Hal pertama yang saya lakukan setelah
mendapat undangan melalui percakapan daring itu adalah memberitahu istri. Tanpa
banyak tantangan, beliau mengijinkan saya untuk pergi. Ke Jakarta dengan
bersepeda adalah hal baru buat saya dari sisi mana pun. Dari sisi jarak ini
akan jadi perjalanan terjauh. 158 kilometer. Dari sisi rute ini akan jadi rute
terkini. Melalui Cianjur – Jonggol dan berakhir di komplek perkantoran pajak
Kalibata.
Tak ada hal khusus yang saya siapkan selain
fisik dan mental. Yang terasa khusus adalah saya membawa bendera Taxic. Bendera
milik komunitas pecinta musik di Ditjen Pajak itu saya sablonkan dan jahitkan
di Bandung. Membawa bendera menjadi
pendongkrak semangat saya. Saya berencana menyerahkan benda satu-satunya itu ke
ketua Taxic, Agus Maulana. Dia layak menerima itu.
Bersiap berangkat dari Buah Batu pukul 06.30 WIB |
Jumat pukul 06.30 WIB saya bertolak dari
Buah Batu, Bandung. Perbekalan sudah komplit, mulai dari pakaian, makanan
berupa roti dan coklat, 2 botol air minum, alat P3K, dan peralatan perbaikan
sepeda, termasuk ban dalam cadangan. Tentu saja saya juga membawa uang tunai.
Saya juga mengunggah foto di laman
Facebook. Saya menyebut akun mas Dahlan agar unggahan ini tambah populer. Unggahan
itu secara berkala akan saya komentari sebagai penanda posisi terakhir
perjalanan. Selain ajang narsis, saya punya tujuan lain. Agar teman-teman tahu
perjalanan ini. Bukan apa-apa. Bersepeda sendirian tentu punya risiko tak
ringan. Dengan memberitahu khalayak saya berharap jika butuh pertolongan mereka
tahu harus mencari saya di mana.
Persinggahan pertama saya adalah KPP
Pratama Cimahi. Saya berfoto bersama 2 tenaga keamanan di depan gerbang kantor
itu. Persinggahan selanjutnya adalah KPP
Pratama Soreang. Saya tiba di sini pukul 07.35 WIB. Aktivitas kantor didominasi oleh
kedatangan pegawai. Kehadiran saya memancing perhatian teman-teman di sana. Bendera Taxic saya bentangkan sebagai latar depan foto bersama mereka.
Mampir di depan gerbang KPP Pratama Cimahi, pukul 07.28 WIB |
Singgah di KPP Pratama Soreang, pukul 07.38 WIB |
Seusai foto, saya segera melanjutkan
perjalanan. Setengah jam dari situ saya berhenti di sebuah SPBU. Waktunya
menghidrasi tubuh. Saya sudah berkendara selama 1,5 jam. Kesempatan itu juga
saya pakai untuk mengabarkan posisi terkini kepada istri. Di samping itu saya
juga menelepon bapak. Kepada orang tua satu-satunya itu saya minta doa restu
atas perjalanan ini.
Rute selanjutnya relatif ringan karena
berupa turunan panjang Citatah. Jalannya berkelok-kelok. Kondisi aspalnya masih
mulus sehingga enak buat memacu kecepatan. Pukul 9.10 WIB saya
menyeberangi jembatan Ciranjang.
Jembatan yang merupakan tapal batas Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi itu amat
ikonis. Bendera Taxic kembali saya kibarkan.
Gerbang Kabupaten Cianjur, pukul 09.12 WIB |
11 kilometer setelah jembatan itu saya
belok kanan. Arah itu menuju Jakarta melalui Jonggol. Saya disambut jalanan
lebar, lurus, dan mulus. Baru mengayuh sebentar, saya minggir ke sebuah SPBU.
Berkemih dan mengisi perut dengan air dan roti sisir. Saya juga pantau unggahan
di Facebook tadi pagi. Pun aplikasi percakapan daring. Acan, teman sesama
pesepeda meninggalkan pesan. Saya diminta mengirimkan foto-foto perjalanan. Mau
dibagikan ke grup, katanya. Entah grup apa. Mas Danang, salah satu dedengkot
acara besok juga minta waktu untuk koordinasi terkait dokumentasi acara. Beliau
juga minta saya mendokumentasikan perjalanan saya semaksimalnya. Perhentian
menjadi lebih lama dari seharusnya.
Memasuki kilometer ke 10 ruas jalan Cibogo
– Ciranjang, tanjakan mulai menghadang. Bukan tanjakan ekstrem dan panjang.
Meski demikian ia menjadi tantangan tersendiri karena kondisi aspalnya tak rata
dan mulai lepas kerikilnya. Traksi sepeda harus dijaga agar tak selip.
Demi kepentingan dokumentasi, saya berhenti
di tengah tanjakan panjang. Pemandangannya indah. Kota Cianjur berada di sisi
selatan saya. Saya tak lama berada di titik ini. Suasananya sepi dan tercium
aroma menyengat hidung dari sisa pembakaran sampah.
