Friday, October 19, 2018

Derik



Laras tak acuh saat Lasri mendekatinya dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa Lasri punya maksud tertentu. Kemungkinannya selalu dua, pinjam bedak atau mengantarkan titipan.
“Ras, ada titipan…..,” wajah Lasri seolah menyeringai.
Laras bergeming. Matanya tetap menatap ke arah gunung Sambi. Gunung yang memisahkan antara desanya dengan desa Suru itu tampak membiru. Sebuah jalan membelah gunung itu, menghubungkan Tirtomoyo dan Jatiroto. Jalan yang baru berusia beberapa tahun itu kondisinya tak bisa dibilang layak. Selain menanjak dan berkelok  tajam, jalan itu tak berlapis aspal. Yang bisa lewat hanya pejalan kaki dan pedati kayu.
“Siapa yang menitipimu, Sri?”
“Sular, Ras,” jawab Lasri sembari mengulurkan tangan.
Amplop berwarna “jambon” itu segera berpindah tangan. Laras menarik nafas dalam-dalam. Ini adalah surat ketiga yang ia terima seminggu ini. Ketiganya berasal dari pria yang berbeda. Gito, Domo, dan terakhir Sular. Dua surat pertama belum ada yang ia buka. Semuanya mengendap di bawah tumpukan pakaiannya.
Perempuan paruh baya itu sedang menampi beras di teras rumah. Ia tersenyum saat melihat anaknya mendekatinya.
“Kamu dari mana, Ndhuk?”
“Dari ketemu Lasri, Buk,” jawab Laras sambil duduk di dingklik. Tangannya meraih beruk di tampah itu. Ia segera menakar beras yang sudah ditampi ibunya. Beras yang baru saja selesai ditumbuk di lesung itu harus segera dibereskan. Semakin cepat beres maka semakin pasti berapa bagian mereka.
“Sudah, biar ibuk saja yang mberesin tampahnya. Sudah sore, sana mandi, nanti belik-nya kadung penuh sama anak laki-laki.”
“Inggih, Buk,” jawab Laras sambil beranjak ke dapur. Jun yang terletak di dekat tempayan itu ia raih. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap mandi ia juga membawa air dari belik. Gentong di rumah harus diisi air.
Setiba di kali, Laras segera melukar pakaiannya. Tubuh sintal itu hanya terbalut tapih lurik peninggalan neneknya. Dengan cekatan ia menyabuni seluruh tubuhnya. Ia tak boleh berlama-lama di sana. Matahari sebentar lagi tenggelam. Belik ini akan segera menjadi kamar mandi bagi puluhan remaja yang pulang dari mencari rumput.
Dengan langkah terseok, Laras melangkah ke rumah. Tangan kanannya memegang jun yang ia sampirkan ke pinggang kanannya. Tangan kirinya memegang ember berisi pakaian dan peralatan mandi. Mendekati tikungan terakhir, Laras berdegub. Derap kaki beberapa anak muda terdengar jelas. Mereka pasti remaja yang akan mandi ke sungai seusai mencari pakan ternak.
Benar saja. Laras tak bisa menghindar dari mereka. Ada perasaan jengah yang harus ditahan saat berpapasan dengan mereka. Layaknya para remaja pria, mata mereka selalu liar. Hanya satu orang yang tak pernah berlaku seperti itu.
Laras mempercepat langkahnya. Ia tak peduli dengan beban berat di pinggang kanannya. Apa daya, tubuhnya menjadi santapan sekelompok remaja itu. Laras berjalan menunduk. Saat ia mendongak, matanya bersirobok dengan mata seorang pria. Rupanya pria itu berjalan di belakang rombongan itu.
“Ras, mau kubantu?”
“Nggak usah, Git,” jawab Laras sambil tetap berjalan.
Gito menghentikan langkahnya. Ia beringsut menepi agar Laras bisa leluasa melewatinya.
“Aku menunggu balasan suratku, Ras,” kata Gito dengan pelan.
Laras tetap melangkah dan tak menjawab sepatah pun. Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum tipis.
Bilik berdinding bambu itu hanya diterangi oleh lampu teplok. Pendaran cahayanya tak kukuh karena tiupan angin dari sela-sela dinding. Laras duduk di tepi dipan. Tangannya menyobek amplop hijau muda tak bernama itu. Tersembul selembar kertas putih bergaris. Begitu lipatannya dibuka, Laras langsung mengenali siapa pengirimnya.
“Ras, aku pikir bosku ndak adil sama karyawan baru. Kami dikasih kerjaan yang tak ada ujung pangkalnya. Sudah gitu kerjaannya datang silih berganti. Belum selesai dengan satu pekerjaan, sudah datang pekerjaan lainnya. Sementara kamu tahu, para mandor itu kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki.
