Monday, October 22, 2018

Jalan Sunyi Calon Penerus Negeri; Catatan Kecil #KemenkeuMengajar3


 Berada di tengah anak-anak sekolah dasar membuat saya terlempar ke masa lalu. Masa di mana saya bersekolah tanpa alas kaki. Masa di mana lantai sekolah kami berdebu karena berlubang di sana-sini. Masa di mana ada jeriken kecil adalah tempat penampungan air minum kami sekelas. Masa di mana sapaan ibu setiap pagi adalah, “Le, bangun. Mau sekolah, nggak?”
Anak-anak ini adalah sebuah wajah jujur tabiat manusia. Kepolosan mereka tanpa tedeng. Mengekspresikan apa yang ada di hati saat itu juga. Mereka tak punya pertimbangan rumit soal sikap. Saat mereka bahagia, maka yang keluar adalah celoteh riang. Saat mereka marah, yang keluar adalah rengutan wajah. Saat yang lain sibuk membuat kegaduhan, sebagian memilih tetap sunyi dan menyikapi keadaan. Mereka bahkan sudah mulai bermain peran. Mereka memang manusia berakal.

Dengan posisi sebagai dokumentator, sebetulnya saya tak terlalu banyak punya kesempatan untuk berinteraksi secara intensif. Tugas saya adalah merekam aktivitas Kementerian Keuangan dengan kamera. Interaksi saya sebatas mengarahkan mereka untuk urusan dokumentasi. 


Namun hari ini saya mendapat kesempatan lebih. Jeda antar pengajar membuat kelas kosong. Bisa ditebak, kelas paling muda ini jadi gaduh dan kacau. Tiga puluhan anak ini menjelma menjadi komune liar. Sekelompok anak bermain kereta-keretaan. Sekelompok yang lain berebut mainan. Sekonyong-konyong terdengar bentakan. Rupanya dua anak laki-laki berselisih paham. Memahami hal itu, saya berteriak kencang,”Kelas I-C....!!!!!!”. Serentak mereka menjawab, "Siaaap!!!". Seruan itu memang menjadi standar "penumpas" kegaduhan kelas.

Tak lama kemudian pengajar memasuki kelas. Kelas kembali gaduh. Mereka tak acuh dengan kedatangannya. Salah satu anak yang tadi berkelahi, tiba-tiba berulah. Ia mengadu bahwa ia disakiti oleh temannya. Teman yang dituduh tak tinggal diam. Sang pengajar kewalahan. Saya tahu persis, penuduh sedang memutarbalikkan fakta. Demi melihat itu, saya tak bisa diam. Dari belakang, saya berkata dengan intonasi lurus. “Kelas I C!. Siapa yang mau berantem? Sini Bapak kasih batu. Berantemnya jangan pakai tangan kosong. Ok? Ada yang mau? Kalau tidak ada, dengerin bapak pengajar.” 
Sunyi. Kelas segera dimulai. Saya kembali ke jabatan semula. Menjadi sosok di belakang kamera. Hingga akhirnya saya bergeser ke kelas sebelah. Dan membantu pengajar membuat alat peraga permainan. Menggawangi kelas di sekolah dasar memang butuh kemampuan yang luar biasa. Saya memilih tak menjadi bagian dari mereka.
Kementerian Keuangan Mengajar memang tak sekedar sehari berinteraksi dengan calon penerus negeri ini.


No comments: