Data statistik PPS |
Bagi
saya, Undang-Undang Harmonisasi Pajak adalah produk hukum yang punya nilai paling
berkesan. Apa sebab? Karena saya ditakdirkan menjadi bagian dari tim besar pemasarnya.
Kesan mendalam mungkin tidak akan saya peroleh jika peran saya hanya berada di
ujung “proses produksi” beleid tersebut. Nyatanya sejak undang-undang ini digodok
di rapat-rapat panja DPR, saya sudah dicemplungin di dalam tim tersebut.
Sekali lagi, peran saya tentu berada pada ranah publikasi.
Berada
di dekat tim pembahas membuat saya tahu banyak bagaimana mesin
perundang-undangan negeri ini bekerja. Bahasan di rapat-rapat tersebut amat
detil dan terstruktur, terbagi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam
konteks UU HPP, berapa DIM-nya? Lebih dari lima ratus buah. Dalam satu sesi
rapat panja terkadang bisa menyepakati banyak DIM, namun di lain waktu bisa
juga hanya berhasil meng-gol-kan satu-dua DIM. Diskusi bisa berjalan alot, bahkan
berujung kebuntuan. Kalau sudah begini, biasanya kedua belah pihak, pemerintah
dan DPR, mendinginkan diri dalam bentuk skors. Artinya durasi rapat bertambah
panjang.
Lain
durasi rapat, lain pula animo pers. Sebagai sebuah “janin” yang akan berdampak
luas, RUU HPP adalah objek buruan media massa. Dengan berbagai cara mereka
memburu berita, mulai dari cara konvensional (wawancara) hingga melalui jalur investigasi.
Dari sisi pembahas, terkadang ada oknum yang bermain dua kaki sehingga materi
rapat yang harusnya rahasia tahu-tahu sudah muncul di media massa. Saat hal ini
terjadi, kami di humaslah yang harus memainkan peran. Bagaimana caranya?
Beragam, mulai dari pendekatan informal, membuat tandingan berita melalui key
opinion leader, hingga penyampaian hak jawab.
Selain
pembahasan bersama DPR, pemerintah juga melakukan forum diskusi terpumpun dengan
berbagai kalangan. Terhitung lebih dari lima pihak yang digandeng pemerintah
dalam ajang tersebut. Akademisi, kelompok pengusaha, perkumpulan konsultan
pajak, hingga mantan dirjen pajak diundang dalam sesi diskusi yang berbeda. Tujuannya
tentu saja mendapatkan masukan dan mencari dukungan agar produk perundang-undangan
ini kelak jadi sesuatu yang tinggi nilai jualnya. Tak hanya itu, pemerintah
juga harus memitigasi risiko berupa reaksi publik, mengingat dalam rancangan UU
tersebut ada beberapa ketentuan yang berimbas langsung pada masyarakat luas,
seperti kenaikan tarif PPN.
Saat
hal ini dilakukan, varian Delta tengah merajalela. Kondisi itu memaksa forum
dilakukan secara daring. Saya pernah menjadi asisten sorot dari Bandung, di
mana dirjen berada di kantornya, dan para peserta rapat berada di puluhan
tempat yang berbeda. Ada sensasi tersendiri saat berada di sebuah pertemuan yang
amat tergantung pada kuota internet kita.
Tahun
2021 telah mencapai sepertiga perjalanannya saat pembahasan rancangan
undang-undang dimaksud masih amat jauh dari selesai. Dalam sebuah kesempatan
saya bertanya pada orang yang terlibat langsung dalam rapat-rapat panja.
“Pak,
kira-kira selesai tahun ini nggak, ya?”
“Belum
tahu juga nih, om Sla,” jawabnya.
“Terus
terang saya berharap disahkannya tahun depan saja, Pak.”
“Kenapa,
Om?”
“Ini
sudah bulan September, anggaran kami makin menipis dan sebagian besar sudah
di-refocus ke dana penanganan covid.”
