Wednesday, September 11, 2019

Merokoklah, Ia (tak) Membunuhmu

Konon wajah saya mirip dengan Obama
Malam itu bapak menyalakan lampu petromaks. Lampu berusia puluhan tahun itu digantung di ruang tengah rumah belakang. Sebatang besi menjadi  kaitannya. Besi itu tergantung di kaso rumah itu. Selalu ada alasan khusus untuk menyalakan lampu ini. Alasan bapak hari itu sungguh istimewa. Saya baru saja dinyatakan lulus sebagai mahasiswa STAN. Kelulusan yang menggembirakan seluruh keluarga kami. Kegembiraan yang mengesampingkan persediaan minyak tanah yang kian menipis.
Dengan ragu saya mendekat ke lampu itu. Kang Giyo, kakak sepupu saya, duduk sambil merokok di dipan yang terletak di ruangan yang sama.
Njaluk rokoke, Kang,” pinta saya.
Kowe ngrokok?” dia heran.
Selama ini saya memang tidak pernah terlihat merokok di rumah. Ada dua pasal larangan bapak. Satu pacaran, kedua merokok. Keduanya berhasil saya patuhi hingga lulus SMA. Maka saat saya lulus dan diterima di STAN, ada dorongan untuk melanggarnya. Dan malam ini saya beranikan diri untuk merokok di hadapan bapak.
“Baru belajar, Kang.”
“Nggak takut dimarahi bapakmu?”
Saya diam. Tembakau berbalut kertas itu saya sulut di lampu petromaks. Asap segera mengepul. Sekonyong-konyong bapak muncul dari arah dapur. Melintas di depan kami. Saya yakin beliau melihat kelakuan saya. Tak ada kejadian apa pun, bahkan sekedar teguran.
Itulah batang pertama saya. Batang yang diikuti oleh ribuan bahkan ratusan ribu batang lain sepanjang hidup saya selanjutnya. Ya, sejak tahun 1992 hingga 2016 saya adalah perokok aktif. Sehari tak kurang dari 1 bungkus terisap oleh paru-paru saya. Tak ada yang sanggup mencegah atau menghentikannya, kecuali saat puasa. Tapi itu hanya pemindahan waktu saja. Begitu penanda buka puasa berbunyi, maka rokok adalah hal ketiga setelah air dan sedikit camilan yang masuk ke mulut. Pun hanya adzan Subuhlah yang memungkasi isapan terakhir menjelang waktu puasa.
Rokok menjadi benda yang harus selalu ada di saku pakaian kemana pun saya pergi. Untuk mengamankan ritual, saya tidak pernah membiarkan persediaan rokok habis. Tatkala tersisa beberapa batang, maka saya akan segera membelinya.
Rokok juga menjadi benda pertama yang saya raih setelah sebuah jeda yang melarang saya merokok. Misal saat turun dari pesawat udara, keluar dari ruang rapat, atau bahkan bercinta. Sedemikian berartinya barang itu sehingga saya amat tersiksa saat tidak bisa mengisapnya. Pun saat kehabisan dirinya.
Kejadian yang paling menyiksa adalah saat kehabisan rokok di kota Madinah. Saat itu saya umrah bersama kedua orang tua. Dari Indonesia saya membekali diri dengan 10 bungkus rokok. Saya perkirakan jumlah itu akan cukup untuk 9 hari perjalanan di Saudi Arabia. Cuaca panas, fatwa haram, dan kesibukan ibadah akan mengurangi hasrat merokok, pikir saya saat itu.  
Nyatanya tidak. Lima hari di Mekkah tak membuat saya mengurangi frekuensi merokok. Meski harus sembunyi-sembunyi dan menjauh dari area Masjidil Haram, batang demi batang tetap saya nikmati. Suatu malam bahkan saya ditegur dan dinasehati oleh seorang pria berwajah sejuk. Saat itu saya sedang asyik merokok di seputaran Zamzam Tower. Cerita lebih lengkapnya ada di sini.
