Atik, warga dusun Sidowayah memperbaiki tali sandalnya yang lepas akibat mengejar air |
Demi
mendengar deru suara truk, wanita itu berlari kencang. Jalanan berbatu tak ia
pedulikan. Ibu dua anak itu harus berpacu dengan waktu. Atau seember air tak
akan ia peroleh hari ini.
Saking
terburu-burunya, kakinya menyaruk tanah. Tali sandalnya lepas dari kaitannya.
Nafasnya tersengal-sengal. Di ujung tanjakan, perempuan desa itu menarik lafas
lega. Truk yang dikejarnya masih berada di sana.
Keberadaan
truk yang mondar-mandir dua bulan ini terasa istimewa bagi penduduk kecamatan
Tirtomoyo bagian timur. Gerobak besi itu mengangkut ribuan liter air bersih.
Tujuannya ke desa-desa yang mengalami kekeringan. Ya, puluhan desa memang
sedang dilanda musibah. Kawasan yang terletak di pegunungan itu harus menanggung
cobaan. Kekeringan akibat kemarau berkepanjangan telah mengisap sumber air
mereka. Akibatnya mereka kesulitan mendapatkan air bersih.
Air
memang masih ada. Tapi ia berada di tempat yang jauh dari jangkauan. Untuk
sampai ke tempat mereka, sang tirta harus diangkut. Truk itulah yang pagi tadi
dikejar oleh perempuan bernama Atik itu.
Proses distribusi air untuk kebutuhan rumah tangga dan rumah ibadah |
Seorang penduduk mengusung air ke rumahnya dengan cara dipikul |
Kegiatan
pengiriman air bersih ini sudah berjalan lebih dari sebulan. Pengelolanya
terdiri dari beberapa kelompok masyarakat. Saya dan teman-teman lulusan SD
Negeri Geneng I juga mengambil peran yang sama. Bermodal ajakan berderma lewat
grup WA, kami berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa truk. Beberapa hari
kemudian saya juga menggalang dana melalui kitabisa.com. Hasil penggalangan
dana tersebut sebagian kami belikan toren air. Selebihnya kami gabung dengan
dana alumni untuk menyewa truk. Hingga saat ini total dana yang telah kami
salurkan dalam bentuk air dan toren mencapai 15 juta rupiah.
Kami sadar bahwa kiriman air tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan dasar mereka. Sekali pengiriman sebanyak 4.000 liter hanya cukup untuk kebutuhan puluhan keluarga selama dua hari. Sementara jumlah keluarga yang terdampak mencapai ratusan. Meski demikian, kami tak surut langkah. Prinsip kami adalah berbuat semampunya dan berharap cobaan ini segera usai.
Kami sadar bahwa kiriman air tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan dasar mereka. Sekali pengiriman sebanyak 4.000 liter hanya cukup untuk kebutuhan puluhan keluarga selama dua hari. Sementara jumlah keluarga yang terdampak mencapai ratusan. Meski demikian, kami tak surut langkah. Prinsip kami adalah berbuat semampunya dan berharap cobaan ini segera usai.
Aktivitas ini tentu saja bukan tanpa tantangan. Soal dana, alhamdulillah, relatif teratasi. Selalu ada hamba Tuhan yang
bermurah hati. Sumbangan bahkan datang dari jiwa-jiwa yang tidak kenal dengan
kami. Mereka hadir karena panggilan nurani akan nasib saudaranya.
Tantangan
pertama adalah mencari sumber air. Tak semua sumur bisa kami ambil airnya.
Selain debitnya tak mencukupi, tak semua pemilik sumur rela airnya diambil.
Lagi-lagi Tuhan turun tangan. Tanpa diminta, banyak pemilik sumur yang
menawarkan airnya.
Jajaran sumur yang kering ditinggalkan penghuninya |
Hal
kedua yang harus kami hadapi adalah keberadaan tim relawan. Air dan truk tidak
bisa berjalan sendiri ke tempat tujuan. Ia harus dikawal oleh orang yang
bertugas sebagai pengarah. Tim pengarah ini tentu saja harus diatur jadwalnya.
Tujuannya agar tidak bentrok sehingga jumlahnya terlalu banyak atau malah tidak
ada tim sama sekali. Mengatur partisipasi manusia yang bekerja tanpa bayaran
tentu butuh cara tersendiri.
Seorang relawan membantu penduduk setempat membawa air dari tempat penampungan ke rumahnya |
Seorang relawan wanita memanjat truk untuk mengatur penyaluran air |
Air
sudah menuju ke tempat tujuan. Pertanyaan selanjutnya adalah kepada siapa air
ini akan dikucurkan? Meski kekeringan melanda satu kawasan, kenyatannya tidak
semua warga butuh air dari kami. Ada yang masih punya sumber air atau mampu
mengambil air sendiri. Artinya kami harus melakukan pemilahan sasaran agar
tidak salah alamat. Proses ini bukan berarti tanpa kendala. Menentukan sasaran
selalu berisiko memunculkan perasaan tidak adil.
Kekeringan mengisap sumber air. Jejeran ember itu adalah gambaran betapa air sudah lenyap |
Tidak warga punya bak penampungan yang besar. Air sering langsung kami kucurkan ke ember yang berjajar di pos pemberhentian. Untuk rumah yang jaraknya berjauhan, air kami antar hingga ke depan pintu rumah mereka.
Tentang
bahaya jalan berliku dan menanjak terpaksa kami abaikan. Selain sudah terbiasa,
tim relawan harus memfokuskan diri pada pengiriman air. Jika jeri dengan
tanjakan terjal, maka air tidak akan pernah sampai ke mereka.
Ketiadaan bak penampungan membuat air langsung disalurkan ke ember milik warga |
No comments:
Post a Comment