Saya pertama kali
mendengar istilah Bromokom pada awal tahun 2019. Adalah seorang teman yang
menantang saya untuk ikut event nanjak perih tersebut tahun depan (2020). Tentu
saja tantangannya saya abaikan. Saya punya sejumlah alasan: mahal, jauh, tidak
punya sepeda yang pas, dan tak yakin mampu finish sebelum COT.
Tahun berganti. Indonesia
dikepung pandemi dan sepeda mendadak menjadi idola hampir setiap manusia.
Bromokom tetap digelar meski dengan berbagai pembatasan terkait protokol
kesehatan. Alih-alih menyusut, pesertanya makin membludak, padahal tiketnya
tetap mahal. Sebagai gambaran, tiket event Audax dibandrol dalam bilangan
ratusan ribu. Bromokom? Hampir dua juta. Dan laris manis. Dalam hitungan kurang
dari sepuluh jam, slot peserta sebanyak 1.500 ludes diserbu peminat.
Bromokom Challenge memang
istimewa. Daya tariknya tinggi. Saya mencatat beberapa hal yang menjadi magnet
bagi para pesepeda untuk ikut event ini. Pertama rute. Rute Bromokom Challange
amat klasik, hampir tak berubah. Start dari kota Surabaya, mampir Pasuruan, dan
finish di Pendopo Desa Wonokitri. Jaraknya pun relatif sama, 102 kilometer
dengan jumlah elevasi 1.800 meter. Dengan begitu, peserta bisa memperkirakan gambaran
rute, baik jarak maupun tanjakan yang harus mereka lalui. Hal ini bisa jadi
bekal untuk melakukan simulasi di daerah masing-masing sebelum ikut lomba.
Daya tarik kedua adalah
kemudahan akses. Ya, Surabaya mudah dijangkau dari seluruh Tanah Air. Apalagi
bagi peserta dari pulau Jawa, mau naik apapun bisa. Yang dari luar Jawa pun
dengan mudah bisa naik pesawat. Tercatat ada peserta dari Papua, lho. Ada pula
peserta dari luar negeri. Titik start yang berada di tengah kota amat
memudahkan peserta untuk mencari akomodasi.
Daya tarik selanjutnya
adalah ketenaran Bromo itu sendiri. Bisa dibilang nama Bromo sudah mendunia.
Taman nasional yang ciri khasnya kaldera dan lautan pasir ini jadi destinasi
wisata primadona Jawa Timur. Berkunjung ke Bromo memang tak cukup sekali,
karena area ini amat luas.
Maka tak heran jika tiket
Bromokom selalu ludes dalam hitungan jam. Ikut Bromokom adalah sebuah gengsi
tersendiri.
Dan tahun ini, 2023, saya
tak bisa menghindar dari magnet event ini. Demi mengamankan slot, saya pasang
mata begitu loket dibuka. Sebagai catatan, loket dibuka tepat pergantian hari,
artinya tepat pukul 00.00 WIB. Seumur-umur baru kali ini saya meluangkan waktu
sedemikian kuat untuk membeli sebuah tiket kepesertaan lomba yang tidak ada
pialanya, haha. Dan loket itu dibuka tanggal 8 Februari 2023, artinya masih
berjarak empat bulan dari hari H.
Begitu tiket berada di
tangan, saya mulai memikirkan beberapa hal, mulai dari pilihan tranportasi,
lokasi menginap, hingga mengukur kekuatan diri. Saya membaginya dalam beberapa
segmen tulisan.
I. Persiapan.
Dari sisi fisik, saya tak
menyiapkan diri secara khusus. Modal saya hanya bike to work secara
rutin ke kantor sejak tahun 2019. Rata-rata jarak tempuh per hari mencapai 50
kilometer. Saya sendiri juga jarang melatih diri menggunakan roadbike.
Sehabis Lebaran, saya
memang mencari tanjakan untuk menyiapkan otot. Saya bersepeda ke Kawah Domas,
Tangkuban Perahu dengan roadbike, ke Kawasan Pengalengan dengan sepeda
besi, dan keliling Kawasan Kota Baru Parahiyangan dengan roadbike.
Itulah menu latihan saya di luar bike to work tadi.
Sejujurnya saya lebih
memikirkan pilihan transportasi yang akan saya gunakan ke Surabaya. Saya
menyingkirkan pilihan kereta api, karena tidak bisa bawa sepeda besar. Demikian
juga dengan pesawat, terlalu mahal buat saya. Pilihannya tinggal naik bus
regular atau gabung ke rombongan peserta. Alhamdulillah, di saat-saat akhir,
saya mendapat tawaran untuk bergabung dengan teman-teman dari Cilegon yang
tergabung dalam klub Skuba. Yang lebih menyenangkan lagi, ongkosnya sangat
manusiawi. Tiket pulang-pergi dengan bus khusus sepeda hanya seharga 1,3 juta
rupiah.
