Friday, October 26, 2018

Oglok

Lapangan Puter malam itu bermandikan cahaya. Bukan cahaya purnama yang memang tengah berpendar, tapi cahaya lampu neon. Lapangan sepakbola itu memang sedang jadi persinggahan bagi rombongan pertunjukan keliling. Ketoprak Sasana Budaya dari Bojonegara sedang mangkal di sini. Seantero lapangan dikitari pagar anyaman bambu. Di dalamnya telah berdiri dengah megah tobong yang terbuat dari besi dan kayu.
Malam itu panggung ini akan memulai pertunjukannya hingga sepuluh hari ke depan. Lakon ceritanya amat populer, “Suminten Edan”.  Roman yang amat melegenda ini mengisahkan gagalnya pernikahan Suminten dengan anak bupati Trenggalek. Kegagalan itu membuat Suminten hilang ingatan. Kisah itu sendiri berakhir bahagia. Suminten tetap menjadi istri kedua anak bupati.
Tiket seharga seratus rupiah untuk seluruh umur telah ludes. Ratusan manusia berjubel. Semua ingin berdiri sedekat mungkin dengan panggung. Menonton pertunjukan dari dekat panggung, selain mendapatkan pemandangan yang detil juga berkesempatan untuk melemparkan saweran. Saweran itu berupa beberapa bungkus rokok atau beberapa helai uang. Saweran itu sebagai imbalan atas dimainkannya tembang yang mereka minta untuk dimainkan.
Domo masih berdiri di luar tobong. Dua lembar tiket sudah ia pegang. Pun beberapa bungkus rokok sudah ia selipi kertas. Kertas itu bertuliskan judul tembang yang ia mintakan untuk dimainkan oleh niyaga. Mata Domo menelusuri setiap sudut pintu masuk tobong. Tampaknya ia sedang mencari seseorang. Ajakan dari beberapa temannya untuk segera masuk ke tobong tak ia hiraukan. Domo tetap memainkan sebatang rokok yagn terselip di sela jarinya. Asap rokok itu menyelimuti mukanya. Domo tengah tertekan.
“Kepada para penonton yang masih berada di luar, kami beritahukan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Kami persilakan segera masuk ke dalam lapangan. Matur suwun.” Suara gandem itu membuat Domo beringsut. Ia memupus harapan akan nonton bersama Laras. Wanita yang sedari tadi ditunggunya itu tak kelihatan batang hidungnya.
Dengan langkah gontai Domo masuk ke tobong.
“Karcisnya kok dua, Mas?” tanya penjaga pintu itu.
“Sudah, ambil saja. Sudah kubayar, kan?” jawab Domo dengan muka lurus. Penjaga itu buru-buru menyobek dan menyerahkan sobekannya pada Domo.
“Buat ambil hadiah kalo menang undian, Mas.”
Domo tak menyahut. Ia melangkahkan kakinya ke sudut lapangan. Area ini tak terjangkau penerangan listrik. Di tengah kegelapan terpendar cahaya lampu petromaks. Tak hanya satu, lampu petromaks itu ada lima. Masing-masing menjadi pusat sebuah lingkaran kecil manusia. Mereka mengitari sebuah kertas bergambar enam macam binatang, yaitu gajah, garuda, kambing, ular, harimau, dan ayam. “Oglok” adalah jenis judi yang amat populer di setiap keramaian. Cara mainnya amat mudah. Pemain tidak dibatasi jumlahnya. Mereka hanya tinggal menaruh uang sesuai jumlah yang dikehendaki ke atas salah satu atau di dua gambar yang berbeda. Setelah dirasa cukup peserta, bandar akan segera menggoyang dadunya. Perlahan-lahan tutup dadu dikuak. Dua buah dadu akan menampilkan dua gambar dari enam gambar hewan itu. Begitu terbuka, reaksinya pemain selalu sama, girang atau menggerutu, bahkan tak jarang memaki diri sendiri.
Domo menarik dua lembar uang seribuan dari saku celananya. Dengan yakin ia meletakkan keduanya di atas gambar burung garuda. Tak ada ekpresi was-was sedikitpun di wajah pria itu. Blar, tutup dadu dikuak. Keduanya menampilkan satu gambar, garuda. Domo tersenyum lebar. Ia berhak mendapatkan empat ribu dari taruhan yang ia pasang.
“Asu!!!, taruhanku mleset. Udah, ah.. uangku habis!!” maki Ratno. Pria berpakaian lusuh itu bersungut-sungut meninggalkan arena perjudian. Makian adalah ungkapan yang jamak terlontar di pusat kemaksiatan ini.
Uang Domo telah berbiak. Di tangannya terkumpul uang sebanyak dua puluh ribu rupiah. Puas dengan perolehannya, Domo berangsur dari tempat itu. Belum juga kakinya melangkah jauh, Domo nyaris terpekik girang. Ia melihat Lasri sedang ngobrol dengan teman-temannya. Di mana ada Lasri, di situ pasti ada Laras. Domo segera mendekat.
“Sri, Laras mana?” tanya Domo dengan pelan. Ia tak mau orang lain mendengar pertanyaannya.
Lasri mendekat ke Domo.
“Tuh ada di sebelah kiri panggung. Dekat dengan penjual pecel,”sahut Lasri sembari menunjuk ke arah yang dituju.
Domo segera melangkah ke arah itu. Ia harus menerabas ratusan manusia yang tengah dibuai lagu “Prau Layar.” Lagu karangan ki Narto Sabdo itu memang membuat siapapun bakal terlena. Iramanya riang, syairnya mudah diikuti. Biasanya Domo bakal membuncah jika lagu itu dimainkan. Kali ini ia tak acuh.
Jarak yang akan dituju tinggal sepuluh meter lagi ketika Domo menghentikan langkahnya. Ia urungkan niatnya untuk mendekat. Dengan setengah berjingkat, ia memutar badan, berbalik arah. Hatinya membara. Jiwanya digelungi rasa cemburu.
Laras memang ada di sana. Ia berdiri dengan anggun dengan sayak motif bunga sebatas betis. Rambutnya yang melewati bahunya beriak diterpa angin malam. Di depannya berdiri seorang pria pendek berambut tipis. Mereka berbincang akrab.


Bersambung...

No comments: