Konon wajah saya mirip dengan Obama |
Malam itu bapak menyalakan lampu petromaks.
Lampu berusia puluhan tahun itu digantung di ruang tengah rumah belakang. Sebatang
besi menjadi kaitannya. Besi itu
tergantung di kaso rumah itu. Selalu ada alasan khusus untuk menyalakan lampu
ini. Alasan bapak hari itu sungguh istimewa. Saya baru saja dinyatakan lulus
sebagai mahasiswa STAN. Kelulusan yang menggembirakan seluruh keluarga kami.
Kegembiraan yang mengesampingkan persediaan minyak tanah yang kian menipis.
Dengan ragu saya mendekat ke lampu itu.
Kang Giyo, kakak sepupu saya, duduk sambil merokok di dipan yang terletak di
ruangan yang sama.
“Njaluk rokoke, Kang,” pinta saya.
“Kowe ngrokok?” dia heran.
Selama ini saya memang tidak pernah terlihat
merokok di rumah. Ada dua pasal larangan bapak. Satu pacaran, kedua merokok.
Keduanya berhasil saya patuhi hingga lulus SMA. Maka saat saya lulus dan
diterima di STAN, ada dorongan untuk melanggarnya. Dan malam ini saya beranikan
diri untuk merokok di hadapan bapak.
“Baru belajar, Kang.”
“Nggak takut dimarahi bapakmu?”
Saya diam. Tembakau berbalut kertas itu
saya sulut di lampu petromaks. Asap segera mengepul. Sekonyong-konyong bapak
muncul dari arah dapur. Melintas di depan kami. Saya yakin beliau melihat
kelakuan saya. Tak ada kejadian apa pun, bahkan sekedar teguran.
Itulah batang pertama saya. Batang yang
diikuti oleh ribuan bahkan ratusan ribu batang lain sepanjang hidup saya
selanjutnya. Ya, sejak tahun 1992 hingga 2016 saya adalah perokok aktif. Sehari
tak kurang dari 1 bungkus terisap oleh paru-paru saya. Tak ada yang sanggup
mencegah atau menghentikannya, kecuali saat puasa. Tapi itu hanya pemindahan
waktu saja. Begitu penanda buka puasa berbunyi, maka rokok adalah hal ketiga
setelah air dan sedikit camilan yang masuk ke mulut. Pun hanya adzan Subuhlah
yang memungkasi isapan terakhir menjelang waktu puasa.
Rokok menjadi benda yang harus selalu ada
di saku pakaian kemana pun saya pergi. Untuk mengamankan ritual, saya tidak
pernah membiarkan persediaan rokok habis. Tatkala tersisa beberapa batang,
maka saya akan segera membelinya.
Rokok juga menjadi benda pertama yang saya
raih setelah sebuah jeda yang melarang saya merokok. Misal saat turun dari
pesawat udara, keluar dari ruang rapat, atau bahkan bercinta. Sedemikian
berartinya barang itu sehingga saya amat tersiksa saat tidak bisa mengisapnya.
Pun saat kehabisan dirinya.
Kejadian yang paling menyiksa adalah saat
kehabisan rokok di kota Madinah. Saat itu saya umrah bersama kedua orang tua. Dari
Indonesia saya membekali diri dengan 10 bungkus rokok. Saya perkirakan jumlah
itu akan cukup untuk 9 hari perjalanan di Saudi Arabia. Cuaca panas, fatwa
haram, dan kesibukan ibadah akan mengurangi hasrat merokok, pikir saya saat
itu.
Nyatanya tidak. Lima hari di Mekkah tak
membuat saya mengurangi frekuensi merokok. Meski harus sembunyi-sembunyi dan
menjauh dari area Masjidil Haram, batang demi batang tetap saya nikmati. Suatu
malam bahkan saya ditegur dan dinasehati oleh seorang pria berwajah sejuk. Saat
itu saya sedang asyik merokok di seputaran Zamzam Tower. Cerita lebih
lengkapnya ada di sini.
