Thursday, June 8, 2023

Bromokom Challenge 2023: Mimpi, Obsesi, dan Harga Diri

Saya pertama kali mendengar istilah Bromokom pada awal tahun 2019. Adalah seorang teman yang menantang saya untuk ikut event nanjak perih tersebut tahun depan (2020). Tentu saja tantangannya saya abaikan. Saya punya sejumlah alasan: mahal, jauh, tidak punya sepeda yang pas, dan tak yakin mampu finish sebelum COT.

Tahun berganti. Indonesia dikepung pandemi dan sepeda mendadak menjadi idola hampir setiap manusia. Bromokom tetap digelar meski dengan berbagai pembatasan terkait protokol kesehatan. Alih-alih menyusut, pesertanya makin membludak, padahal tiketnya tetap mahal. Sebagai gambaran, tiket event Audax dibandrol dalam bilangan ratusan ribu. Bromokom? Hampir dua juta. Dan laris manis. Dalam hitungan kurang dari sepuluh jam, slot peserta sebanyak 1.500 ludes diserbu peminat.

Bromokom Challenge memang istimewa. Daya tariknya tinggi. Saya mencatat beberapa hal yang menjadi magnet bagi para pesepeda untuk ikut event ini. Pertama rute. Rute Bromokom Challange amat klasik, hampir tak berubah. Start dari kota Surabaya, mampir Pasuruan, dan finish di Pendopo Desa Wonokitri. Jaraknya pun relatif sama, 102 kilometer dengan jumlah elevasi 1.800 meter. Dengan begitu, peserta bisa memperkirakan gambaran rute, baik jarak maupun tanjakan yang harus mereka lalui. Hal ini bisa jadi bekal untuk melakukan simulasi di daerah masing-masing sebelum ikut lomba.

Daya tarik kedua adalah kemudahan akses. Ya, Surabaya mudah dijangkau dari seluruh Tanah Air. Apalagi bagi peserta dari pulau Jawa, mau naik apapun bisa. Yang dari luar Jawa pun dengan mudah bisa naik pesawat. Tercatat ada peserta dari Papua, lho. Ada pula peserta dari luar negeri. Titik start yang berada di tengah kota amat memudahkan peserta untuk mencari akomodasi.

Daya tarik selanjutnya adalah ketenaran Bromo itu sendiri. Bisa dibilang nama Bromo sudah mendunia. Taman nasional yang ciri khasnya kaldera dan lautan pasir ini jadi destinasi wisata primadona Jawa Timur. Berkunjung ke Bromo memang tak cukup sekali, karena area ini amat luas.

Maka tak heran jika tiket Bromokom selalu ludes dalam hitungan jam. Ikut Bromokom adalah sebuah gengsi tersendiri.

Dan tahun ini, 2023, saya tak bisa menghindar dari magnet event ini. Demi mengamankan slot, saya pasang mata begitu loket dibuka. Sebagai catatan, loket dibuka tepat pergantian hari, artinya tepat pukul 00.00 WIB. Seumur-umur baru kali ini saya meluangkan waktu sedemikian kuat untuk membeli sebuah tiket kepesertaan lomba yang tidak ada pialanya, haha. Dan loket itu dibuka tanggal 8 Februari 2023, artinya masih berjarak empat bulan dari hari H.

Begitu tiket berada di tangan, saya mulai memikirkan beberapa hal, mulai dari pilihan tranportasi, lokasi menginap, hingga mengukur kekuatan diri. Saya membaginya dalam beberapa segmen tulisan.

I. Persiapan.

Dari sisi fisik, saya tak menyiapkan diri secara khusus. Modal saya hanya bike to work secara rutin ke kantor sejak tahun 2019. Rata-rata jarak tempuh per hari mencapai 50 kilometer. Saya sendiri juga jarang melatih diri menggunakan roadbike.

Sehabis Lebaran, saya memang mencari tanjakan untuk menyiapkan otot. Saya bersepeda ke Kawah Domas, Tangkuban Perahu dengan roadbike, ke Kawasan Pengalengan dengan sepeda besi, dan keliling Kawasan Kota Baru Parahiyangan dengan roadbike. Itulah menu latihan saya di luar bike to work tadi.