Kerisauan
saya tentu tak muncul begitu saja. Sebagai unit pengelola kegiatan kehumasan
eksternal saya punya tugas yang sebagian besar berbasis anggaran. Sebut saja produksi
iklan layanan masyarakat, penayangan iklan di berbagai media, hingga edukasi
secara langsung kepada masyarakat. Perihal ini akan saya bahas tersendiri di
tulisan berikutnya.
Bulan
Oktober baru memasuki pekan pertama saat rapat marathon mulai memasuki muara
kesepakatan. Prosesnya memang amat progresif, nyaris eksponensial. Sisa DIM
disepakati dengan cepat. Dan di ujung pekan kedua, tepatnya hari Kamis, 7 Oktober
2021, pemerintah dan DPR sepakat menaikkan status RUU HPP menjadi UU HPP. Ada
sejumput perasaan lega, namun itu tak berlangsung lama. Benak saya langsung dipenuhi
beragam skenario publikasi. Belum genap semua itu, perintah sudah turun. Hari
itu juga, kami harus mengadakan konferensi pers. Saat yang sama, Menteri Keuangan
sedang berada di belahan dunia lain. Artinya harus ada kompromi waktu. Akhirnya
diputuskan bahwa konferensi pers akan diadakan pukul 19.00 WIB. Kami akan menangangi
pejabat utama DPR di sebuah tempat di Kebayoran Baru, sementara dua narasumber
lainnya berada di tempat yang berbeda. Tujuh jam sejak disepakati, UU HPP langsung
didengungkan ke publik melalui kanal Youtube Ditjen Pajak RI dan ditonton
ribuan orang.
Hari-hari
berikutnya adalah sebuah pergulatan di medan komunikasi. Seperti saya kemukakan
di atas, anggaran kami sudah terkikis oleh kebutuan darurat penanganan covid-19.
Di lain pihak, UU ini harus segera disosialisasikan segera. Strategi komunikasi
segera kami susun. Pesan kunci dikemas sekuat dan setepat mungkin. Meski sudah
disepakati dengan wakil rakyat, bukan berarti produk hukum ini tak punya risiko
kontroversi.
Di
lain pihak, teman-teman di bagian pengadaan mulai berjibaku dengan sisa duit yang
ada dan terserak di berbagai pos. Menatanya butuh waktu dan proses tidak pendek
karena melibatkan peran unit eselon satu lain. Dan waktu tak pernah mau
menunggu. Tanggal 19 November 2021 DJP menabuh gong dimulainya sosialisasi UU
HPP di Bali. Saya kebagian peran apa? Gado-gado, mulai dari urusan materi
sosialisasi, mengelola hubungan media, hingga mengecek kondisi kamar hotel yang
akan ditempati orang penting di negeri ini.
Tak
hanya melalui kanal tatap muka, kami juga merambah jalur lain. Seluruh platform
media sosial kantor dipenuhi dengan konten UU HPP. ILM diproduksi dengan sisa
nafas DIPA. Penyuluhan kepada masyarakat luas dan kepada agen-agen perubahan
digalakkan hampir setiap waktu. Semangat itu seakan menemukan dorongannya saat penerimaan
pajak juga tumbuh pesat. Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, setelah
puasa belasan tahun, DJP pecah telor target penerimaan pada tahun 2021 kemarin.
Tahun
2022 datang tak terbendung. Yang unik dari UU HPP adalah bahwa ada pasal-pasal
tertentu yang berlaku tidak per 1 Januari 2022. Ambil contoh kenaikan tarif PPN
per 1 April 2022 dan pajak karbon per 1 Juli 2022. Artinya, strategi komunikasi
atas dua hal tersebut harus dipisah. Saat yang sama, per 1 Januari 2022, Program
Pengungkapan Sukarela (PPS) dimulai. Program ini digadang-gadang bakal jadi
pengerek penerimaan pajak tahun ini. Sasarannya adalah eks peserta Tax Amnesty
dan Wajib Pajak OP yang belum klir SPT-nya. Artinya, jualan program ini harus masif.