Nah, saat di Madinah, persediaan rokok saya benar-benar habis. Sementara waktu kepulangan masih 2 hari lagi. Saya gelisah dilanda kekurangan nikotin. Belingsatan adalah efek terberat yang hinggap di tubuh dan perasaan saya saat itu. Sebuah kenalan yang bermukim di sini mengatakan bahwa penjual rokok ada di luar kota Madinah. Matilah saya. Untunglah seorang teman perjalanan, yang juga perokok, menginformasikan bahwa petugas katering atau petugas kebersihan hotel berjualan rokok. Sudah tentu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Maka dari merekalah saya mendapat barang itu. Jangan tanya harganya. Empat kali lipat dari harga di Indonesia. Tak apalah demi hasrat ngomprongi congor.
Kejadian itu tak lantas menyurutkan minat saya ke tembakau. Hingga suatu hari seorang dokter berwajah aduhai berhasil menaklukkan saya. Begini ceritanya....
Hari Senin pekan itu di kantor ada kegiatan bekam gratis. Sebelum dibekam seluruh peserta diukur tekanan darahnya. Tekanan darah saya saat itu 150/100 mmHg. Dengan nada bercanda saya bilang, ”Ah, ini alatnya pasti rusak.”
Selama ini memang saya tidak terindikasi mengidap tekanan darah tinggi. Tak ingin berspekulasi, keesokan harinya saya mengulang pengukuran di klinik kantor. Hasil pengukurannya sesuai harapan, 120/80 mmHg.
“Normal kok, Pak. Kamis ke sini lagi ya, biar kita cek konsistensinya.”
Seperti yang disepakati, hari Kamis saya datang lagi. Kali ini hasilnya mengkhawatirkan. 160/110 mmHg.
“Bapak merokok?” tanya dokter itu.
“Iya, Dok.”
“Bisa berhenti?” Wajahnya yang aduhai seketika sirna oleh nada bicaranya yang judes. Motivasi sampingan selain kesehatan yang selama ini menjadi alasan untuk mengunjunginya menjadi redup.
“Saya coba ya, Dok,” jawab saya dengan muka cengengesan.
“Terserah Bapak, sih. Kalau pun Bapak stroke atau serangan jantung banyak ambulans, kok.”
Kali ini saya tersekat. Tenggorokan saya kering. Bunyi sirene ambulans mendadak memenuhi kepala. Bungkus rokok berserta korek api yang ada di kantung mendadak menyeringai ke arah saya.
“Ngomong-ngomong tensimeter ini perlu dikalibrasi nggak sih, Dok?” Pertanyaan saya bukan tanpa alasan. Penampakan alat ini menunjukkan berapa usianya. Sebagai alat yang bekerja dengan sistem mekanis saya yakin ia butuh perawatan.
“Oh, iya. Habis ini saya bawa pulang deh. Kemarin saya juga kalibrasi alat yang di rumah. Selasa depan ke sini lagi ya, Pak.”
Saya segera pamit. Detik itu pula saya memutuskan tak akan merokok lagi selamanya. Sisa rokok yang ada di saku celana saya geletakkan di atas kulkas rumah.
Sesuai yang disepakati, Selasa pekan berikutnya saya kembali mengecek tekanan darah ke tempat yang sama. Baru masuk ke ruangan praktik, wanita berusia 40-an tahun itu menyambut saya dengan ujaran yang menyesakkan.
“Pak, saya lupa bawa tensimeter dari rumah. Jadi hari ini belum bisa ngukur tensi Bapak. Untung kemarin bapak ingatkan soal kalibrasi itu.”
“Emang kenapa, Dok?”
“Alat itu memang bermasalah. Seluruh pasien yang saya ukur tensinya Kamis lalu tidak ada yang tekanan darahnya kurang dari 150... hehe..”
Asu tenan, umpat saya dalam hati. Untung saya tidak stroke gara-gara ujarannya kemarin lusa. Meski mengumpat tapi saya juga merasa senang. Sudah 5 kali 24 jam saya tidak merokok. Dan tak ada gejala kecanduan apa pun.