Sejujurnya saya lebih memikirkan pilihan transportasi yang akan saya gunakan ke Surabaya. Saya menyingkirkan pilihan kereta api, karena tidak bisa bawa sepeda besar. Demikian juga dengan pesawat, terlalu mahal buat saya. Pilihannya tinggal naik bus regular atau gabung ke rombongan peserta. Alhamdulillah, di saat-saat akhir, saya mendapat tawaran untuk bergabung dengan teman-teman dari Cilegon yang tergabung dalam klub Skuba. Yang lebih menyenangkan lagi, ongkosnya sangat manusiawi. Tiket pulang-pergi dengan bus khusus sepeda hanya seharga 1,3 juta rupiah.

Langkah selanjutnya adalah mencari tempat penginapan. Patokan saya hanya satu, dekat dengan titik start dan harganya ekonomis. Dapatlah sebuah hotel seharga 380.000 rupiah untuk dua malam tanpa sarapan. Pokoke bisa untuk nglurusin pinggang, pikir saya.

Rombongan bus itu berangkat dari Cilegon dan saya menunggunya di Jakarta. Tepat pukul 23.00 WIB, Kamis, 25 Mei 2023 bus nyamperi saya di bilangan Cawang. Busnya berukuran sedang tapi berbodi panjang. Sepeda dapat dimuat dengan aman, tak khawatir bakal lecet. Yang jadi masalah adalah jarak antartempat duduk yang amat sempit untuk inseam saya yang sepanjang 84 cm. Tak apalah, demi berburu hemat, haha.

Pukul 11.00 WIB keesokan harinya, kami tiba di Surabaya. Bus tidak langsung menuju tempat pengambilan racepack di Surabaya Town Square, tapi mampir ke masjid Al Akbar Surabaya. Kami salat Jumat dan makan siang di kawasan ini. Usai menuntaskan urusan, bus menuju Sutos.

Sebagai event yang sudah sembilan kali digelar sejak 2014, Bromokom dikelola dengan apik. Kerja panitia amat rapi. Ini terlihat dari proses pengambilan racepack. Melalui surat elektronik, tiap peserta diwajibkan mencetak tanda terima racepack masing-masing dan dibawa saat pengambilan racepack. Kewajban ini terbukti memudahkan proses tersebut. Waktu yang saya habiskan untuk mengambil nomor antrean hingga menyelesaiakan proses pengambilan racepack tidak lebih dari 15 menit. Keren.

Usai ambil racepack, saya sempat ketemu dengan teman-teman sesama peserta di sebuah kedai kopi. Kami tak lama di sini, karena badan saya masih capek sekali. Pun mata terasa berat, karena kurang tidur selama perjalanan. Menjelang Magrib saya tiba di hotel. Dan saya agak terperangah dengan kondisi hotel pesanan saya. Agak-agak gimana gitu, haha….. tapi ya sudahlah, sepadan pula dengan harga yang saya bayar.

Beres mandi dan makan malam, saya segera membereskan sepeda. Logistik yang mau saya bawa selama perjalanan saya pasang di sepeda, termasuk mengisi bidon. Saya memasang dua tas di sepeda, satu di top tube dan satu di sadel. Tas sadel saya isi dengan ban dalam cadangan, toolkit, kartu ATM, KTP, alat tambal ban, dan permen garam. Tas toptube saya isi dengan empat buah Fitbar, ponsel, dan permen garam. Saya menyiapkan satu bidon air mineral dan satu botol  Pocari Sweat. Selain itu, saya juga membawa pompa tangan yang saya gantungkan di toptube.

II. Hari H

Saya bangun pukul 04.00 WIB oleh alarm ponsel. Sembari menunggu waktu Subuh, saya mengecek sepeda lagi, memakai bib dan jersey, serta minum beberapa teguk air putih. Bendera start akan dikibaskan pukul 05.45 WIB dan jarak dari hotel ke kantor Walikota Surabaya hanya 150 meter. Saya masih punya banyak waktu.

Tepat pukul  05.00 WIB saya beranjak dari hotel ke halaman kantor Walikota Surabaya. Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di tempat itu. Sebelum masuk ke halaman kantor, seluruh peserta diharuskan melakukan presensi digital. Presensi disediakan diberbagai tempat sehingga tidak menimbulkan tumpukan antrean. Begitu masuk ke area start, saya disambut oleh booth makanan untuk sarapan, photobooth, dan panggung hiburan. Selain itu, yang mengejutkan saya adalah keberadaan mekanik resmi yang menawarkan bantuan apabila ada bagian sepeda yang memerlukan setelan. Wah, saya pikir Bromokom ini bersepeda mandiri ala Audax. Ternyata ada yang salah dari anggapan saya.

Suasana menjelang start di kantor Walikota Surabaya
Tak berapa lama saya bertemu dengan teman sejawat yang sudah dua kali jadi peserta event ini, om Bambang Sugeng. Mendapati setup sepeda saya, pria asal Sragen ini berkomentar, “Ngapain bawa pompa? Mberat-mberatin sepeda aja.”

“Lha kalo nanti bocor di jalan gimana, Mas?”

“Kan ada mekanik yang ikut kita sampai finish..”

“Beneran?”

“Lha iya, wong mereka juga bawa wheelset segala. Jadi kalau ada masalah tinggal pinjem..”

Lag-lagi saya kaget. Event ini ternyata menyimpan fasilitas yang memanjakan peserta, mulai dari logistik makanann dan minuman, mekanik, medis, hingga penutupan rute selama aktivitas berlangsung. Dengan begitu peserta tinggal konsentrasi mengelola tenaga dan mentalnya saja.

Tepat pukul 05.45 WIB rombongan peserta diberangkatkan. Etape ini akan menempuh jarak sejauh 64 kilometer, yaitu dari kantor Walikota Surabaya menuju pitstop GOR Untung Suropati Pasuruan. Dari informasi yang saya peroleh, rute ini benar-benar rata. Hanya akan ada tiga tanjakan ringan saat melintasi flyover. Target waktu tempuhnya sekitar dua setengah jam. Artinya kecepatan rata-ratanya akan berkisar 25 kilometer per jam. Selama menjalani etape ini, peserta tidak dikelompokkan sesuai kategori yang ia ikuti. Bebas, yang penting tidak menyalip Road Captain.

Perjalanan sudah mencapai kawasan lumpur Lapindo saat saya mendapati pemandangan unik. Puluhan peserta mulai “rontok” dan menepi. Mereka menepi untuk buang air kecil di pinggir jalan. Saya menengarai faktor psikologislah yang membuat mereka kebelet pipis. Karena minim sandaran, saya melihat peserta yang pipis secara bergantian dengan temannya. Saat yang satu sedang pipis, teman satunya memegangi sepeda temannya. Sungguh sebuah kesetiakawanan yang hakiki.

Perjalanan Surabaya - Pasuruan

Pukul  08.15 WIB kami sampai di GOR Untung Suropati. Lagi-lagi tersedia makanan dan minuman yang beragam dengan jumlah yang melimpah. Panitia juga menyediakan toilet dalam jumlah yang memadai. Pelantang suara mengumumkan bahwa peserta akan diberangkatkan dari tempat ini pukul 08.50 WIB, artinya ada waktu 40 menit untuk istirahat, mengecek sepeda, ke toilet, dan menyiapkan tenaga untuk menghadapi tantangan yang sesungguhnya. Saya comot dua buah kue dan makan pisang. Kesempatan ini juga saya pakai untuk pergi ke toilet agar nanti tak perlu pipis di tengah perjalanan.

Tiba waktu yang ditentukan, panitia segera mengelompokkan peserta sesuai kategori masing-masing. Kategori pertama yang diberangkatkan adalah men elite, women elite, dan women kelompok umur. Selang beberapa menit kemudian giliran kategori kelompok umur pria yang disilakan untuk menata barisan. Dimulai dari kelompok umur termuda 25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun, 35 – 39 tahun, 40 – 44 tahun, 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, 55 – 59 tahun, hingga kelompok umur tertua, 60 tahun ke  atas.

Sembari menunggu diberangkatkan, saya mengamati ribuan peserta ini. Dari warna kausnya saya simpulkan bahwa peserta kelompok umur 40-44 tahun mendominasi sekali. Hal ini merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan siapa penghobi sepeda dewasa ini, yaitu kelompok masyarakat yang mapan perekonomiannya dan berusia relatif muda.

