Thursday, December 28, 2017

Menebar Pandang di Gunung Padang




Pemandangan Pelataran Gunung Padang dari Undakan Kedua
Rute menuju Gunung Padang sesungguhnya bisa diakses melalui kota Cianjur maupun kota Sukabumi. Perjalanan untuk mencapai tempat ini kami mulai dari kota Bandung. Kami menggunakan kendaraan pribadi. Selepas kota Cianjur, pada jarak 11 kilometer, kita akan sampai di daerah bernama Warung Kondang. Sebuah pertigaan kecil ke kiri jadi arah yang harus kita tuju. Penandanya adalah sebuah mini market dan papan penunjuk arah ke Gunung Padang.

Dari pertigaan ini jarak ke Gunung Padang sekitar 20 kilometer. Ruas jalannya sebagian sedang dilakukan pengecoran. Meski muat dua mobil, rute yang berkelak-kelok membuat kita harus hati-hati. Mendekati lokasi Gunung Padang, kita akan disambut dengan pemandangan khas ketinggian, yaitu kebun teh. Meski melewati beberapa simpang jalan, selalu tersedia petunjuk jalan agar kita tidak tersesat.


Lapangan Parkir Mobil


Gerbang Utama Gunung Padang


Jalan berkelok, naik-turun, dan melewati beragam lingkungan itu berakhir di sebuah lapangan parkir. Dengan sigap seorang pemuda desa membantu saya memarkirkan mobil. Selembar tiket yang dikeluarkan oleh pemerintah desa harus saya tebus sebesar Rp.10 ribu rupiah. Tak bisa dibilang murah untuk sebuah retribusi parkir di tempat terpencil ini.  Bagi pengendara motor, kalian bisa parkir di dekat gerbang loket Gunung Padang.


Hari telah menunjukkan pukul 14.00 WIB, artinya perjalanan kami sekeluarga dari Bandung memakan waktu 5 jam. Perjalanan kami memang terhambat dua kali. Perbaikan jalan di daerah Cipapat dan pengecoran jalan Cianjur – Gunung Padang mengakibatkan perjalanan kami harus berhenti hampir 2 jam. Artinya, jika tanpa hambatan tersebut, jarak sejauh 100-an kilometer dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Sebuah waktu tempuh yang wajar.

Gunung Padang, demikian nama tujuan kami. Belakangan di depan namanya disematkan predikat Situ Megalitikum. Nama yang diambil dari dusun tempat kawasan ini berada, belakangan tenar di kalangan pecinta wisata. Dibumbui oleh cerita-cerita bombastis, Gunung Padang telah menjadi destinasi bagi wisatawan yang datang dari berbagai penjuru negeri.

Keberadaan situs ini sebenarnya sudah diendus sejak jaman kononial Belanda. Adalah Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") mewartakannya pada tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. (https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang). Pemerintah Indonesia mulai tahun 1979 telah dilapori mengenai situs tersebut. Sejak itulah studi mengenai Gunung Padang mulai dilakukan.

Lokasi yang terletak di ketinggian 900 dpl ini mulai tenar sejak tahun 2011. Saat itu tim katastrofi yang dibentuk oleh kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana menyatakan bahwa Gunung Padang adalah hasil karya manusia, bukan hasil sebuah fenomena alam. Sejak saat itu beragam teori muncul dan didengungkan. Bentuknya juga dikaitkan dengan piramida di Mesir sana.

Kelar mengisi perut dengan nasi berlauk ikan di warung samping lapangan parkir, kami meneruskan perjalanan. Harga makanan di sini tidak bisa dibilang murah. Seport nasi berlauk ikan Mas goreng diharga Rp.16 ribu. Seorang pria menawari kami jasa ojek ke gerbang loket. Menurut info yang saya dapat di internet, jasa ojek dari parkiran mobil ke gerbang loket sebesar Rp.25 ribu. Penjaga warung bilang bahwa jaraknya hanya 1 kilometer. Kami sekeluarga sepakat untuk jalan kaki. Baru menapaki tikungan pertama, 2 orang tukang ojek menawari kami jasa mereka dengan ongkos hanya Rp.5 ribu. Istri saya goyah, saya tidak. 

