Saturday, March 26, 2022

Belajar Jadi Manusia dari Hamka

Sejujurnya saya baru beberapa pekan mencermati nama ini. Sebelumnya saya nyaris tak mengenalnya. Hal yang menuntun saya pun bukan kiprah kemanusiaannya, tapi sosoknya yang dijuluki the real crazy rich. Bermula dari situ, saya menyusuri internet. Perjalanan itulah yang akhirnya membuat saya tahu sosok utuh (versi internet) seorang pria bernama Jusuf Hamka.

Lalu Gusti Allah bermurah hati pada saya. Spectaxcular 2022 menjadi pelantar pertemuan saya dengan beliau. Ditugasi menjadi juru komunikasi dengan para narasumber membuat saya punya waktu lumayan lama berbincang dengan pria yang akrab disapa Babah Alun ini. Terlahir dari multietnis membuat pria kelahiran Samarinda tidak bisa bilang secara spesifik saat saya tanya asal keberadaannya.

“Saya orang Indonesia, pak Slamet. Lha gimana, bapak saya asli etnis Tionghoa, sementara ibu saya sudah campuran Tionghoa-Dayak.”

Saya tak menyangka beliau seterbuka ini dengan saya.

“Hal inilah yang membuat saya selalu mengedepankan toleransi dalam beragama,” tambahnya.

Rupanya nama Jusuf Hamka punya sejarah sendiri. Alkisah pada tahun 1981, Alun Joseph (nama sebelum masuk Islam) memeluk Islam. Proses pengislamannya sendiri berjalan unik. Kala itu Alun mendatangi masjid Al Azhar untuk mengucapkan kalimat syahadat. Oleh pengurus masjid, pemuda berusia 23 tahun tersebut diajak ke rumah Buya Hamka. Di tempat itulah kalimat syahadat diucapkan oleh Alun Joseph. Tak hanya membimbing pembacaan kesaksian Alun terhadap Allah dan nabi Muhammad, ulama besar itu juga menghadiahkan nama kepada mualaf tersebut. Lahirlah nama baru Jusuf Hamka.

“Saya tidak anti toa (pelantang suara), Pak Slamet. Tapi kita juga harus sadar bahwa kita hidup di lingkungan yang beragam. Ada orang yang punya keyakinan berbeda dengan kita. Ada anak kecil dan orang tua yang mungkin sedang sakit dan butuh istirahat. Kalau mbangunin sahur jam 1 malam menurut saya sudah tidak pada tempatnya.”

Ketika berbicara soal ini, pria berpembawaan santun ini sedikit berubah. Nada suaranya agak ketus dan sesekali meninggi, nyaris berapi-api.

“Kadang sikap kita cenderung egois saat jadi mayoritas. Mereka belum pernah merasakan menjadi minoritas seperti saya.” 

Kalimat ini membuat saya terdiam. Isi kalimatnya mengoyak perasaan saya. Selama ini saya jarang menyimulasikan diri dalam kondisi seperti yang beliau sampaikan. Saya memang beberapa kali menjalani hari sebagai minoritas. Di antaranya saat berkunjung ke Nepal beberapa tahun silam. Saat itu, tahun 2015, saya berburu foto ke sana selama sepekan. Tantangannya hanya soal makanan. Namun ini relatif mudah diatasi. Makan saya telur dan ikan, beres. Tentu kadar keimanan saya masih menoleransi atau mengabaikan proses memasaknya.

Ada cerita menarik saat saya tiba di kota Bandipur. Dasarnya memang senang ngobrol, saya nyanthol di sebuah toko makanan. Pemilik tokonya warga keturunan Arab. Kepadanya saya bertanya tentang lokasi masjid terdekat.

“Di desa sebelah, limabelas kilometer dari sini. Di balik bukit itu,” jawabnya.

“Anda salat Jumat di mana?”

“Di sana,” jawabnya singkat.

Jawaban yang menampar batin saya saat itu. Betapa tidak. Selama ini bisa dibilang saya tidak perlu menempuh jarak ratusan meter untuk salat Jumat. Saking berdekatannya, terkadang kita bisa mendengar khutbah masjid lain dari masjid kita. Di kampung belakang tempat tinggal saya, tiap pagi, seusai waktu Subuh sampai jam 5.30-an, saya bisa mendengar tiga pelantang suara dari tiga masjid yang berbeda.

“Soal mbangun masjid, Pak. Saya juga belajar dari Bapak yang punya keinginan membangun seribu masjid. Bagaimana ceritanya, Pak?”

“Jadi gini, pak Slamet. Tadinya cita-cita saya cuma lima masjid. Suatu hari saya seperti mendapat tantangan dari Allah. Jangan cuma lima, seribu. Gitulah kira-kira bisikan batin saat itu. Maka saya jadikan program pembangunan seribu masjid sebagai kewajiban saya.”

“Kriteria pemilihan lokasinya gimana, Pak?”