Akhirnya kelompok umur kami diberangkatkan. Ingat, pemberangkatan ini bukan merupakan titik start KOM. Titik start dimaksud masih berjarak 14 kilometer dari GOR Untung Suropati, tepatnya di KM 78 dari kantor Walikota Surabaya. Maka manajemen tenaga tetap saya lakukan. Saya tak menggeber kayuhan dan di barisan depan, RC-pun masih membatasi kecepatan kami.

Tepat pukul 09.33 WIB, saya melintasi titik start KOM. Titik itu ditandai dengan gerbang khusus dan tulisan start di aspalnya. Letaknya berapa di sebuah tanjakan. Perasaan saya malah mulai tenang. Saya membatin gini, “Saya punya waktu 4 jam untuk menempuh jarak sejauh 25 kilometer. Harusnya aman.”

Setelah melewati gerbang start, jangan berharap ada lagi segmen datar. Pokoknya nanjak dan nanjak. Cuaca juga mulai memanas. Sinar matahari menerpa tubuh saya tanpa penghalang awan sedikitpun. Oya, chainring sejak start saya pasang di gigi rendah, 34T. Irama kayuhan amat santai. Meski begitu saya memasang target bahwa selain finish sebelum COT, saya harus bisa menyalip peserta berkaus merah (kelompok umur 40-44 tahun) , syukur-syukur bisa nyalip kaus pink (kelompok umur 30-34 tahun). Alhamdulillah, tak butuh waktu lama untuk menyalip beberapa di antara mereka. Meski begitu, saya juga disalip peserta kelompok umur 50-54 tahun. Tak apa-apa. Pokoke santai, jangan terpancing.

Layar cyclocomp menunjukkan sisa jarak dan elevasi yang terus berkurang secara terus menerus. Saya memilih fokus pada poin ini daripada fokus pada kecepatan. Setiap pengurangan jarak dan elevasi adalah pertanda titik finish makin dekat. Meski begitu, tak bisa dipungkiri tubuh mulai menagih haknya. Tenggorokan mulai kering, paha mulai mengeras, dan punggung bawah mulai pegel.

Saya hampir memutuskan untuk berhenti ketika terlihat penanda bahwa water station tinggal satu kilometer lagi. Semangat saya naik lagi. Dan alhamdulillah, pukul 10.25 WIB saya tiba di water station I. Jarak ke titik finish sudah berkurang sejauh delapan kilometer. Lumayan, rata-rata kecepatan saya adalah 8 km/jam. Jika saya bisa mempertahankan kecepatan ini, maka saya bisa finish sebelum COT.

Di tempat ini saya menambah stok air minum dan melemaskan otot. Saya juga mengguyur punggung dengan air mineral. Panas kian membara. Tak berlama-lama, saya segera mengayuh kembali.

Ajaib, tenaga saya seolah kembali 100%. Saya bahkan mulai berani meningkatkan kecepatan. Selain itu, saya kian percaya diri untuk nyalip peserta di depan. Saya memanfaatkan sisi dalam tikungan untuk mendahului mereka. Sayangnya tidak setiap tikungan bisa saya gunakan untuk menyalip karena dari arah atas masih ada satu-dua kendaraan yang berjalan ke arah yang berlawanan.

Delapan kilometer dari water station pertama, panitia menyediakan water station kedua. Berbeda dengan yang pertama, tempat ini hanya menyediakan minuman saja. Saya memutuskan untuk berhenti. Isi ulang bidon, mengguyur tubuh, dan mengunyah pisang yang saya bawa dari GOR Untung Suropati. Di tas masih ada stok Fitbar. Setelah merasa cukup, saya kembali meneruskan perjalanan. Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB dan jarak ke titik finish masih 11 kilometer lagi.

Oya, selepas water station pertama tadi, saat tenaga kembali pulih, saya sempat yakin bisa finish pukul  12-an. Apa daya, ternyata keyakinan itu harus saya pupus begitu sampai di water station kedua. Pace saya makin lambat, sementara medan dan cuaca makin tak bersahabat. Lagi-lagi saya hampir istirahat sebelum water station terakhir saking lelahnya. Tapi saya bertekad hanya akan berhenti di water station saja.