Benar saja, kami hanya butuh waktu 10 menit untuk tiba di gerbang loket. Ruas jalan dari parkiran mobil ke gerbang loket berupa jalan beraspal dan muat dilalui mobil, namun memang mobil pelancong tidak diijinkan untuk masuk sampai ke depan loket. Area parkiran di dekat gerbang loket dikhususkan untuk sepeda motor.
Lapangan parkir sepeda motor di dekat gerbang utama

Loket Pembayaran Retribusi Gunung Padang
Dengan harga tiket sebesar Rp.5 ribu per orang, Gunung Padang dibuka 24 jam. Begitu memasuki gerbang utamanya, kami disambut sebuah perigi. Namanya Sumur Kahuripan. Airnya jernih. Selain pengunjung, penduduk setempat memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. Di sebelah kanan perigi tersebut, 2 buah jalur pendakian disediakan buat pengunjung. Jalur sebelah kiri terbuat dari undakan batu andesit yang disusun menjadi anak tangga. Jaraknya sekitar 175 meter. Untuk mendakinya butuh stamina yang baik, karena sudutnya amat curam. Pengelola menyediakan pegangan besi di sisi kiri-kanan.

Jalur sebelah kanan terbuat dari beton. Jalurnya lebih landai dan memutar. Jaraknya lebih kurang 300 meter. Jalur ini sebetulnya didesain untuk pengunjung yang turun dari puncak, namun di saat pengunjung tak ramai, mereka bebas memilih jalur pendakiannya. 
Sumur Kahuripan

Jalur pendakian Gunung Padang

Jalur pendakian sebelah kiri yang curam
Begitu memasuki area puncak, sebuah pemandangan yang menakjubkan akan menyambut kita. Yang pertama kali akan kita tapaki adalah pelataran seukuran dua kali lapangan bola voli. Hamparan dipenuhi oleh tumpukan balok batu di atasnya. Bentuk balok tersebut amat mirip. Berbentuk segi lima dan sepanjang sekitar 1 meter, balok itu ada yang tersusun dalam formasi tertentu, ada pula yang tertumpuk di bagian tengah bidang. Sebuah pohon menjulang tinggi di pinggir sengkedan tersebut seolah menyambut kedatangan siapa saja.

Bidang tersebut merupakan undakan pertama dari 3 undakan di kawasan ini. Luas ketiganya relatif sama. Sebaran batunya pun mirip, baik yang yang berpola maupun yang tidak berpola. Di bidang kedua terdapat sebuah formasi batu yang mirip formasi meja rapat. Ada sebuah batu yang diduga sebagai bangku pimpinan/ raja, dan ada batu yang diduga sebagai tempat duduk peserta pertemuan. Dari tempat duduk raja pandangan kita akan mengarah lurus ke sebuah puncak bukit di sebelah barat laut.
Lereng yang memisahkan antara undakan pertama dan undakan kedua
 
Bagian dari situs Gunung Padang yang diberi pagar pembatas agar pengunjung berhati-hati
Bukan Indonesia jika tidak menyajikan kemudahan. Tepat di samping tiga undakan luas ini terdapat deretan warung. Warung-warung tersebut menjajakan makanan dan minuman ringan. Yang patut diacungi jempol adalah ketersediaan tempat sampah di setiap sudut kawasan. Sebuah bangunan permanen juga disediakan pengelola untuk berteduh, bermeditasi, atau bahkan bermalam. Bangunan yang lain difungsikan sebagai tempat para seniman dan pengurus desa untuk memainkan alat musik tradisional dan menjajakan kopi khas daerah tersebut. 
Bangunan tempat para seniman berkumpul
 
Bangunan multi fungsi, bisa untuk meditasi, gardu pandang, atau menginap
Kopi seberat 150 gram itu dikemas dengan apik dan dijual seharga Rp.35 ribu. Mereka juga menjual gula semut, sebuah gula Aren yang ditumbuk halus. Gula ini digunakan sebagai pemanis kopi. Saya meminta mereka menyeduhkan 1 cangkir kopi. Rasanya memang nikmat, apalagi ditingkahi tiupan angina sepoi dan alunan musik merdu.

