Laras tak acuh saat Lasri mendekatinya dengan senyum
tipis. Ia tahu bahwa Lasri punya maksud tertentu. Kemungkinannya selalu dua,
pinjam bedak atau mengantarkan titipan.
“Ras, ada titipan…..,” wajah Lasri seolah menyeringai.
Laras bergeming. Matanya tetap menatap ke arah gunung
Sambi. Gunung yang memisahkan antara desanya dengan desa Suru itu tampak
membiru. Sebuah jalan membelah gunung itu, menghubungkan Tirtomoyo
dan Jatiroto. Jalan yang baru berusia beberapa tahun itu kondisinya
tak bisa dibilang layak. Selain menanjak dan berkelok tajam, jalan itu tak berlapis aspal. Yang bisa lewat hanya pejalan kaki dan pedati kayu.
“Siapa yang menitipimu, Sri?”
“Sular, Ras,” jawab Lasri sembari mengulurkan tangan.
Amplop berwarna “jambon” itu segera berpindah tangan.
Laras menarik nafas dalam-dalam. Ini adalah surat ketiga yang ia terima
seminggu ini. Ketiganya berasal dari pria yang berbeda. Gito, Domo, dan
terakhir Sular. Dua surat pertama belum ada yang ia buka. Semuanya mengendap di
bawah tumpukan pakaiannya.
Perempuan paruh baya itu sedang menampi beras di teras
rumah. Ia tersenyum saat melihat anaknya mendekatinya.
“Kamu dari mana, Ndhuk?”
“Dari ketemu Lasri, Buk,” jawab Laras sambil duduk di
dingklik. Tangannya meraih beruk di
tampah itu. Ia segera menakar beras yang sudah ditampi ibunya. Beras yang baru
saja selesai ditumbuk di lesung itu harus segera dibereskan. Semakin
cepat beres maka semakin pasti berapa bagian mereka.
“Sudah, biar ibuk saja yang mberesin tampahnya. Sudah
sore, sana mandi, nanti belik-nya
kadung penuh sama anak laki-laki.”
“Inggih, Buk,” jawab Laras sambil beranjak ke dapur. Jun
yang terletak di dekat tempayan itu ia raih. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap
mandi ia juga membawa air dari belik. Gentong di rumah harus diisi air.
Setiba di kali, Laras segera melukar pakaiannya. Tubuh
sintal itu hanya terbalut tapih lurik peninggalan neneknya. Dengan cekatan ia
menyabuni seluruh tubuhnya. Ia tak boleh berlama-lama di sana. Matahari
sebentar lagi tenggelam. Belik ini akan segera menjadi kamar mandi bagi puluhan
remaja yang pulang dari mencari rumput.
Dengan langkah terseok, Laras melangkah ke rumah.
Tangan kanannya memegang jun yang ia sampirkan ke pinggang kanannya. Tangan
kirinya memegang ember berisi pakaian dan peralatan mandi. Mendekati tikungan
terakhir, Laras berdegub. Derap kaki beberapa anak muda terdengar jelas. Mereka
pasti remaja yang akan mandi ke sungai seusai mencari pakan ternak.
Benar saja. Laras tak bisa menghindar dari mereka. Ada
perasaan jengah yang harus ditahan saat berpapasan dengan mereka. Layaknya
para remaja pria, mata mereka selalu liar. Hanya satu orang yang tak pernah
berlaku seperti itu.
Laras mempercepat langkahnya. Ia tak peduli dengan
beban berat di pinggang kanannya. Apa daya, tubuhnya menjadi santapan
sekelompok remaja itu. Laras berjalan menunduk. Saat ia mendongak, matanya
bersirobok dengan mata seorang pria. Rupanya pria itu berjalan di belakang
rombongan itu.
“Ras, mau kubantu?”
“Nggak usah, Git,” jawab Laras sambil tetap berjalan.
Gito menghentikan langkahnya. Ia beringsut menepi agar
Laras bisa leluasa melewatinya.
“Aku menunggu balasan suratku, Ras,” kata Gito dengan
pelan.
Laras tetap melangkah dan tak menjawab sepatah pun.
Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum tipis.
Bilik berdinding bambu itu hanya diterangi oleh lampu
teplok. Pendaran cahayanya tak kukuh karena tiupan angin dari sela-sela
dinding. Laras duduk di tepi dipan. Tangannya menyobek amplop hijau muda tak
bernama itu. Tersembul selembar kertas putih bergaris. Begitu lipatannya
dibuka, Laras langsung mengenali siapa pengirimnya.
“Ras, aku pikir bosku ndak adil
sama karyawan baru. Kami dikasih kerjaan yang tak ada ujung pangkalnya. Sudah
gitu kerjaannya datang silih berganti. Belum selesai dengan satu pekerjaan,
sudah datang pekerjaan lainnya. Sementara kamu tahu, para mandor itu kerjanya
hanya ongkang-ongkang kaki.
