Pernyataan:
Yang akan saya sampaikan bukan sebuah ujaran kebencian
dari seseorang yang dibesarkan di dunia kehumasan, tapi rasa sayang dari seseorang yang separuh jiwanya masih tinggal di sana.
Sebuah film pendek tayang perdana di Youtube sore ini.
Film besutan tim KPP Minyak dan Gas itu berjudul "Gerobak". Berdurasi 10,5 menit, karya ini dibuat
dalam rangka menyambut hari Pahlawan.
Adegan dibuka dengan pernyataan 3 orang pegawai kantor
tersebut seputar kepahlawanan. Fragmen selanjutnya adalah kisah sepotong pagi
keluarga di sudut kota. Keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan
anak laki-laki itu menggeluti profesi yang sama, pemulung. Sang anak
dibangunkan bapaknya saat ia tengah bermimpi tentang sebuah perang. Yang
menarik, sang bapak tidak sedang menyiapkan alat kerjanya. Pria paruh baya itu sedang
memasang sang Saka Merah Putih. Tindakan itu tentu saja mengundang keheranan
istrinya. Dengan bahasa yang filosofis, si suami menjelaskan arti bendera bagi
sebuah bangsa.
Dialog dilanjutkan seputar kesulitan keuangan yang
menerpa mereka. Tak berapa lama datanglah serombongan orang kantoran. Kedatangan mereka yang mengaku dari KPP Migas ini untuk
membagikan nasi bungkus pada keluarga ini.
Lagi-lagi keberadaan bendera menarik perhatian salah
satu pegawai tersebut. Ia lantas menanyakan alasan pemasangan secarik kain itu. Dengan, lagi-lagi, bahasa filosofis, si ayah menerangkan
latar belakang pemasangan sang Dwi Warna. Tak hanya itu, pria bertopi itu juga
membeberkan makna kepahlawanan pada diri para fiskus yang datang. Adegan
ditutup dengan paparan tugas dan fungsi kantor pajak oleh salah satu pegawai.
Di akhir film, pak Imanul Hakim membuat pernyataan
penutup. Pria yang biasa disapa dengan sebutan “Iman” ini menegaskan makna
kepahlawanan dan ucapan terima kasih pada pemangku kepentingannya.
Ada beberapa hal yang akan saya kritisi terkait karya
sineas ini. Akan saya bagi dalam dua segmen, yakni praproduksi dan pasca
produksi.
Pada segmen pra produksi, hal paling kentara adalah
soal ketidakkonsistenan pencahayaan dan tata suara. Wajah pemeran utama yang
dibawakan oleh mas Dahlan tampak berubah intensitas pencahayannya saat kamera
berganti sudut. Saya menduga eksposur kamera tidak disetel manual atau
menggunakan dua kamera secara bersamaan dengan setelan eksposur yang berbeda. Dugaan berikutnya, para sineas tidak menggunakan cahaya buatan, alias mengandalkan cahaya yang ada. Pengetahuan
teknis soal eksposur dan pencahayaan amat penting bagi seorang pembuat film. Kamera
masa kini memang menjanjikan kemurahan dan kemudahan. Tapi jika tidak punya
pondasi pengetahuan dua hal itu, fitur tersebut tidak akan banyak membantu.
Demikian juga dengan setelan suara dialog pemain.
Terjadi fluktuasi volume suara. Hal ini amat mengganggu telinga pemirsa.
Mengambil gambar di tengah keramaian butuh peralatan suara yang memadai. Paling
cocok adalah boom mic. Atau kalau mau clear
harus ada proses pengisian suara (dubbing) di pascaproduksi.
Dalam pembuatan video “kelas kantoran”, elemen suara kadang dinomorduakan. Padahal
kita harus paham bahwa film berunsur dua, audio dan visual.
Masih di segmen praproduksi, hal yang akan saya
kritisi lagi adalah kualitas akting. Dalam hal ini adalah akting aktor utama.
Kakak kelas saya ini terbilang nekad. Ia terjun ke dunia yang belum pernah ia
selami. Apa hasilnya? Lagi-lagi inkonsistensi akting. Bukan pada ekspresi, tapi
pada kemampuan berdialog. Di awal tayangan, pria asal Tegal ini tak lancar
berkata-kata. Tata bahasanya pun amburadul. Namun begitu bicara soal
kepahlawanan pada tetamu, ia tampak piawai. Gaya bahasanya pun terlalu tinggi
untuk seorang pemulung. Pun saat memotivasi mereka. Terlihat di awal tayangan
ia tak sepenuhnya menguasai dialog yang harusnya ada skripnya.
Terakhir adalah soal tata kamera. Saya menduga tim ini
punya keterbatasan stok lensa. Adegan pembuka menampilkan objek yang tidak
terisolasi dengan latar belakangnya. Ruang tajam lensa terlalu lebar. Pun pemilihan
warna latar itu sendiri. Jika memang tidak punya lensa ber-aperture lebar atau ber-focal
length panjang, berilah jarak yang cukup jauh antara objek dengan latar
belakangnya. Hal ini akan membuat latar belakang sedikit buram sehingga objek
akan terisolasi. Latar belakang penampil ketiga dan pak Iman lebih baik
daripada dua penampil sebelumnya. Teknik seperti ini memang masuk kategori
dasar tapi tidak bisa disepelekan. Tidak punya lensa? Banyak tempat yang
menyewakannya dengan harga ekonomis.
Berikutnya adalah kritik terkait pascaproduksi. Yang
pertama adalah soal water mark. Di
sudut kanan atas layar, sepanjang durasi film, sebuah logo dan 3 baris teks
menggantung. Logo branding Ditjen
Pajak dan “kop surat” kantor tersebut. Selain mengganggu, grafis itu menegaskan
bahwa sang pembuat tak bisa lepas dari kekakuan birokrasi. Apapun yang keluar
dari kantor harus ber-kop surat. Gusti Allah…
Yang kedua adalah salah ketik pada sub judul. Kejadian
itu bisa dilihat pada menit 8:29. Kata yang harusnya ditulis “kewajiban”
tertulis “kewajjiban”. Kesalahan satu huruf yang mencuri perhatian saya.
Terakhir adalah soal grading warna. Film itu adalah warna. Film tanpa kematangan warna
adalah karya amatiran. Di sinilah peran editor. Ia harus piawai menyetel tone atau nada warna agar mendukung
suasana hati tayangan. Saya tak melihat ada koreksi warna di sepanjang karya
ini. Artinya masih mentah.
Lalu apakah karya ini sama sekali tidak layak dihargai.
Tentu sangat layak. Tak banyak kantor setingkat KPP yang mau dan mampu membuat
film. Apalagi kantor dengan target sedemikian besar. Dibutuhkan sinergi yang
kuat agar karya ini terwujud. Selain itu, memanfaatkan momentum Hari Pahlawan
adalah hal tepat. Pajak, bagaimapun, butuh sandaran pemasaran. Dan pahlawan
adalah sandaran yang kokoh. Apresiasi setinggi-tingginya buat pak Iman dan
kawan-kawan.
Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa membuat film
itu tak sederhana. Dalam jajaran karya audio-visual, menurut saya, prosesnya
paling rumit. Pun melibatkan banyak pihak. Maka, kepada siapa pun, saya
berpesan, “Jangan membuat film jika bekalnya tidak memadai.”
Wassalam.
No comments:
Post a Comment