Sebuah tanjakan di sebelah utara Cianjur, pukul 10.32 WIB |
Gerbang kecamatan Cikalong Kulon menjadi
titik pemotretan selanjutnya. Coklat yang baru saya gigit menarik perhatian
seorang wanita yang mengalami gangguan jiwa. Ia memberi isyarat meminta benda
yang saya pegang itu. Tanpa berpikir panjang, coklat berukuran besar itu saya
serahkan kepadanya.
Masuk kecamatan Cikalong Kulon, pukul 10.46 WIB |
Panas mulai memanggang sekujur tubuh.
Persediaan air minum habis. Begitu bertemu dengan sebuah warung, saya mampir
untuk mengisi ulang botol itu. Oya, selain membawa bendera, saya juga punya
misi kampanye pengurangan sampah plastik. 2 botol ini adalah upaya saya untuk
mengurangi sampah plastik di bumi ini.
Kedua botol ini pemberian istrinya mas Ediyansyah. Mas Ediyansyah adalah teman
sejawat di KPP Pratama Sumedang. ”Untuk pengguna setia Tulipware, Mas,” ujar
mas Edi saat menyerahkan produk itu.
Mengisi ulang bekal air minum di wilayah Cikalong Kulon, pukul 10.58 WIB |
Sebuh kedai makan di sebuah tanjakan
menghentikan laju sepeda saya. Perut sudah mulai menagih haknya dan lutut mulai
letih. Seporsi nasi berlauk ayam goreng segera saya lahap. Pemilk warung kaget
tatkala tahu saya bersepeda dari Bandung menuju Jakarta. Kabar ini bahkan ia
teruskan ke para tetangga yang sedang berkumpul di warungya. Kesempatan ini
juga saya pakai untuk mengabarkan posisi
terkini kepada istri. Kelar makan siang, saya segera melanjutkan kayuhan. Waktu
Dhuhur hampir tiba. Saya berencana salat Jumat di masjid terdekat. Pemilik
warung tadi bilang bahwa di depan ada masjid besar. Letaknya di kiri jalan.
Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer.
Hingga pukul 12.15 WIB saya tidak menemukan
masjid itu. Rumah ibadah yang dimaksud baru bisa saya jangkau pukul 12.30 WIB.
Salat Jumat baru saja bubar. Ya sudah, saya salat Dhuhur dan Ashar sekaligus.
Seorang polisi mendekati saya. Ia heran dengan tas bawaan saya. Saya jelaskan
maksud perjalanan saya. Kepadanya juga saya tanya masih berapa lama lagi
tanjakan ini akan berakhir.
“Masih jauh, Mas. Nanti mulai turun setelah
lewat Puncak Pinus.”
Sejujurnya saya menyesal telah bertanya
soal itu. Pertanyaan seperti itu mengandung risiko. Jika jawabannya
menyenangkan, maka akan membesarkan hati. Sebaliknya akan menekan mental jika
jawabannya tak sesuai harapan.
Bersiap melanjutkan perjalanan setelah makan, salat, dan istirahat di masjid Al Huda, pukul 14.15 WIB |
Kantuk melanda. Sebuah balai-balai di
samping masjid menjadi tempat berbaring saya. Pesanan teh manis tersaji dalam
kondisi terlalu panas. Terik di luar sana. Saya memutuskan untuk beristirahat
di pondok ini. Sayang mata tidak bisa dipejamkan. Suara anak-anak yang sedang
bermain membuat saya terjaga. Padahal semalam bisa dibilang tidur saya tidak
nyenyak. Saya beberapa kali terbangun. Bayangan akan keseruan perjalanan hari
ini membuat malam tadi menjadi malam yang panjang.
Pukul 14.15 WIB saya meninggalkan masjid Al
Huda. Syukurlah tanjakan di depan tak memanjang. Jalanan kembali menurun dan
berkelok. Tiba-tiba saya merasa sakit kepala. Badan juga mulai merasa agak
demam. Saya segera berhenti di pinggir jalan. Sebotol air segera saya tenggak
hingga habis. Saya baru ingat terakhir minum air putih adalah waktu berhenti di
gerbang kecamatan Cikalong Kulon tadi. Saya terlambat menyadari bahwa saya
mengalami dehidrasi.
Tak berapa lama kemudian saya mencapai
puncak tertinggi kawasan ini. Bernama Puncak Pinus, daerah ini adalah
sesungguhnya sangat menarik untuk disinggahi. Tampak beberapa kedai makan
berjajar di sisi jalan. Saya memilih melewatkannya. Di samping sisa perjalanan
masih jauh, semangat saya sedang menyala-nyala. Salah satu sebabnya adalah harapan
bahwa setelah ini tidak akan ada lagi tanjakan yang menguras tenaga.
Pukul 14.50 WIB saya memasuki wilayah
Kabupaten Bogor. Batas wilayahnya berupa sungai dan ditandai dengan gerbang
besar. Kepada seorang pria yang berada di situ saya minta tolong untuk
difotokan. Foto itu langsung saya kirim ke teman saya, Acan, dan istri di
rumah. Usai berfoto, perjalanan saya lanjutkan lagi.