“Macem-macem. Ada yang di kolong tol, ada pula yang di tempat tak terduga. Itu pak Slamet tahu Taman Suropati Menteng, kan? Bertahun-tahun tidak ada masjid di sekitar situ. Para pekerja pada bingung kalau mau salat berjamaah, sementara mereka tidak bisa terlalu lama ninggalin pekerjaannya. Saya sudah berusaha ngurus perijinan tapi nggak beres-beres. Eh, lha kok pos polisi di situ roboh. Lama terlantar, sekitar delapan bulan, bangunan itu tidak terurus. Lalu saya didatangi aparat pemerintah setempat. Mereka bertanya, apa saya mau memperbaiki pos polisi itu? Saya jawab dengan pertanyaan, boleh nggak sekalian saya bangunkan masjidnya juga? Barulah masjid di sana terbangun.”

“Ijin berbagi pengalaman juga, Pak. Seperti kita tahu, Islam di Jawa ini kan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Maka bisa dimaklumi kalau usia masjidnya juga sudah tua. Nah, selama ini saya suka ketitipan proposal rehab masjid dari tetangga di Wonogiri sana. Salah satunya yang sedang berlangsung adalah Rehab Masjid Tua Dari situ biasanya saya buatkan penggalangan dana di kitabisa.com serta saya sebarkan ke teman-teman melalui medsos. Saya jadi punya kesimpulan bahwa seseorang yang sudah punya niat bersedekah kadang masih perlu diketuk pintu rumahnya agar niat tersebut terealisasi. Nah, alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk menjadi pengetuk pintu itu, Pak.”

“Betul, pak Slamet. Itu bagus sekali. Banyak orang yang menjadikan harta sebagai tujuan akhir. Padahal harusnya harta itu hanya sebagai sarana. Untuk mendapat kemuliaan di mata Allah.”

Obrolan kami masih berjalan seru saat saya mendapat kode untuk segera beranjak. Menteri Keuangan akan masuk ke ruangan ini. Ada perasaan yang masih menggantung karena saya harus berpisah dengan sosok yang baru saya kenal tersebut. Beliau akan menjadi narasumber kami dan saya tak bisa lagi ngobrol dengannya.

Usai acara, pak Jusuf Hamka tak langsung beranjak. Beliau mampir ke warung dadakan yang kami gelar di selasar aula. Saya mengamatinya dari kejauhan. Pengusaha jalan tol itu tampak membeli beberapa barang tanpa banyak cakap. Dua asisten mendampinginya. Usai bertransaksi, mereka bertiga berjalan menuju arah luar. Saya mencegatnya.

“Pak Jusuf, mohon berkenan makan siang dulu.”

“Wah, nggak usah pak Slamet, ngeprotin.”

“Lho tidak, Pak. Bapak kan tamu kami, jangan sampai kami jadi tuan rumah yang dzalim karena tidak menjamu tamu. Tapi mohon maklum nggih, Pak. Menunya ala pemerintah.”

“Ya sudah kalo gitu, saya makan.”

Saya mengiringinya sampai pintu ruang makan VIP. Demi melihat sajian nasi liwet, wajah pria berusai 65 tahun itu tampak ceria.

“Waaah, nasi liweeeet. Kesukaan saya ini.”

“Siaap, monggo, Pak. Saya tinggal ya, Pak. Selamat makan, saya ijin hande pak Tung Desem dulu.”

Kepada seorang pejabat pimpinan tinggi madya yang saya kenal baik, pak Jusuf saya arahkan. Mereka lekas berbincang akrab. 

Selain pak Jusuf Hamka, pak Tung Desem Waringin jadi salah satu narasumber acara kami tadi. Sebelum acara dimulai, saya juga yang menemaninya di ruang tunggu utama. Motivator handal itu banyak memberikan masukan soal cara memasarkan pajak. Saya mencari GM-nya pak Tung Desem Waringin. Sosok yang saya cari berada di sisi selatan aula

“Mas, pak Tung mana? Ayuk diajak makan.”

“Wah, beliau langsung ke bandara, Pak. Mau nyekar ibunya di Solo.”

 “Lho, pak Tung itu priyayi Solo?”

“Iya, Pak. Asli Solo.”

“Walah, tau gitu saya tadi ngobro sambil bawa-bawa nama Solo. Siapa tahu nyambung… haha. Ya sudah, Njenengan silakan makan, ya. Saya tak balik ke ruangan VIP.”

Saya tak benar-benar kembali ke ruangan itu, tapi hanya duduk di ruang tunggunya. Kepada salah satu staf, saya bilang, “Rin, nanti tolong fotoin aku sama pak Jusuf, ya. Pakai hape kamu aja.”

Tak berapa lama pak Jusuf beranjak keluar. Atasan saya mendampinginya. Saya menyongsong mereka. Memanfaatkan jeda waktu, saya minta ijin untuk berfoto bersamanya.

“Saya pamit, Bapak dan Ibu. Tidak usah diantar ke bawah,” pintanya.

Bukan tuan rumah yang baik pula jika kami tak mengantarnya ke pintu. Dan lagi-lagi saya yang mendapat kesempatan baik itu.

Sejam berbincang dengan pak Jusuf Hamka bak mengarungi telaga ilmu. Beberapa bagian tidak saya tulis karena alasan tertentu. Selebihnya saya belajar menjadi manusia darinya.

Saya dan Jusuf Hamka. Ternyata beliau lebih tinggi daripada saya


Jakarta, 25 Maret 2022

No comments: