gula semut,
sebuah gula Aren yang ditumbuk halus. Gula ini digunakan sebagai pemanis kopi. Saya
meminta mereka menyeduhkan 1 cangkir kopi. Rasanya memang nikmat, apalagi
ditingkahi tiupan angina sepoi dan alunan musik merdu.
Tak butuh waktu lama untuk
menjelajahi kawasan ini. Yang membuat kita berlama-lama adalah keindahan dan
pesona alamnya. Setiap sudut menyajikan pemandangan yang berbeda. Ditambah
lagi, posisinya berada di atas bukit, sehingga kita diberi pemandangan 360
derajat.
Susunan batu yang amat tertata |
Penampakan undakan kedua Gunung Padang |
Aktivitas pengunjung Gunung Padang |
Yang menjadi kendala adalah sarana
transportasi umum menuju ke sana. Selepas dari jalan Raya Cianjur – Sukabumi,
tersedia angkutan desa rute nomor 43. Ongkosnya Rp.5 ribu rupiah. Sayangnya angkutan
tersebut tidak sampai ke lokasi. Angkutan desa tersebut hanya sampai ke
Cipanggulan. Dari Cipanggulan harus naik ojek ke lokasi dengan tarif Rp.50 ribu
rupiah per orang. Hal ini tentu saja menjadi kendala tersendiri bagi pelancong
wanita dan anak-anak.
Hari sudah menjelang petang saat
kami meninggalkan tempat itu. Sumur Kahuripan menjadi oase yang menyejukkan. Airnya
amat segar saat membasahi muka kami. Meski secara resmi Gunung Padang belum
dibuka untuk umum, ribuan orang telah menebar pandang di sana.
Selamat berwisata.
No comments:
Post a Comment