Saturday, July 2, 2022

Pemasar Amnesti

Data statistik PPS


Bagi saya, Undang-Undang Harmonisasi Pajak adalah produk hukum yang punya nilai paling berkesan. Apa sebab? Karena saya ditakdirkan menjadi bagian dari tim besar pemasarnya. Kesan mendalam mungkin tidak akan saya peroleh jika peran saya hanya berada di ujung “proses produksi” beleid tersebut. Nyatanya sejak undang-undang ini digodok di rapat-rapat panja DPR, saya sudah dicemplungin di dalam tim tersebut. Sekali lagi, peran saya tentu berada pada ranah publikasi.

Berada di dekat tim pembahas membuat saya tahu banyak bagaimana mesin perundang-undangan negeri ini bekerja. Bahasan di rapat-rapat tersebut amat detil dan terstruktur, terbagi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam konteks UU HPP, berapa DIM-nya? Lebih dari lima ratus buah. Dalam satu sesi rapat panja terkadang bisa menyepakati banyak DIM, namun di lain waktu bisa juga hanya berhasil meng-gol-kan satu-dua DIM. Diskusi bisa berjalan alot, bahkan berujung kebuntuan. Kalau sudah begini, biasanya kedua belah pihak, pemerintah dan DPR, mendinginkan diri dalam bentuk skors. Artinya durasi rapat bertambah panjang.

Lain durasi rapat, lain pula animo pers. Sebagai sebuah “janin” yang akan berdampak luas, RUU HPP adalah objek buruan media massa. Dengan berbagai cara mereka memburu berita, mulai dari cara konvensional (wawancara) hingga melalui jalur investigasi. Dari sisi pembahas, terkadang ada oknum yang bermain dua kaki sehingga materi rapat yang harusnya rahasia tahu-tahu sudah muncul di media massa. Saat hal ini terjadi, kami di humaslah yang harus memainkan peran. Bagaimana caranya? Beragam, mulai dari pendekatan informal, membuat tandingan berita melalui key opinion leader, hingga penyampaian hak jawab.

Selain pembahasan bersama DPR, pemerintah juga melakukan forum diskusi terpumpun dengan berbagai kalangan. Terhitung lebih dari lima pihak yang digandeng pemerintah dalam ajang tersebut. Akademisi, kelompok pengusaha, perkumpulan konsultan pajak, hingga mantan dirjen pajak diundang dalam sesi diskusi yang berbeda. Tujuannya tentu saja mendapatkan masukan dan mencari dukungan agar produk perundang-undangan ini kelak jadi sesuatu yang tinggi nilai jualnya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus memitigasi risiko berupa reaksi publik, mengingat dalam rancangan UU tersebut ada beberapa ketentuan yang berimbas langsung pada masyarakat luas, seperti kenaikan tarif PPN.

Saat hal ini dilakukan, varian Delta tengah merajalela. Kondisi itu memaksa forum dilakukan secara daring. Saya pernah menjadi asisten sorot dari Bandung, di mana dirjen berada di kantornya, dan para peserta rapat berada di puluhan tempat yang berbeda. Ada sensasi tersendiri saat berada di sebuah pertemuan yang amat tergantung pada kuota internet kita.

Tahun 2021 telah mencapai sepertiga perjalanannya saat pembahasan rancangan undang-undang dimaksud masih amat jauh dari selesai. Dalam sebuah kesempatan saya bertanya pada orang yang terlibat langsung dalam rapat-rapat panja.

“Pak, kira-kira selesai tahun ini nggak, ya?”

“Belum tahu juga nih, om Sla,” jawabnya.

“Terus terang saya berharap disahkannya tahun depan saja, Pak.”

“Kenapa, Om?”

“Ini sudah bulan September, anggaran kami makin menipis dan sebagian besar sudah di-refocus ke dana penanganan covid.”

Kerisauan saya tentu tak muncul begitu saja. Sebagai unit pengelola kegiatan kehumasan eksternal saya punya tugas yang sebagian besar berbasis anggaran. Sebut saja produksi iklan layanan masyarakat, penayangan iklan di berbagai media, hingga edukasi secara langsung kepada masyarakat. Perihal ini akan saya bahas tersendiri di tulisan berikutnya.

Bulan Oktober baru memasuki pekan pertama saat rapat marathon mulai memasuki muara kesepakatan. Prosesnya memang amat progresif, nyaris eksponensial. Sisa DIM disepakati dengan cepat. Dan di ujung pekan kedua, tepatnya hari Kamis, 7 Oktober 2021, pemerintah dan DPR sepakat menaikkan status RUU HPP menjadi UU HPP. Ada sejumput perasaan lega, namun itu tak berlangsung lama. Benak saya langsung dipenuhi beragam skenario publikasi. Belum genap semua itu, perintah sudah turun. Hari itu juga, kami harus mengadakan konferensi pers. Saat yang sama, Menteri Keuangan sedang berada di belahan dunia lain. Artinya harus ada kompromi waktu. Akhirnya diputuskan bahwa konferensi pers akan diadakan pukul 19.00 WIB. Kami akan menangangi pejabat utama DPR di sebuah tempat di Kebayoran Baru, sementara dua narasumber lainnya berada di tempat yang berbeda. Tujuh jam sejak disepakati, UU HPP langsung didengungkan ke publik melalui kanal Youtube Ditjen Pajak RI dan ditonton ribuan orang.

