Friday, September 6, 2019

Melipat Jarak Bandung - Jakarta

Hal pertama yang saya lakukan setelah mendapat undangan melalui percakapan daring itu adalah memberitahu istri. Tanpa banyak tantangan, beliau mengijinkan saya untuk pergi. Ke Jakarta dengan bersepeda adalah hal baru buat saya dari sisi mana pun. Dari sisi jarak ini akan jadi perjalanan terjauh. 158 kilometer. Dari sisi rute ini akan jadi rute terkini. Melalui Cianjur – Jonggol dan berakhir di komplek perkantoran pajak Kalibata.
Tak ada hal khusus yang saya siapkan selain fisik dan mental. Yang terasa khusus adalah saya membawa bendera Taxic. Bendera milik komunitas pecinta musik di Ditjen Pajak itu saya sablonkan dan jahitkan di Bandung.  Membawa bendera menjadi pendongkrak semangat saya. Saya berencana menyerahkan benda satu-satunya itu ke ketua Taxic, Agus Maulana. Dia layak menerima itu. 
Bersiap berangkat dari Buah Batu pukul 06.30 WIB
Jumat pukul 06.30 WIB saya bertolak dari Buah Batu, Bandung. Perbekalan sudah komplit, mulai dari pakaian, makanan berupa roti dan coklat, 2 botol air minum, alat P3K, dan peralatan perbaikan sepeda, termasuk ban dalam cadangan. Tentu saja saya juga membawa uang tunai. 
Saya juga mengunggah foto di laman Facebook. Saya menyebut akun mas Dahlan agar unggahan ini tambah populer. Unggahan itu secara berkala akan saya komentari sebagai penanda posisi terakhir perjalanan. Selain ajang narsis, saya punya tujuan lain. Agar teman-teman tahu perjalanan ini. Bukan apa-apa. Bersepeda sendirian tentu punya risiko tak ringan. Dengan memberitahu khalayak saya berharap jika butuh pertolongan mereka tahu harus mencari saya di mana. 

Persinggahan pertama saya adalah KPP Pratama Cimahi. Saya berfoto bersama 2 tenaga keamanan di depan gerbang kantor itu. Persinggahan selanjutnya  adalah KPP Pratama Soreang. Saya tiba di sini pukul  07.35 WIB. Aktivitas kantor didominasi oleh kedatangan pegawai. Kehadiran saya memancing perhatian teman-teman  di sana. Bendera Taxic saya bentangkan  sebagai latar depan foto bersama mereka. 
Mampir di depan gerbang KPP Pratama Cimahi, pukul 07.28 WIB