Water station terakhir berada di bawah naungan pepohonan. Kondisi ini membuat peserta bisa istirahat dengan tenang tanpa perlu kepanasan. Seperti di dua water station sebelumnya, saya mengisi ulang bidon, mengguyur air ke tubuh, dan membekali diri dengan sebotol teh Pucuk dingin. Fitbar terakhir saya lahap di tempat ini. Perut masih aman. Jarak ke titik finish masih tujuh kilometer lagi dan tanjakan makin menggila.

Baru sekitar 3 kilometer mengayuh, paha saya tak mau diajak kompromi. Saya berhenti untuk melemaskan otot dan menurunkan heart rate. Sepanjang jalan, banyak sekali peserta berguguran. Ada yang sampai tidur telungkup di pinggir jalan, dibonceng ojek, hingga diloading menggunakan mobil. Panitia menerapkan aturan ketat dan bagi pelanggarnya akan digunting tanda kepesertaannya sehingga tidak berhak menerima medali.

Belakangan saya baru tahu bahwa jumlah pelanggar peraturan event ini banyak sekali. Yang tertangkap tangan saya mencapai ratusan. Belum lagi yang tidak ketahuan. Mengikuti event bergengsi seperti Bromokom Challenge memang tak hanya butuh kekuatan fisik, tapi juga mental dan sikap yang baik. Saat fisik tak lagi bisa diajak kompromi, ada yang rela menjual harga dirinya pada tawaran ojek atau jasa dorong di kilometer akhir sebelum akhirnya mengayuh lagi ke titik finish dan berharap tidak ketahuan. Bromokom Challenge memang tak sekedar ajang adu fisik tapi juga adu harga diri.

Begitupun dengan fisik saya. Di 5 kilometer terakhir, setiap kilometernya saya berhenti untuk mengatur tenaga. Hal ini saya lakukan untuk menghindari kram. Saya tahu bahwa kram adalah musuh terbesar atlet. Saya merelakan molornya waktu finish demi menjaga otot. Toh batas waktu ke 13.30 WIB masih 1 jam lagi.

Beberapa kilometer  menjelang finish, peserta dimanjakan dengan trek yang datar lalu menurun lumayan panjang. Kesempatan ini saya pakai untuk meluruskan sendi lutut, melemaskan otot-otot utama, dan mengatur nafas. Saya tahu, bonus ini ujungnya tidak mengenakkan, yaitu tikungan tajam ke kiri disusul dengan tanjakan njengat dan panjang. Konon banyak peserta yang terjebak di sini.

Benar saja. Usai dimanjakan turunan, sebuah tanjakan telah menanti. Saya bahkan sudah mengoper gigi ke tingkat terendah ketika jalan masih menurun. Mengoper gigi saat sedang nanjak berisiko memutuskan rantai. Kalau hal  ini sampai terjadi, meski panitia menyediakan mekanik, bakal bikin waktu finish makin molor. Saya tak mau berhitung dengan risiko itu.

Tanjakan baru setengah jalan ketika saya menyalip beberapa peserta. Ada yang menuntun sepeda, ada pula yang berhenti karena kehabisan tenaga. Sebuah kelokan ke kanan menjadi akhir dari jebakan tanjakan ini.

Cyclocomp menunjukkan sisa jarak tinggal 400 meter lagi. Bukannya makin ringan, tanjakan di depan makin berat. Berbekal sisa-sisa tenaga, saya menggeber kayuhan. Apa daya, saya salah tafsir. Kelokan ke kiri yang saya kira bakal disusul oleh gerbang finish ternyata zonk. Masih ada 150 meter lagi yang harus saya tempuh untuk mencapai gerbang itu. Parahnya lagi adalah 150 terakhir ini masih berupa tanjakan dengan gradien perih.

Meniti tanjakan terakhir menjelang finish
Akhirnya, tak ada perjalanan yang tak usai. Berbekal keyakinan, manajemen tenaga ala pesepeda kantoran, dan tentu saja ijin Allah swt, saya finish di Pendopo Agung Wonokitri. Panitia mengalungi saya dengan medali keren itu. Berdasarkan catatan resmi dari situs mainsepeda.com. saya start pukul 09.33 WIB dan finish pukul 12.51 WIB, 39 menit sebelum COT. Artinya, rute KOM sejauh 25 kilometer saya tempuh dalam waktu 3 jam 18 menit. Dengan begitu kecepatan rata-rata saya adalah 7,6 km/jam. Alhamduillah.