Tak butuh waktu lama untuk menjelajahi kawasan ini. Yang membuat kita berlama-lama adalah keindahan dan pesona alamnya. Setiap sudut menyajikan pemandangan yang berbeda. Ditambah lagi, posisinya berada di atas bukit, sehingga kita diberi pemandangan 360 derajat.

Susunan batu yang amat tertata
Penampakan undakan kedua Gunung Padang

Aktivitas pengunjung Gunung Padang
Yang menjadi kendala adalah sarana transportasi umum menuju ke sana. Selepas dari jalan Raya Cianjur – Sukabumi, tersedia angkutan desa rute nomor 43. Ongkosnya Rp.5 ribu rupiah. Sayangnya angkutan tersebut tidak sampai ke lokasi. Angkutan desa tersebut hanya sampai ke Cipanggulan. Dari Cipanggulan harus naik ojek ke lokasi dengan tarif Rp.50 ribu rupiah per orang. Hal ini tentu saja menjadi kendala tersendiri bagi pelancong wanita dan anak-anak.

Hari sudah menjelang petang saat kami meninggalkan tempat itu. Sumur Kahuripan menjadi oase yang menyejukkan. Airnya amat segar saat membasahi muka kami. Meski secara resmi Gunung Padang belum dibuka untuk umum, ribuan orang telah menebar pandang di sana.
Selamat berwisata.