Singgah di KPP Pratama Soreang, pukul 07.38 WIB
Seusai foto, saya segera melanjutkan perjalanan. Setengah jam dari situ saya berhenti di sebuah SPBU. Waktunya menghidrasi tubuh. Saya sudah berkendara selama 1,5 jam. Kesempatan itu juga saya pakai untuk mengabarkan posisi terkini kepada istri. Di samping itu saya juga menelepon bapak. Kepada orang tua satu-satunya itu saya minta doa restu atas perjalanan ini.
Rute selanjutnya relatif ringan karena berupa turunan panjang Citatah. Jalannya berkelok-kelok. Kondisi aspalnya masih mulus sehingga enak buat memacu kecepatan. Pukul 9.10 WIB saya menyeberangi  jembatan Ciranjang. Jembatan yang merupakan tapal batas Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi itu amat ikonis. Bendera Taxic kembali saya kibarkan. 
Gerbang Kabupaten Cianjur, pukul 09.12 WIB
11 kilometer setelah jembatan itu saya belok kanan. Arah itu menuju Jakarta melalui Jonggol. Saya disambut jalanan lebar, lurus, dan mulus. Baru mengayuh sebentar, saya minggir ke sebuah SPBU. Berkemih dan mengisi perut dengan air dan roti sisir. Saya juga pantau unggahan di Facebook tadi pagi. Pun aplikasi percakapan daring. Acan, teman sesama pesepeda meninggalkan pesan. Saya diminta mengirimkan foto-foto perjalanan. Mau dibagikan ke grup, katanya. Entah grup apa. Mas Danang, salah satu dedengkot acara besok juga minta waktu untuk koordinasi terkait dokumentasi acara. Beliau juga minta saya mendokumentasikan perjalanan saya semaksimalnya. Perhentian menjadi lebih lama dari seharusnya.
Memasuki kilometer ke 10 ruas jalan Cibogo – Ciranjang, tanjakan mulai menghadang. Bukan tanjakan ekstrem dan panjang. Meski demikian ia menjadi tantangan tersendiri karena kondisi aspalnya tak rata dan mulai lepas kerikilnya. Traksi sepeda harus dijaga agar tak selip.
Demi kepentingan dokumentasi, saya berhenti di tengah tanjakan panjang. Pemandangannya indah. Kota Cianjur berada di sisi selatan saya. Saya tak lama berada di titik ini. Suasananya sepi dan tercium aroma menyengat hidung dari sisa pembakaran sampah.
Sebuah tanjakan di sebelah utara Cianjur, pukul 10.32 WIB
Gerbang kecamatan Cikalong Kulon menjadi titik pemotretan selanjutnya. Coklat yang baru saya gigit menarik perhatian seorang wanita yang mengalami gangguan jiwa. Ia memberi isyarat meminta benda yang saya pegang itu. Tanpa berpikir panjang, coklat berukuran besar itu saya serahkan kepadanya. 
Masuk kecamatan Cikalong Kulon, pukul 10.46 WIB
Panas mulai memanggang sekujur tubuh. Persediaan air minum habis. Begitu bertemu dengan sebuah warung, saya mampir untuk mengisi ulang botol itu. Oya, selain membawa bendera, saya juga punya misi kampanye pengurangan sampah plastik. 2 botol ini adalah upaya saya untuk mengurangi sampah plastik di bumi ini.
Kedua botol ini pemberian istrinya  mas Ediyansyah. Mas Ediyansyah adalah teman sejawat di KPP Pratama Sumedang. ”Untuk pengguna setia Tulipware, Mas,” ujar mas Edi saat menyerahkan produk itu.
Mengisi ulang bekal air minum di wilayah Cikalong Kulon, pukul 10.58 WIB
Sebuh kedai makan di sebuah tanjakan menghentikan laju sepeda saya. Perut sudah mulai menagih haknya dan lutut mulai letih. Seporsi nasi berlauk ayam goreng segera saya lahap. Pemilk warung kaget tatkala tahu saya bersepeda dari Bandung menuju Jakarta. Kabar ini bahkan ia teruskan ke para tetangga yang sedang berkumpul di warungya. Kesempatan ini juga saya pakai  untuk mengabarkan posisi terkini kepada istri. Kelar makan siang, saya segera melanjutkan kayuhan. Waktu Dhuhur hampir tiba. Saya berencana salat Jumat di masjid terdekat. Pemilik warung tadi bilang bahwa di depan ada masjid besar. Letaknya di kiri jalan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer.
Hingga pukul 12.15 WIB saya tidak menemukan masjid itu. Rumah ibadah yang dimaksud baru bisa saya jangkau pukul 12.30 WIB. Salat Jumat baru saja bubar. Ya sudah, saya salat Dhuhur dan Ashar sekaligus. Seorang polisi mendekati saya. Ia heran dengan tas bawaan saya. Saya jelaskan maksud perjalanan saya. Kepadanya juga saya tanya masih berapa lama lagi tanjakan ini akan berakhir.
“Masih jauh, Mas. Nanti mulai turun setelah lewat Puncak Pinus.”
Sejujurnya saya menyesal telah bertanya soal itu. Pertanyaan seperti itu mengandung risiko. Jika jawabannya menyenangkan, maka akan membesarkan hati. Sebaliknya akan menekan mental jika jawabannya tak sesuai harapan. 
Bersiap melanjutkan perjalanan setelah makan, salat, dan istirahat di masjid Al Huda, pukul 14.15 WIB
Kantuk melanda. Sebuah balai-balai di samping masjid menjadi tempat berbaring saya. Pesanan teh manis tersaji dalam kondisi terlalu panas. Terik di luar sana. Saya memutuskan untuk beristirahat di pondok ini. Sayang mata tidak bisa dipejamkan. Suara anak-anak yang sedang bermain membuat saya terjaga. Padahal semalam bisa dibilang tidur saya tidak nyenyak. Saya beberapa kali terbangun. Bayangan akan keseruan perjalanan hari ini membuat malam tadi menjadi malam yang panjang.
Pukul 14.15 WIB saya meninggalkan masjid Al Huda. Syukurlah tanjakan di depan tak memanjang. Jalanan kembali menurun dan berkelok. Tiba-tiba saya merasa sakit kepala. Badan juga mulai merasa agak demam. Saya segera berhenti di pinggir jalan. Sebotol air segera saya tenggak hingga habis. Saya baru ingat terakhir minum air putih adalah waktu berhenti di gerbang kecamatan Cikalong Kulon tadi. Saya terlambat menyadari bahwa saya mengalami dehidrasi.
Tak berapa lama kemudian saya mencapai puncak tertinggi kawasan ini. Bernama Puncak Pinus, daerah ini adalah sesungguhnya sangat menarik untuk disinggahi. Tampak beberapa kedai makan berjajar di sisi jalan. Saya memilih melewatkannya. Di samping sisa perjalanan masih jauh, semangat saya sedang menyala-nyala. Salah satu sebabnya adalah harapan bahwa setelah ini tidak akan ada lagi tanjakan yang menguras tenaga.
Pukul 14.50 WIB saya memasuki wilayah Kabupaten Bogor. Batas wilayahnya berupa sungai dan ditandai dengan gerbang besar. Kepada seorang pria yang berada di situ saya minta tolong untuk difotokan. Foto itu langsung saya kirim ke teman saya, Acan, dan istri di rumah. Usai berfoto, perjalanan saya lanjutkan lagi.
Masuk wilayah Kabupaten Bogor, pukul 14.53 WIB.
Hari mulai berganti sore. Trek mulai bersahabat, pun terpaan sinar matahari mulai reda. Sayang tantangan yang menyongsong tak kendur. Angin bertiup dari arah depan. Kondisi itu membuat laju sepeda saya tertahan. Tak hanya itu, badan saya dirambati gejala demam. Kepala juga masih terasa nyeri. Lutut kiri saya juga terasa sakit. Saya terpaksa mengirit kayuhan. Setiap menemui tanjakan, saya pasang gigi di posisi teringan agar otot lutut tidak menanggung beban berat.
Pukul 16.00 WIB saya minggir di sebuah warung kecil. Perut saya menagih haknya. Sebutir kelapa muda saya tenggak hingga tandas. Seporsi mi cepat saji dan sebutir telur menjadi santapan selanjutnya. Lagi-lagi pemilik warung tersekat demi mendengar rute perjalanan saya ini. Dari dia mengalir cerita soal rute yang saya tempuh ini. Tidak seseram yang saya bayangkan. Jalur ini selalu ramai oleh lalu-lalang kendaraan. 
Bersiap melanjutkan perjalanan setelah mengisi ulang sumber energi, pukul 16.20 WIB
Satu setengah jam kemudian perjalanan saya mencapai kota Jonggol. Inilah ikon rute yang saya tempuh. Capaian ini sekaligus meneguhkan keyakinan saya bahwa saya bisa finish di Kalibata beberapa jam lagi. Di kota ini saya mampir sebuah apotek. Saya membeli obat penahan nyeri yang oles dan oral. Meski tak lagi menghadapi tanjakan terjal, gangguan pada lutut dan kepala kian terasa.
Tiba di Jonggol, pukul 17.31 WIB