Saya segera memarkirkan sepeda dan mencari makan di dalam pendopo. Panitia menyediakan sate, soto, dan rawon. Saya memilih soto. Teman seperjuangan, om Bambang Sugeng finish di depan saya, pun om Tedy Supriyadi. Tak berapa lama pak Azis mengabari bahwa sudah finish juga. Pria berusia  tahun ini memang layak diacungi jempol. Tenaganya luar biasa berkat aktivitas bersepedanya yang amat rutin dan terjaga.

Usai mengisi perut, saya dan om Bambang Sugeng meneguhkan tekad. Kembali ke Surabaya dengan naik sepeda. Pukul 14.30 WIB kami mulai mengayuh beriringan, menuruni tanjakan yang baru saja menyiksa kami. Cuaca masih terasa panas. Hingga pukul 15.00 WIB saya masih menemui beberapa peserta yang masih berjuang ke titik finish dengan caranya masing-masing. Ada yang naik ojek, naik mobil, mengayuh tertatih-tatih, hingga menuntun sepedanya. Kepada peserta yang masih tangguh menuju titik finish tanpa loading, saya menyemangatinya dengan seruan, “Semangat, Om. Dikit lagi. Masih ditunggu…!!!”

Pukul 16.00 WIB kami tiba kembali di Pasuruan. Sebuah kedai makan menjadi tempat persinggahan. Selain makan dan salat, kesempatan ini kami gunakan untuk mengistirahatkan otot. Meski tak lagi dihadang tanjakan, menempuh perjalanan pulang sejauh 103 kilometer tentu bukan perkara ringan. Selain tenaga sudah terkuras, kami harus berbagi jalan dengan kendaraan besar di sepanjang perjalanan. Hari juga mulai beranjak petang, artinya konsentrasi kami lebih besar lagi tuntutannya agar tetap focus. Karena sudah merencanakan untuk p/p dengan sepeda, saya membekali diri dengan lampu depan. Persiapan ini terbukti berguna sekali. Selepas Bangil saya mulai menyalakan lampu dan mengambil posisi di depan. Om Bambang mengekor di belakang.

Lalu-lintas kian ramai. Kami harus tetap waspada. Karena menguber waktu, kami tak berhenti sepanjang 40-an kilometer hingga kota Sidoarjo. Saya mengabaikan habisnya stok air minum di bidon. Ajaib, di kota Sidoarjo, seorang pengendara motor menawarkan sebotol air mineral ke saya. Saya menduga orang baik tersebut adalah panitia Bromokom Challenge 2023. Alhamdulillah.

Di pinggiran kota Sidoarjo, 14 kilometer sebelum finish di penginapan, saya berpisah dengan om Bambang Sugeng. Beliau mengakhiri perjalanan di sini. Saya meneruskan perjalanan seorang diri. Beberapa kali saya bertemu dengan peserta yang juga bersepeda ke Surabaya. Jumlahnya mungkin banyak, tapi terpencar-pencar.

Empat kilometer menjelang penginapan, saya merasakan ban belakang kehilangan tekanan. Benar saja, kempes. Saya segera minggir ke trotoar dan berpikir cepat. Kalau dituntun kok masih jauh, kalau naik taksi kok ya tanggung banget. Akhirnya tas sadel saya bongkar. Ban dalam cadangan dan alat congkel ban saya keluarkan. Saya memutuskan untuk mengganti ban dalam di tempat itu. Lagi-lagi peralatan yang saya bawa ternyata menyelamatkan perjalanan ini.

Pukul 19.00 WIB saya tiba kembali di penginapan. Penanda jarak menunjukkan bahwa saya baru saja menempuh 205,74 kilometer, dengan jumlah elevasi setinggi 2.042 meter, selama 13 jam 28 menit, dengan kecepatan rata-rata 20,7 km/j, kecepatan tertinggi 54,5 km/j, dan memakan tenaga sebesar 3.530 kalori. Usai mandi, laporan pada istri, dan mengisi perut di warung sebelah, saya kembali ke kamar. Dari kamar ini, lama-lamat kembali terdengar alunan music khas club house. Aseeeek….

2 comments:

Bamsoeg74 said...

Tahun depan masih mau ikutan lagi gak ? 😁

Masla said...

Iya, doooong.