“Kamis saja ke sini lagi, ya Pak.”
Saya mengangguk. Niat untuk berhenti merokok makin kuat saat itu. Saya tahu jika saya kembali merokok lagi maka ada konsekuensi yang akan saya tanggung. Pertama rasa tidak enak di mulut, kedua saya ragu apakah punya momentum sebaik ini. Dua hal itulah yang mencegah saya  untuk kembali meraih setengah bungkus rokok yang masih teronggok di atas kulkas.
Dua hari kemudian, saya kembali ke klinik kantor. 120/80 mmHg. Normal. Dokter memutuskan untuk tidak memberi obat apa pun.
“Teruskan usahanya ya, Pak,” katanya saat saya kasih tahu bahwa sudah seminggu tidak merokok.
Itulah kisah perpisahan saya dengan nikotin hingga saat ini. Baru 3 tahun. Belum merupakan perjalanan yang panjang tapi juga bukan rentang waktu yang pendek untuk sebuah upaya ke arah lebih baik. Apakah selama itu saya benar-benar tidak merokok. Betul. Tak sebarang rokok pun saya isap. Meski begitu saya juga tidak menjadi manusia yang anti asap rokok. Saya tetap bergaul dengan perokok, duduk bersama mereka meski mereka sedang berasap. Hal itu saya lakukan sebagai bentuk penghormatan sebagai mantan pecandu dan melatih mental saya terhadap godaan tembakau. Nyatanya saya sama sekali tidak terpengaruh.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa efek berhenti merokok?
Pertama tentu saja anak istri senang. Meski tak keras melarang, saya tahu istri tidak rela dengan kebiasaan itu. Kedua tetap tidak punya uang lebih. Teori bahwa berhenti merokok akan menambah pundi-pundi kekayaan pada praktiknya susah dibuktikan. Harusnya selama tiga tahun ini kekayaan saya bertambah atau setidaknya tidak berkurang sekitar 23 juta rupiah (asumsi: harga rokok 21 ribu per bungkus x 365 x 3). Nyatanya saya tidak punya tabungan sebesar itu. Ketiga celana saya bebas lubang akibat percikan bara api. Keempat dan yang paling membahagiakan adalah saya bebas dari rasa cemas dan semacamnya akibat larangan merokok. Tersiksa akibat larangan merokok itu bagi saya amat mendera. Selebihnya saya tetaplah manusia biasa dengan segala kekurangannya.
Maka ketika opini publik terbelah soal peran pabrik rokok Djarum dalam pembinaan atlet bulu tangkis, saya tak berkata apa pun. Rokok dari sisi kesehatan konon tidak baik. Meski begitu belum ada studi yang bisa membuktikan kaitan langsung antara jumlah batang yang dikonsumsi seseorang dengan penyakit yang dideritanya. Banyak perokok aktif maupun pasif yang hingga akhir hayatnya sehat-sehat saja. Tak kalah banyaknya orang yang bahkan tidak hanya bukan perokok tapi juga pegiat gaya hidup sehat lalu dihinggapi beragam gangguan kesehatan.
Apalagi jika dikaitkan dengan kematian. Saya punya prinsip bahwa bukan rokok yang membunuhmu tapi Tuhan lewat takdir­-Nya. Sesederhana itu.
Maka, merokoklah jika memang mampu beli dan tidak mengganggu apa dan siapa pun, lalu berhentilah saat sudah tidak nyaman dengannya.

6 comments:

Unknown said...

Semoga bs cepat menyusul pak... mantul

Masla said...

Aamiin.. Insya Allah bisa.

niken satyawati said...

Keren, mas :D

Masla said...

Suwun sanget, Mbak.

Unknown said...

Udah saya konsep seperti ini, tp udah keduluan. Mantul..... Salam kepul dari Soreang

Masla said...

Hahaha.. iki sopo, ya?