Makasih atas nasehatmu tempo
hari. Tapi maaf ya, Ras. Kamu memojokkanku. Kamu kan tahu, aku ndak mungkin
meninggalkan pekerjaan ini. Kamu tahu kan, kami sekeluarga terlanjur terjerat
rentenir. Pohon Cengkih bapakku sudah diijonkan lagi. Mau tak mau aku harus
tetap bertahan di PeTe sialan ini..”
Laras menghela nafas. Baginya, Gito ini amat
kekanak-kanakan. Hidupnya dipenuhi prasangka buruk terhadap perusahaan tempat
ia bekerja. Berbagai nasehat yang telah ia tuturkan kepadanya tak ada yang
mempan. Gito tetaplah si pengeluh sekaligus pengecut. Kali ini Laras memutuskan
untuk tak membalas surat itu. Percuma.
Laras beranjak ke amplop berwarna coklat muda. Dengan
sekali renggut, ampop itu terbuka. Tak seperti biasanya, kali ini Domo hanya
mengirimi selembar surat. Pria yang pintar bertutur itu tak banyak menuliskan
kalimatnya.
“Ras, aku tahu Dikau tak akan
mengubah sikapmu kepadaku. Hanya saja, itu pun jika Dikau tak keberatan, mbok
jangan menampik rinduku to, Ras. Rasanya Dikau telah bersikap berlebihan
kepadaku. Aku tak terima kenapa hanya kepadaku Dikau bersikap sekeras ini.
Kenapa kepada Gito, atau bahkan Sular yang baru saja Dikau kenal, Dikau bisa
menebarkan senyum, sementara ke aku tidak?
Ras, aku rindu padamu.”
Laras membenahi jarik yang menutup bagian bawah
tubuhnya. Musim kemarau membuat nyamuk merebak bak laron di musim hujan.
Lembaran kertas itu ia dekap. Dadanya berdesir. Ada gelegak aneh yang tiba-tiba
merambati tubuhnya. Gadis berambut sebahu itu menelangkupkan wajahnya pada
bantal tipis itu. Buaian hasrat melambungkan Laras ke sebentuk tubuh kukuh.
Tubuh itu kini seolah memeluknya dari belakang dengan erat.
Untuk beberapa saat Laras benar-benar menenggelamkan
diri dalam genangan hasratnya sendiri. Sadar bahwa masih ada satu surat yang
belum ia baca, Laras segera menarik dirinya ke alam sadar. Tangannya segera
membuka amplop warna merah jambu. Surat itu baru ia terima tadi sore.
“Makasih, Ras. Aku benar-benar
belajar banyak darimu. Aku sama sekali tak bermaksud merendah, tapi memang
kemampuanku hanya segitu. Tanpa bermaksud mendahului takdir, aku tak berani
bercita-cita setinggi itu. Bagiku guru adalah profesi yang mustahil aku raih.
Aku pengin jadi petani saja. Lagi pula aku tak mungkin merantau dari desa ini.
Orang tuaku pasti tak rela anak bungsunya pergi dari rumah.
Satu lagi, Ras. Aku tak
bermaksud kurang ajar. Aku tahu kamu punya hubungan dekat dengan Domo. Di satu
sisi aku berharap kalian akan berjodoh. Tapi di sisi lain, jujur aku…. Aku
pengin menjadi penghuni hatimu.”
Laras mendongakkan wajahnya,menatap genteng rumah yang
tak tertutup langit-langit itu. Bambu yang menjadi kasau penyangga atap itu
sebagian telah lapuk dimakan usia. Rumah ini memang sudah berusia puluhan
tahun. Nenek Laras mewariskannya kepada menantunya. Meski menjabat sebagai
kamitua, bapaknya Laras bukan kaum berpunya. Negara hanya memberinya imbalan
berupa beberapa petak sawah. Hasil yang tak seberapa itu harus mereka bagi
dengan petani penggarap. Itulah kenapa kondisi rumah itu tak berubah sejak
diwariskan kepada mereka.
Surat terakhir itu ia letakkan di atas meja, menindih
dua surat lainnya. Ia lantas duduk di tepi dipan. Malam telah menelan seantero desa dengan kegelapan dan kesunyiannya. Tak ada suara apapun selain
suara gangsir di belakang rumah. Deriknya pun hanya terdengar lamat-lamat.
Laras gamang. Tiba-tiba ia merasa terhimpit oleh
sikapnya sendiri. Sikap yang telah membuat Gito, Domo, dan Sular menaruh
harapan padanya.
(Bersambung)
(Bersambung)
2 comments:
Kumpulan Arti Mimpi Tentang Becak Dalam Togel Terlengkap
Tafsir Mimpi Togel
Rumus Perhitungan Prediksi Shio Togel Online Paling Akurat
Rumus Shio Togel
Post a Comment