Nah, saat di Madinah, persediaan rokok saya
benar-benar habis. Sementara waktu kepulangan masih 2 hari lagi. Saya gelisah
dilanda kekurangan nikotin. Belingsatan adalah efek terberat yang hinggap di
tubuh dan perasaan saya saat itu. Sebuah kenalan yang bermukim di sini
mengatakan bahwa penjual rokok ada di luar kota Madinah. Matilah saya.
Untunglah seorang teman perjalanan, yang juga perokok, menginformasikan bahwa
petugas katering atau petugas kebersihan hotel berjualan rokok. Sudah tentu
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Maka dari merekalah saya mendapat barang
itu. Jangan tanya harganya. Empat kali lipat dari harga di Indonesia. Tak
apalah demi hasrat ngomprongi congor.
Kejadian itu tak lantas menyurutkan minat
saya ke tembakau. Hingga suatu hari seorang dokter berwajah aduhai berhasil
menaklukkan saya. Begini ceritanya....
Hari Senin pekan itu di kantor ada kegiatan
bekam gratis. Sebelum dibekam seluruh peserta diukur tekanan darahnya. Tekanan darah
saya saat itu 150/100 mmHg. Dengan nada bercanda saya bilang, ”Ah, ini alatnya
pasti rusak.”
Selama ini memang saya tidak terindikasi
mengidap tekanan darah tinggi. Tak ingin berspekulasi, keesokan harinya saya
mengulang pengukuran di klinik kantor. Hasil pengukurannya sesuai
harapan, 120/80 mmHg.
“Normal kok, Pak. Kamis ke sini lagi ya,
biar kita cek konsistensinya.”
Seperti yang disepakati, hari Kamis saya
datang lagi. Kali ini hasilnya mengkhawatirkan. 160/110 mmHg.
“Bapak merokok?” tanya dokter itu.
“Iya, Dok.”
“Bisa berhenti?” Wajahnya yang aduhai
seketika sirna oleh nada bicaranya yang judes. Motivasi sampingan selain
kesehatan yang selama ini menjadi alasan untuk mengunjunginya menjadi redup.
“Saya coba ya, Dok,” jawab saya dengan muka
cengengesan.
“Terserah Bapak, sih. Kalau pun Bapak
stroke atau serangan jantung banyak ambulans, kok.”
Kali ini saya tersekat. Tenggorokan saya
kering. Bunyi sirene ambulans mendadak memenuhi kepala. Bungkus rokok berserta
korek api yang ada di kantung mendadak menyeringai ke arah saya.
“Ngomong-ngomong tensimeter ini perlu
dikalibrasi nggak sih, Dok?” Pertanyaan saya bukan tanpa alasan. Penampakan alat
ini menunjukkan berapa usianya. Sebagai alat yang bekerja dengan sistem mekanis
saya yakin ia butuh perawatan.
“Oh, iya. Habis ini saya bawa pulang deh.
Kemarin saya juga kalibrasi alat yang di rumah. Selasa depan ke sini lagi ya,
Pak.”
Saya segera pamit. Detik itu pula saya
memutuskan tak akan merokok lagi selamanya. Sisa rokok yang ada di saku celana
saya geletakkan di atas kulkas rumah.
Sesuai yang disepakati, Selasa pekan berikutnya saya kembali mengecek tekanan darah ke tempat yang sama. Baru masuk ke
ruangan praktik, wanita berusia 40-an tahun itu menyambut saya dengan ujaran
yang menyesakkan.
“Pak, saya lupa bawa tensimeter dari rumah.
Jadi hari ini belum bisa ngukur tensi Bapak. Untung kemarin bapak ingatkan soal
kalibrasi itu.”
“Emang kenapa, Dok?”
“Alat itu memang bermasalah. Seluruh pasien
yang saya ukur tensinya Kamis lalu tidak ada yang tekanan darahnya kurang dari
150... hehe..”