Meski tidak ada target perolehan uang setoran pajak, tetap saja ada beban moral
kesuksesan TA yang meraup 114 triliun rupiah itu.
Maka
DJP seperti pemain silat yang mengeluarkan segala jurus menyerang musuhnya. Publikasi,
sosialisasi, pelayanan, dan kerja sama – kemitraan digalakkan melalui berbagai jalur.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, selama kurun waktu setengah tahun ini
DJP telah mengadakan beragam komunikasi publik dengan jumlah kegiatan mencapai ribuan
kali, menjangkau jutaan orang, dan dilakukan di seantero negeri.
Ada
peristiwa unik yang saya alami dua hari lalu. Saat mendampingi pimpinan yang
sedang talkshow di sebuah stasiun televisi, istri saya mengirim pesan.
“Pak,
ada pak Neil di Metro TV.”
“Tahu
laaah, wong aku di samping beliau,” jawab saya sembari mengirim foto selfie.
“Mbahas
apa sih, Pak?”
“PPS,
Ma.”
“Kayak
Tax Amnesty dulu?”
“Iya,
tapi beda tarif.” Saya mulai kewalahan.
“Emang tarifnya berapa?”
Pertanyaan itu tak saya jawab. Saya mendadak merasa gagal menjadi kasi hubungan eksternal terbaik se-Indonesia. (Tenang, bisa juga kasi hubungan eksternal terburuk, wong jabatan itu cuma ada satu di semesta ini).
Langit
Jakarta tampak cerah malam kemarin. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00
WIB. Saat sebagian besar orang Indonesia telah terlelap tidur, ratusan pegawai
DJP di berbagai tempat masih melek. Mereka tengah menunggu detik-detik terakhir
masa berlaku PPS. Yaps, tanggal 30 Juni 2022 adalah batas akhir kesempatan
pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT. Tak ingin melewatkan momen
bersejarah ini, saya ikut begadang di kantor.
Pimpinan
tertinggi kami hadir di sana. Beliau menyapa seluruh kepala kanwilnya satu
persatu, menanyakan kabar, menyemangati, dan berucap terima kasih atas kerja
keras selama ini. Wajah-wajah riang menghiasi layar sorot. Mereka memang berhak
atas kebahagiaan ini. PPS bisa dibilang sukses besar. Tolok ukurnya tak hanya
jumlah setoran pajak yang berhasil dihimpun, tapi juga animo masyarakat. Hingga
jam-jam terakhir, masih ada saja orang yang bawa uang tunai ke bank untuk ikut
PPS. Dan hingga pukul 24.00 WIB, tombol kahar yang menandakan gangguan sistem dan
jaringan tidak pernah ditekan oleh operatornya. DJP membuktikan diri bahwa
layanan daring adalah kekuatan utama institusi pengusung ide reformasi
birokrasi ini.
Lalu
sore tadi bu Sri Mulyani Indrawati mengumumkan angka PPS. 61 (enam puluh satu) triliun rupiah
setoran pajak berasal dari PPS masuk ke pundi-pundi APBN. Hampir 248 ribu Wajib
Pajak menjadi pesertanya. Saya tak bisa mengkalkulasi berapa banyak data yang
berhasil dikumpulkan dari program ini. Tapi saya percaya, ada bangunan kuat yang
telah berdiri berkat PPS. Dan itu akan jadi modal besar bagi DJP di masa depan.
Perolehan
dan peserta PPS memang di bawah TA. Tapi keduanya memang bukan apel yang bisa dibanding-bandingkan.
Wassalam.
2 comments:
Selamat Mas. Sharing pengalaman yang mencerahkan. Cadas.
Nuwun, Om.
Post a Comment