Masuk wilayah Kabupaten Bogor, pukul 14.53 WIB. |
Hari mulai berganti sore. Trek mulai
bersahabat, pun terpaan sinar matahari mulai reda. Sayang tantangan yang
menyongsong tak kendur. Angin bertiup dari arah depan. Kondisi itu membuat laju
sepeda saya tertahan. Tak hanya itu, badan saya dirambati gejala demam. Kepala
juga masih terasa nyeri. Lutut kiri saya juga terasa sakit. Saya terpaksa
mengirit kayuhan. Setiap menemui tanjakan, saya pasang gigi di posisi teringan
agar otot lutut tidak menanggung beban berat.
Pukul 16.00 WIB saya minggir di sebuah
warung kecil. Perut saya menagih haknya. Sebutir kelapa muda saya tenggak
hingga tandas. Seporsi mi cepat saji dan sebutir telur menjadi santapan
selanjutnya. Lagi-lagi pemilik warung tersekat demi mendengar rute perjalanan
saya ini. Dari dia mengalir cerita soal rute yang saya tempuh ini. Tidak
seseram yang saya bayangkan. Jalur ini selalu ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Bersiap melanjutkan perjalanan setelah mengisi ulang sumber energi, pukul 16.20 WIB |
Satu setengah jam kemudian perjalanan saya
mencapai kota Jonggol. Inilah ikon rute yang saya tempuh. Capaian ini sekaligus
meneguhkan keyakinan saya bahwa saya bisa finish
di Kalibata beberapa jam lagi. Di kota ini saya mampir sebuah apotek. Saya membeli
obat penahan nyeri yang oles dan oral. Meski tak lagi menghadapi tanjakan
terjal, gangguan pada lutut dan kepala kian terasa.
Tiba di Jonggol, pukul 17.31 WIB |
Keyakinan itu kian kuat saat Cileungsi
tampak di depan mata. Kota ini juga menjadi titik temu rute hari ini dengan
rute perjalanan beberapa bulan sebelumnya. Saat itu saya pergi ke rumah adik di
Bogor melalui kota ini. Maka Cibubur, Ciracas, Pasar Rebo, Kramat Jati,
Cililitan, hingga Kalibata adalah jalur yang sudah pernah saya lalui
sebelumnya, meski tidak dengan sepeda.
Apakah tantangannya sudah sirna? Tidak.
Tanjakan memang sudah tidak ada lagi. Hari juga sudah berganti malam. Namun
kini saya memasuki area perkotaan. Kawasan yang padat lalu lintasnya. Dan tantangan
terbesarnya adalah kemacetan. Saya harus beberapa kali berhenti karena arus
lalu lintas benar-benar berhenti. Target makan malam di Kalibata terpaksa saya
revisi karena pukul 19.30WIB saya masih terjebak kemacetan di Cibubur. Jadilah
saya “mengisi tangki” di sini.
Melintas di depan gerbang perumahan Legenda Wisata, pukul 19.00 WIB |
Lalu lintas mengular sepanjang wilayah
jalan Transyogi Cibubur hingga menjelang Kalibata. Penyebabnya bermacam-macam.
Mulai dari angkot ngetem, perbaikan ruas jalan, pasar tumpah, hingga faktor
kepadatan lalu-lintas Jumat malam.
Perempatan Cililitan, pukul 21.00 WIB |
Akhirnya, tepat pukul 21.30 WIB saya
menamatkan perjalanan ini di komplek kantor pajak Kalibata. 158 kilometer, 15
jam waktu total, 8 jam 48 menit waktu bergerak berakhir di halaman KPP Badan
dan Orang Asing. Suara musik berdentum-dentum dari atas panggung. Teman-teman
Taxic sedang menjajal setelan suara untuk perhelatan besok pagi. Beberapa sosok
menyambut saya dengan antusias. Ada mas Danang, mas Dhimas, mas Aris, mas
Rustiyono, mas AJP, mbak Rice, bu Rosma, dan sosok-sosok lain yang akrab wajah
tapi tidak dengan namanya. Suguhan minuman dan nasi goreng saya nikmati dengan
lahap.
Titik henti akhir, pukul 21.30 WIB. |
Setelah membersihkan badan di toilet wanita
masjid Salahuddin, saya menguntit langkah seorang pria ke apartemen Kalibata
City. Pria ini meminjamkan tempatnya untuk saya tiduri malam ini. sampai di
tempat yang dituju, saya bentangkan bendera hitam itu di depannya. Bendera inilah
motivasi terbesar perjalanan saya hari ini. Bendera inilah yang melipat jarak
Bandung – Jakarta.
4 comments:
Mas Slamet...terimakasih untuk apresiasi Dan partisipasi buat Acara ini...kisah perjalanan bendera Taxic Bandung Jakarta...maturnuwun sanget
Selalu menginspirasi, saya sempat bertanya pada ASH, "beneran itu si ket ke Jakarta naik sepeda " dijawab dengan ragu " haaambbuh ".Sesekali mestinya kalian kencan: p
Sama-sama, Mas. Saya bangga jadi bagian dari acara keren ini.
Hahaha... lagian kenapa juga nggak nanya aku langsung...
Post a Comment