Keyakinan itu kian kuat saat Cileungsi tampak di depan mata. Kota ini juga menjadi titik temu rute hari ini dengan rute perjalanan beberapa bulan sebelumnya. Saat itu saya pergi ke rumah adik di Bogor melalui kota ini. Maka Cibubur, Ciracas, Pasar Rebo, Kramat Jati, Cililitan, hingga Kalibata adalah jalur yang sudah pernah saya lalui sebelumnya, meski tidak dengan sepeda.
Apakah tantangannya sudah sirna? Tidak. Tanjakan memang sudah tidak ada lagi. Hari juga sudah berganti malam. Namun kini saya memasuki area perkotaan. Kawasan yang padat lalu lintasnya. Dan tantangan terbesarnya adalah kemacetan. Saya harus beberapa kali berhenti karena arus lalu lintas benar-benar berhenti. Target makan malam di Kalibata terpaksa saya revisi karena pukul 19.30WIB saya masih terjebak kemacetan di Cibubur. Jadilah saya “mengisi tangki” di sini.
Melintas di depan gerbang perumahan Legenda Wisata, pukul 19.00 WIB
Lalu lintas mengular sepanjang wilayah jalan Transyogi Cibubur hingga menjelang Kalibata. Penyebabnya bermacam-macam. Mulai dari angkot ngetem, perbaikan ruas jalan, pasar tumpah, hingga faktor kepadatan lalu-lintas Jumat malam.
Perempatan Cililitan, pukul 21.00 WIB
Akhirnya, tepat pukul 21.30 WIB saya menamatkan perjalanan ini di komplek kantor pajak Kalibata. 158 kilometer, 15 jam waktu total, 8 jam 48 menit waktu bergerak berakhir di halaman KPP Badan dan Orang Asing. Suara musik berdentum-dentum dari atas panggung. Teman-teman Taxic sedang menjajal setelan suara untuk perhelatan besok pagi. Beberapa sosok menyambut saya dengan antusias. Ada mas Danang, mas Dhimas, mas Aris, mas Rustiyono, mas AJP, mbak Rice, bu Rosma, dan sosok-sosok lain yang akrab wajah tapi tidak dengan namanya. Suguhan minuman dan nasi goreng saya nikmati dengan lahap.
Titik henti akhir, pukul 21.30 WIB.
Setelah membersihkan badan di toilet wanita masjid Salahuddin, saya menguntit langkah seorang pria ke apartemen Kalibata City. Pria ini meminjamkan tempatnya untuk saya tiduri malam ini. sampai di tempat yang dituju, saya bentangkan bendera hitam itu di depannya. Bendera inilah motivasi terbesar perjalanan saya hari ini. Bendera inilah yang melipat jarak Bandung – Jakarta.

4 comments:

Unknown said...

Mas Slamet...terimakasih untuk apresiasi Dan partisipasi buat Acara ini...kisah perjalanan bendera Taxic Bandung Jakarta...maturnuwun sanget

Dwides said...

Selalu menginspirasi, saya sempat bertanya pada ASH, "beneran itu si ket ke Jakarta naik sepeda " dijawab dengan ragu " haaambbuh ".Sesekali mestinya kalian kencan: p

Masla said...

Sama-sama, Mas. Saya bangga jadi bagian dari acara keren ini.

Masla said...

Hahaha... lagian kenapa juga nggak nanya aku langsung...