Friday, June 30, 2017

Selamat Jalan, Wo Muk

Api membakar ludes sebuah pondok seisinya. Tak ada perabotan berharga di pondok berdinding bambu itu. Satu-satunya yang berharga adalah penghuninya. Ia ikut terpanggang bersama papannya.
Ketika api berhasil dipadamkan dan jenazah berhasil dievakuasi, puluhan orang yang berada di sana sibuk berbagi cerita. Kami sekeluarga yang datang belakangan, tentu saja, penasaran dengan isi cerita seputar tragedi itu. Kami mendengar kabar itu dari adik kedua saya. Titik. Saat itu kami sekeluarga dan adik ketiga, Bowo, sedang makan mie ayam di desa sebelah. Aparat desa sudah hadir. Mereka menunggu aparat Kepolisian dan medis.
Di beberapa bagian, api tu sih menyala. Saya bertanya kepada beberapa orang, kenapa api itu tak dipadamkan hingga tuntas. Jawabannya klise, lokasi sumber air jauh.
Lokasi rumah ini memang agak terpencil dan berada di pinggiran kampung. Untuk mencapainya, kami harus berjalan kaki beberapa puluh meter, menaiki jalan setapak di bawah rumpun bambu. Tak ada penerangan apapun. Rumah yang terbakar itu mengandalkan penerangan lampu minyak. Genset sedang diambil untuk sumber penerangan darurat.
Saya turun ke jalan setapak itu. Di balik keremangan malam, saya mencopot sambungan saluran air minum yang melintas di situ. Saya memanggil kedua anak saya dan beberapa anggota Karang Taruna untuk bergabung bersama. Kami mengumpulkan air sedikit demi sedikit. Secara berantai, air itu kami bawa ke dekat rumah dan ditampung di sebuah tempayan. Air itulah yang menuntaskan pemadaman api.
Tak lama kemudian aparat kepolisian dan medis tiba. Mereka segera melaksanakan tugasnya, memastikan tak ada unsur kekerasan dalam tragedi ini. Saya membantu mereka menyingkap kain penutup jenazah dan memberi penerangan agar proses dokumentasi berjalan dengan baik. Aroma daging terbakar begitu kuat. Baru sekali ini saya mendapati kejadian seperti ini.
Sekonyong-konyong Singgih, ketua Karang Taruna mendatangi saya. "Mas, mengingat sikon seperti ini, apa tidak sebaiknya jenazah dikebumikan malam ini juga?" Di desa kami, menguburkan jenazah biasanya dilakukan siang hari. "Aku nggak bisa memutuskan, Nggih. Begini saja, kamu siapkan tim penggali makam, biar aku yang bicara dengan pihak keluarga."
Satu per satu keluarga dekat saya datangi dan ajak bicara. Mereka sepakat dengan usulan itu. Singgih segera saya suruh bergerak. Artinya, kami harus mencari genset untuk sumber penerangan di makam, kain kafan, dan proses pemulasaraan jenazah. Di desa kami tak mudah mencari genset di tengah malam seperti ini.
Titik baru selesai membantu pihak kepolisian dan medis. Ia tengah menyiapkan air untuk memandikan jenazah. Saat itu pemuka agama yang kami tunggu belum tiba. Di desa kami, perempuan ini memang dikenal sebagai anggota tim pemandi jenazah. Langkahnya segera saya cegah.
"Ndhuk, menurutku jenazah dengan luka bakar 100% seperti ini tak harus dimandikan. Lha apa ndak rontok semua nanti dagingnya?"
"Tapi tetap harus disucikan to, Mas?"
"Aku ngaji di gugel dulu ya."
Benar saja, menurut referensi gugel, jenazah bisa disucikan dengan tayamum. Saya berjanji akan mengkonfirmasikan hal ini ke pemuka agama nanti.
Saat yang sama, saya juga memonitor pencatian genset. Jika genset tak bisa didapat, maka kami harus mengandalkan obor bambu sebagai sumber penerangan. Semenjak listrik masuk, lampu petromak sudah tak ada lagi. Syukurlah genset didapat dari bapaknya mbah Teguh Sumedi.
Saya segera menyuruh Singgih untuk lapor ke Kades dan Kadus agar menurunkan tim penggali kubur. Istri saya yang berada di sudut kegelapan tampak membaca surat Yassin di ponselnya.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 ketika pemuka agama yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kepadanya saya utarakan hasil ngaji saya di gugel. Ia sepaham. Tanpa sarung tangan, ia segera menayamumi jenazah itu. Sungguh sebuah tindakan yang butuh nyali besar.
Selanjutnya jenazah itu diangkat oleh adik saya dan kang Waridi, Kadus Jarum, ke atas meja yang sudah dilapisi kain kafan 5 lapis. Lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan mental dua orang ini. Mengafani mayat dalam kondisi seperti ini tentu butuh modal yang tak sedikit. Saya hanya mampu merekam peristiwa langka ini dengan ponsel adik saya. Keranda jenazah yang sudah sejak setengah jam yang lalu diambil dari mushola di depan rumah bapak, segera digeser ke dekat jenazah yang telah terkafani. Tak lama kemudian jenazah itu dishalatkan.
Pukul 01.00 WIB jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Perjalanan menembus pekatnya malam itu hanya diterangi oleh puluhan obor bambu. Abyan, anak bungsu saya, berkomentar, “Baru sekali ini Pak dapet pengalaman seperti ini.” “Sama, Nak,” jawab saya sembari mempercepat langkah. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pemakaman yang berjarak sekitar 700 meter tersebut. Kami sekeluarga tidak ikut ke pemakaman. Kepada Singgih saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasinya atas kerja kerasnya bersama anggota Karang Taruna Chandra Muda.
Ketika hari sudah terang, saya ajak Bowo untuk mencuci keranda yang sudah digeletakkan di dekat padasan mushola. Sekali lagi, hal ini adalah pengalaman pertama kami. Kepadanya saya ceritakan keseruan kisah semalam. Saya yakin dia iri karena tak bisa ikut nimbrung, sekaligus bersyukur karena ia amat penakut.
Selamat jalan, Wo Mukiyem, semoga njenengan husnul khotimah, aamiin.

Wonogiri, 30 Juni 2017