Asu tenan, umpat saya dalam hati. Untung
saya tidak stroke gara-gara ujarannya kemarin lusa. Meski mengumpat tapi saya
juga merasa senang. Sudah 5 kali 24 jam saya tidak merokok. Dan tak ada gejala
kecanduan apa pun.
“Kamis saja ke sini lagi, ya Pak.”
Saya mengangguk. Niat untuk berhenti
merokok makin kuat saat itu. Saya tahu jika saya kembali merokok lagi maka ada
konsekuensi yang akan saya tanggung. Pertama rasa tidak enak di mulut, kedua
saya ragu apakah punya momentum sebaik ini. Dua hal itulah yang mencegah
saya untuk kembali meraih setengah
bungkus rokok yang masih teronggok di atas kulkas.
Dua hari kemudian, saya kembali ke klinik
kantor. 120/80 mmHg. Normal. Dokter memutuskan untuk tidak memberi obat apa
pun.
“Teruskan usahanya ya, Pak,” katanya saat
saya kasih tahu bahwa sudah seminggu tidak merokok.
Itulah kisah perpisahan saya dengan nikotin
hingga saat ini. Baru 3 tahun. Belum merupakan perjalanan yang panjang tapi
juga bukan rentang waktu yang pendek untuk sebuah upaya ke arah lebih baik.
Apakah selama itu saya benar-benar tidak merokok. Betul. Tak sebarang rokok pun
saya isap. Meski begitu saya juga tidak menjadi manusia yang anti asap rokok.
Saya tetap bergaul dengan perokok, duduk bersama mereka meski mereka sedang
berasap. Hal itu saya lakukan sebagai bentuk penghormatan sebagai mantan
pecandu dan melatih mental saya terhadap godaan tembakau. Nyatanya saya sama
sekali tidak terpengaruh.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa efek
berhenti merokok?
Pertama tentu saja anak istri senang. Meski
tak keras melarang, saya tahu istri tidak rela dengan kebiasaan itu. Kedua
tetap tidak punya uang lebih. Teori bahwa berhenti merokok akan menambah
pundi-pundi kekayaan pada praktiknya susah dibuktikan. Harusnya selama tiga
tahun ini kekayaan saya bertambah atau setidaknya tidak berkurang sekitar 23
juta rupiah (asumsi: harga rokok 21 ribu per bungkus x 365 x 3). Nyatanya saya
tidak punya tabungan sebesar itu. Ketiga celana saya bebas lubang akibat
percikan bara api. Keempat dan yang paling membahagiakan adalah saya bebas dari rasa
cemas dan semacamnya akibat larangan merokok. Tersiksa akibat larangan merokok
itu bagi saya amat mendera. Selebihnya saya tetaplah manusia biasa dengan
segala kekurangannya.
Maka ketika opini publik terbelah soal
peran pabrik rokok Djarum dalam pembinaan atlet bulu tangkis, saya tak berkata
apa pun. Rokok dari sisi kesehatan konon tidak baik. Meski begitu belum ada
studi yang bisa membuktikan kaitan langsung antara jumlah batang yang
dikonsumsi seseorang dengan penyakit yang dideritanya. Banyak perokok aktif
maupun pasif yang hingga akhir hayatnya sehat-sehat saja. Tak kalah banyaknya
orang yang bahkan tidak hanya bukan perokok tapi juga pegiat gaya hidup sehat
lalu dihinggapi beragam gangguan kesehatan.
Apalagi jika dikaitkan dengan kematian. Saya
punya prinsip bahwa bukan rokok yang membunuhmu tapi Tuhan lewat takdir-Nya.
Sesederhana itu.
Maka, merokoklah jika memang mampu beli dan
tidak mengganggu apa dan siapa pun, lalu berhentilah saat sudah tidak nyaman
dengannya.
6 comments:
Semoga bs cepat menyusul pak... mantul
Aamiin.. Insya Allah bisa.
Keren, mas :D
Suwun sanget, Mbak.
Udah saya konsep seperti ini, tp udah keduluan. Mantul..... Salam kepul dari Soreang
Hahaha.. iki sopo, ya?
Post a Comment