Makasih atas nasehatmu tempo hari. Tapi maaf ya, Ras. Kamu memojokkanku. Kamu kan tahu, aku ndak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Kamu tahu kan, kami sekeluarga terlanjur terjerat rentenir. Pohon Cengkih bapakku sudah diijonkan lagi. Mau tak mau aku harus tetap bertahan di PeTe sialan ini..”
Laras menghela nafas. Baginya, Gito ini amat kekanak-kanakan. Hidupnya dipenuhi prasangka buruk terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Berbagai nasehat yang telah ia tuturkan kepadanya tak ada yang mempan. Gito tetaplah si pengeluh sekaligus pengecut. Kali ini Laras memutuskan untuk tak membalas surat itu. Percuma.
Laras beranjak ke amplop berwarna coklat muda. Dengan sekali renggut, ampop itu terbuka. Tak seperti biasanya, kali ini Domo hanya mengirimi selembar surat. Pria yang pintar bertutur itu tak banyak menuliskan kalimatnya.
“Ras, aku tahu Dikau tak akan mengubah sikapmu kepadaku. Hanya saja, itu pun jika Dikau tak keberatan, mbok jangan menampik rinduku to, Ras. Rasanya Dikau telah bersikap berlebihan kepadaku. Aku tak terima kenapa hanya kepadaku Dikau bersikap sekeras ini. Kenapa kepada Gito, atau bahkan Sular yang baru saja Dikau kenal, Dikau bisa menebarkan senyum, sementara ke aku tidak?
Ras, aku rindu padamu.”
Laras membenahi jarik yang menutup bagian bawah tubuhnya. Musim kemarau membuat nyamuk merebak bak laron di musim hujan. Lembaran kertas itu ia dekap. Dadanya berdesir. Ada gelegak aneh yang tiba-tiba merambati tubuhnya. Gadis berambut sebahu itu menelangkupkan wajahnya pada bantal tipis itu. Buaian hasrat melambungkan Laras ke sebentuk tubuh kukuh. Tubuh itu kini seolah memeluknya dari belakang dengan erat.
Untuk beberapa saat Laras benar-benar menenggelamkan diri dalam genangan hasratnya sendiri. Sadar bahwa masih ada satu surat yang belum ia baca, Laras segera menarik dirinya ke alam sadar. Tangannya segera membuka amplop warna merah jambu. Surat itu baru ia terima tadi sore.
“Makasih, Ras. Aku benar-benar belajar banyak darimu. Aku sama sekali tak bermaksud merendah, tapi memang kemampuanku hanya segitu. Tanpa bermaksud mendahului takdir, aku tak berani bercita-cita setinggi itu. Bagiku guru adalah profesi yang mustahil aku raih. Aku pengin jadi petani saja. Lagi pula aku tak mungkin merantau dari desa ini. Orang tuaku pasti tak rela anak bungsunya pergi dari rumah.
Satu lagi, Ras. Aku tak bermaksud kurang ajar. Aku tahu kamu punya hubungan dekat dengan Domo. Di satu sisi aku berharap kalian akan berjodoh. Tapi di sisi lain, jujur aku…. Aku pengin menjadi penghuni hatimu.”
Laras mendongakkan wajahnya,menatap genteng rumah yang tak tertutup langit-langit itu. Bambu yang menjadi kasau penyangga atap itu sebagian telah lapuk dimakan usia. Rumah ini memang sudah berusia puluhan tahun. Nenek Laras mewariskannya kepada menantunya. Meski menjabat sebagai kamitua, bapaknya Laras bukan kaum berpunya. Negara hanya memberinya imbalan berupa beberapa petak sawah. Hasil yang tak seberapa itu harus mereka bagi dengan petani penggarap. Itulah kenapa kondisi rumah itu tak berubah sejak diwariskan kepada mereka.
Surat terakhir itu ia letakkan di atas meja, menindih dua surat lainnya. Ia lantas duduk di tepi dipan. Malam telah menelan seantero desa dengan kegelapan dan kesunyiannya. Tak ada suara apapun selain suara gangsir di belakang rumah. Deriknya pun hanya terdengar lamat-lamat.
Laras gamang. Tiba-tiba ia merasa terhimpit oleh sikapnya sendiri. Sikap yang telah membuat Gito, Domo, dan Sular menaruh harapan padanya. 

(Bersambung)

2 comments:

vivi said...

Kumpulan Arti Mimpi Tentang Becak Dalam Togel Terlengkap
Tafsir Mimpi Togel

vivi said...

Rumus Perhitungan Prediksi Shio Togel Online Paling Akurat
Rumus Shio Togel