Lapangan Puter malam itu bermandikan
cahaya. Bukan cahaya purnama yang memang tengah berpendar, tapi cahaya lampu
neon. Lapangan sepakbola itu memang sedang jadi persinggahan bagi rombongan
pertunjukan keliling. Ketoprak Sasana Budaya dari Bojonegara sedang mangkal di
sini. Seantero lapangan dikitari pagar anyaman bambu. Di dalamnya telah berdiri
dengah megah tobong yang terbuat dari besi dan kayu.
Malam itu panggung ini akan memulai
pertunjukannya hingga sepuluh hari ke depan. Lakon ceritanya amat populer, “Suminten
Edan”. Roman yang amat melegenda ini mengisahkan
gagalnya pernikahan Suminten dengan anak bupati Trenggalek. Kegagalan itu
membuat Suminten hilang ingatan. Kisah itu sendiri berakhir bahagia. Suminten
tetap menjadi istri kedua anak bupati.
Tiket seharga seratus rupiah untuk seluruh
umur telah ludes. Ratusan manusia berjubel. Semua ingin berdiri sedekat mungkin
dengan panggung. Menonton pertunjukan dari dekat panggung, selain mendapatkan
pemandangan yang detil juga berkesempatan untuk melemparkan saweran. Saweran itu
berupa beberapa bungkus rokok atau beberapa helai uang. Saweran itu sebagai
imbalan atas dimainkannya tembang yang mereka minta untuk dimainkan.
Domo masih berdiri di luar tobong. Dua
lembar tiket sudah ia pegang. Pun beberapa bungkus rokok sudah ia selipi
kertas. Kertas itu bertuliskan judul tembang yang ia mintakan untuk dimainkan
oleh niyaga. Mata Domo menelusuri setiap sudut pintu masuk tobong. Tampaknya ia
sedang mencari seseorang. Ajakan dari beberapa temannya untuk segera masuk ke
tobong tak ia hiraukan. Domo tetap memainkan sebatang rokok yagn terselip di
sela jarinya. Asap rokok itu menyelimuti mukanya. Domo tengah tertekan.
“Kepada para penonton yang masih berada di
luar, kami beritahukan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Kami persilakan
segera masuk ke dalam lapangan. Matur suwun.” Suara gandem itu membuat Domo beringsut. Ia memupus harapan akan nonton
bersama Laras. Wanita yang sedari tadi ditunggunya itu tak kelihatan batang
hidungnya.
Dengan langkah gontai Domo masuk ke tobong.
“Karcisnya kok dua, Mas?” tanya penjaga
pintu itu.
“Sudah, ambil saja. Sudah kubayar, kan?”
jawab Domo dengan muka lurus. Penjaga itu buru-buru menyobek dan menyerahkan
sobekannya pada Domo.
“Buat ambil hadiah kalo menang undian, Mas.”
Domo tak menyahut. Ia melangkahkan kakinya
ke sudut lapangan. Area ini tak terjangkau penerangan listrik. Di tengah kegelapan
terpendar cahaya lampu petromaks. Tak hanya satu, lampu petromaks itu ada lima.
Masing-masing menjadi pusat sebuah lingkaran kecil manusia. Mereka mengitari
sebuah kertas bergambar enam macam binatang, yaitu gajah, garuda, kambing, ular,
harimau, dan ayam. “Oglok” adalah jenis judi yang amat populer di setiap
keramaian. Cara mainnya amat mudah. Pemain tidak dibatasi jumlahnya. Mereka
hanya tinggal menaruh uang sesuai jumlah yang dikehendaki ke atas salah satu
atau di dua gambar yang berbeda. Setelah dirasa cukup peserta, bandar akan
segera menggoyang dadunya. Perlahan-lahan tutup dadu dikuak. Dua buah dadu akan
menampilkan dua gambar dari enam gambar hewan itu. Begitu terbuka, reaksinya
pemain selalu sama, girang atau menggerutu, bahkan tak jarang memaki diri
sendiri.
Domo menarik dua lembar uang seribuan dari
saku celananya. Dengan yakin ia meletakkan keduanya di atas gambar burung garuda.
Tak ada ekpresi was-was sedikitpun di wajah pria itu. Blar, tutup dadu dikuak. Keduanya
menampilkan satu gambar, garuda. Domo tersenyum lebar. Ia berhak mendapatkan
empat ribu dari taruhan yang ia pasang.
“Asu!!!, taruhanku mleset. Udah, ah..
uangku habis!!” maki Ratno. Pria berpakaian lusuh itu bersungut-sungut
meninggalkan arena perjudian. Makian adalah ungkapan yang jamak terlontar di
pusat kemaksiatan ini.
Uang Domo telah berbiak. Di tangannya
terkumpul uang sebanyak dua puluh ribu rupiah. Puas dengan perolehannya, Domo
berangsur dari tempat itu. Belum juga kakinya melangkah jauh, Domo nyaris
terpekik girang. Ia melihat Lasri sedang ngobrol dengan teman-temannya. Di mana
ada Lasri, di situ pasti ada Laras. Domo segera mendekat.
“Sri, Laras mana?” tanya Domo dengan pelan.
Ia tak mau orang lain mendengar pertanyaannya.
Lasri mendekat ke Domo.
“Tuh ada di sebelah kiri panggung. Dekat dengan
penjual pecel,”sahut Lasri sembari menunjuk ke arah yang dituju.
Domo segera melangkah ke arah itu. Ia harus
menerabas ratusan manusia yang tengah dibuai lagu “Prau Layar.” Lagu karangan
ki Narto Sabdo itu memang membuat siapapun bakal terlena. Iramanya riang,
syairnya mudah diikuti. Biasanya Domo bakal membuncah jika lagu itu dimainkan.
Kali ini ia tak acuh.
Jarak yang akan dituju tinggal sepuluh
meter lagi ketika Domo menghentikan langkahnya. Ia urungkan niatnya untuk
mendekat. Dengan setengah berjingkat, ia memutar badan, berbalik arah. Hatinya membara.
Jiwanya digelungi rasa cemburu.
Laras memang ada di sana. Ia berdiri dengan
anggun dengan sayak motif bunga sebatas betis. Rambutnya yang melewati bahunya
beriak diterpa angin malam. Di depannya
berdiri seorang pria pendek berambut tipis. Mereka berbincang akrab.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment