Kondisi karpet Masjid Baitul Maal yang sudah kusam |
Jam
telah menunjukkan pukul 13.00 WIB saat kami bertiga, (saya, Fathur
Rahman, dan mas Kus) tiba di tempat itu. Mobil yang dikemudikan Fathur agak
susah menemukan tempat parkir. Halaman masjid penuh dengan mobil lain.
“Kayake
lagi ada kegiatan,” guman Fathur.
Akhirnya
ia memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu pagar masjid. Pintu pagar itu
hanya muat untuk dilalui sepeda motor. Saya merenung, kenapa pagar ini harus
ada? Ya, masjid Baitul Maal PKN STAN kini tak seleluasa dulu lagi. Di depannya
ada pagar yang memisahkannya dengan jalan utama kampus itu.
Kami
bertiga lantas mengambil wudu di padasan. Letaknya di sisi kiri masjid. Tak ada
yang berubah dari tempat ini sejak sejak saya meninggalkan kampus 19 tahun yang
lalu. Selarik kertas polos tertuliskan doa masuk toilet masih ada di sana.
Selesai
wudu, kami salat berjamaah. Saat sujud, saya merasakan tangan saya melandas di
karpet warna hijau kusam itu. Karpet yang mungkin umurnya sudah senja dan
berdebu sekali. Kelar salat, saya menengadah. Kipas angin yang menempel di
ketinggian dinding tak kalah berdebunya. Beberapa sarang laba-laba juga tampat
menggayut di sudut plafon. Tampaknya sudah lama rumah ibadah ini tidak
dibersihkan secara total.
Kegiatan pembersihan karpet Masjid Baitul Maal PKN STAN |
Kondisi karpet Masjid Baitul Maal yang memprihatinkan |
Fathur
yang duduk di sebelah saya bercerita. Masjid ini adalah salah satu sasaran
kegiatannya yang bernama Bersih-bersih Masjid (BBM). Kegiatan yang dilakukan
setiap akhir pekan itu bertujuan membersihkan masjid secara total. Pembersihan
yang dilakukan meliputi area kamar mandi, lantai, karpet hingga langit-langit.
Masjid Baitul Maal (MBM), tempat kami berada siang itu, adalah salah satu
sasaran kegiatan BBM-nya.
“Tadinya
kami berharap BBM kami memicu pengurus untuk rutin menjaga kebersihan masjid
ini,” ujar pria asal Kudus itu.
Sayang
harapannya belum gayung bersambut. Rumah Allah yang sudah banyak melahirkan
ahli ibadah ini kembali berkubang dengan kejorokan.
Hampir
sejam kami berada di tempat itu. Saat akan beranjak, saya menyatakan keheranan
soal pagar tadi.
“Kenapa
kampus harus memagari bagian depan masjid ini?” tanya saya.
“Karena konon tanah masjid ini bukan milik kampus,” jawab Fathur.
“Karena konon tanah masjid ini bukan milik kampus,” jawab Fathur.
Persepsi
selama ini ternyata salah. MBM tidak didirikan di tanah milik negara. Infonya
tanahnya berasal dari wakaf. Itulah yang membuat pihak PKN-STAN harus memagari
batas tanahnya. Hal ini tentu sesuai prinsip pengamanan aset negara.
Matahari
sudah condong ke barat. Kami bertiga berpisah di sini. Lucky
Kurniawan, teman sejawat yang tinggal di kawasan ini, menjemput saya. Café
88 lantas menjadi labuhan saya berikutnya. Kedai kopi yang dimiliki oleh alumni
STAN 88 ini menjadi tempat perenungan saya selanjutnya.
Betapa
MBM butuh “sapaan” dari para alumninya. Alumni yang telah berserak di seantero
dunia. Alumni yang pernah mendapat sepercik ilmu dan kebaikan dari
keberadaannya. Alumni yang berharap bangunan di balik pagar kampus ini menjadi
penyokong kebaikan.
Kini
pengurus masjid Baitul Maal PKN STAN tengah berjuang memperbagus rumah Allah
itu. Selarik proposal penggantian karpet terlampir di unggahan ini. Dana yang
dibutuhkan ternyata tak besar-besar amat dibandingkan dengan potensi jamaah dan
alumni STAN. Jumlahnya "hanya" Rp.89.100.000,00.
Silakan
kirim infaq dengan kode setoran dua digit terakhir angka 12 ke rekening bank
Muamalat 3300008151 a.n. Masjid Baitul Maal.
Proposal penggantian karpet Masjid Baitul Maal |
No comments:
Post a Comment