Hari-hari berikutnya adalah sebuah pergulatan di medan komunikasi. Seperti saya kemukakan di atas, anggaran kami sudah terkikis oleh kebutuan darurat penanganan covid-19. Di lain pihak, UU ini harus segera disosialisasikan segera. Strategi komunikasi segera kami susun. Pesan kunci dikemas sekuat dan setepat mungkin. Meski sudah disepakati dengan wakil rakyat, bukan berarti produk hukum ini tak punya risiko kontroversi.

Di lain pihak, teman-teman di bagian pengadaan mulai berjibaku dengan sisa duit yang ada dan terserak di berbagai pos. Menatanya butuh waktu dan proses tidak pendek karena melibatkan peran unit eselon satu lain. Dan waktu tak pernah mau menunggu. Tanggal 19 November 2021 DJP menabuh gong dimulainya sosialisasi UU HPP di Bali. Saya kebagian peran apa? Gado-gado, mulai dari urusan materi sosialisasi, mengelola hubungan media, hingga mengecek kondisi kamar hotel yang akan ditempati orang penting di negeri ini.

Tak hanya melalui kanal tatap muka, kami juga merambah jalur lain. Seluruh platform media sosial kantor dipenuhi dengan konten UU HPP. ILM diproduksi dengan sisa nafas DIPA. Penyuluhan kepada masyarakat luas dan kepada agen-agen perubahan digalakkan hampir setiap waktu. Semangat itu seakan menemukan dorongannya saat penerimaan pajak juga tumbuh pesat. Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, setelah puasa belasan tahun, DJP pecah telor target penerimaan pada tahun 2021 kemarin.

Tahun 2022 datang tak terbendung. Yang unik dari UU HPP adalah bahwa ada pasal-pasal tertentu yang berlaku tidak per 1 Januari 2022. Ambil contoh kenaikan tarif PPN per 1 April 2022 dan pajak karbon per 1 Juli 2022. Artinya, strategi komunikasi atas dua hal tersebut harus dipisah. Saat yang sama, per 1 Januari 2022, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dimulai. Program ini digadang-gadang bakal jadi pengerek penerimaan pajak tahun ini. Sasarannya adalah eks peserta Tax Amnesty dan Wajib Pajak OP yang belum klir SPT-nya. Artinya, jualan program ini harus masif. Meski tidak ada target perolehan uang setoran pajak, tetap saja ada beban moral kesuksesan TA yang meraup 114 triliun rupiah itu.

Maka DJP seperti pemain silat yang mengeluarkan segala jurus menyerang musuhnya. Publikasi, sosialisasi, pelayanan, dan kerja sama – kemitraan digalakkan melalui berbagai jalur. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, selama kurun waktu setengah tahun ini DJP telah mengadakan beragam komunikasi publik dengan jumlah kegiatan mencapai ribuan kali, menjangkau jutaan orang, dan dilakukan di seantero negeri.

Ada peristiwa unik yang saya alami dua hari lalu. Saat mendampingi pimpinan yang sedang talkshow di sebuah stasiun televisi, istri saya mengirim pesan.

“Pak, ada pak Neil di Metro TV.”

“Tahu laaah, wong aku di samping beliau,” jawab saya sembari mengirim foto selfie.

“Mbahas apa sih, Pak?”

“PPS, Ma.”

“Kayak Tax Amnesty dulu?”

“Iya, tapi beda tarif.” Saya mulai kewalahan.

“Emang tarifnya berapa?”

Pertanyaan itu tak saya jawab. Saya mendadak merasa gagal menjadi kasi hubungan eksternal terbaik se-Indonesia. (Tenang, bisa juga kasi hubungan eksternal terburuk, wong jabatan itu cuma ada satu di semesta ini).

Langit Jakarta tampak cerah malam kemarin. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saat sebagian besar orang Indonesia telah terlelap tidur, ratusan pegawai DJP di berbagai tempat masih melek. Mereka tengah menunggu detik-detik terakhir masa berlaku PPS. Yaps, tanggal 30 Juni 2022 adalah batas akhir kesempatan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT. Tak ingin melewatkan momen bersejarah ini, saya ikut begadang di kantor.

Pimpinan tertinggi kami hadir di sana. Beliau menyapa seluruh kepala kanwilnya satu persatu, menanyakan kabar, menyemangati, dan berucap terima kasih atas kerja keras selama ini. Wajah-wajah riang menghiasi layar sorot. Mereka memang berhak atas kebahagiaan ini. PPS bisa dibilang sukses besar. Tolok ukurnya tak hanya jumlah setoran pajak yang berhasil dihimpun, tapi juga animo masyarakat. Hingga jam-jam terakhir, masih ada saja orang yang bawa uang tunai ke bank untuk ikut PPS. Dan hingga pukul 24.00 WIB, tombol kahar yang menandakan gangguan sistem dan jaringan tidak pernah ditekan oleh operatornya. DJP membuktikan diri bahwa layanan daring adalah kekuatan utama institusi pengusung ide reformasi birokrasi ini.

Lalu sore tadi bu Sri Mulyani Indrawati mengumumkan angka PPS. 61 (enam puluh satu) triliun rupiah setoran pajak berasal dari PPS masuk ke pundi-pundi APBN. Hampir 248 ribu Wajib Pajak menjadi pesertanya. Saya tak bisa mengkalkulasi berapa banyak data yang berhasil dikumpulkan dari program ini. Tapi saya percaya, ada bangunan kuat yang telah berdiri berkat PPS. Dan itu akan jadi modal besar bagi DJP di masa depan.

Perolehan dan peserta PPS memang di bawah TA. Tapi keduanya memang bukan apel yang bisa dibanding-bandingkan.

Wassalam.

2 comments:

arifkancil said...

Selamat Mas. Sharing pengalaman yang mencerahkan. Cadas.

Masla said...

Nuwun, Om.