Langkah selanjutnya adalah
mencari tempat penginapan. Patokan saya hanya satu, dekat dengan titik start
dan harganya ekonomis. Dapatlah sebuah hotel seharga 380.000 rupiah untuk dua
malam tanpa sarapan. Pokoke bisa untuk nglurusin pinggang, pikir saya.
Rombongan bus itu
berangkat dari Cilegon dan saya menunggunya di Jakarta. Tepat pukul 23.00 WIB,
Kamis, 25 Mei 2023 bus nyamperi saya di bilangan Cawang. Busnya berukuran
sedang tapi berbodi panjang. Sepeda dapat dimuat dengan aman, tak khawatir
bakal lecet. Yang jadi masalah adalah jarak antartempat duduk yang amat sempit
untuk inseam saya yang sepanjang 84 cm. Tak apalah, demi berburu hemat,
haha.
Pukul 11.00 WIB keesokan
harinya, kami tiba di Surabaya. Bus tidak langsung menuju tempat pengambilan racepack
di Surabaya Town Square, tapi mampir ke masjid Al Akbar Surabaya. Kami salat
Jumat dan makan siang di kawasan ini. Usai menuntaskan urusan, bus menuju
Sutos.
Sebagai event yang sudah sembilan
kali digelar sejak 2014, Bromokom dikelola dengan apik. Kerja panitia amat
rapi. Ini terlihat dari proses pengambilan racepack. Melalui surat elektronik,
tiap peserta diwajibkan mencetak tanda terima racepack masing-masing dan
dibawa saat pengambilan racepack. Kewajban ini terbukti memudahkan
proses tersebut. Waktu yang saya habiskan untuk mengambil nomor antrean hingga
menyelesaiakan proses pengambilan racepack tidak lebih dari 15 menit.
Keren.
Usai ambil racepack,
saya sempat ketemu dengan teman-teman sesama peserta di sebuah kedai kopi. Kami
tak lama di sini, karena badan saya masih capek sekali. Pun mata terasa berat,
karena kurang tidur selama perjalanan. Menjelang Magrib saya tiba di hotel. Dan
saya agak terperangah dengan kondisi hotel pesanan saya. Agak-agak gimana gitu,
haha….. tapi ya sudahlah, sepadan pula dengan harga yang saya bayar.
Beres mandi dan makan
malam, saya segera membereskan sepeda. Logistik yang mau saya bawa selama
perjalanan saya pasang di sepeda, termasuk mengisi bidon. Saya memasang dua tas
di sepeda, satu di top tube dan satu di sadel. Tas sadel saya isi dengan ban
dalam cadangan, toolkit, kartu ATM, KTP, alat tambal ban, dan permen garam. Tas
toptube saya isi dengan empat buah Fitbar, ponsel, dan permen garam. Saya
menyiapkan satu bidon air mineral dan satu botol Pocari Sweat. Selain itu, saya juga membawa
pompa tangan yang saya gantungkan di toptube.
II. Hari H
Saya bangun pukul 04.00
WIB oleh alarm ponsel. Sembari menunggu waktu Subuh, saya mengecek sepeda lagi,
memakai bib dan jersey, serta minum beberapa teguk air putih. Bendera start
akan dikibaskan pukul 05.45 WIB dan jarak dari hotel ke kantor Walikota
Surabaya hanya 150 meter. Saya masih punya banyak waktu.
Tepat pukul 05.00 WIB saya beranjak dari hotel ke halaman
kantor Walikota Surabaya. Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di tempat itu.
Sebelum masuk ke halaman kantor, seluruh peserta diharuskan melakukan presensi
digital. Presensi disediakan diberbagai tempat sehingga tidak menimbulkan
tumpukan antrean. Begitu masuk ke area start, saya disambut oleh booth
makanan untuk sarapan, photobooth, dan panggung hiburan. Selain itu,
yang mengejutkan saya adalah keberadaan mekanik resmi yang menawarkan bantuan
apabila ada bagian sepeda yang memerlukan setelan. Wah, saya pikir Bromokom ini
bersepeda mandiri ala Audax. Ternyata ada yang salah dari anggapan saya.
Suasana menjelang start di kantor Walikota Surabaya |
“Lha kalo nanti bocor di
jalan gimana, Mas?”
“Kan ada mekanik yang ikut
kita sampai finish..”
“Beneran?”
“Lha iya, wong mereka juga
bawa wheelset segala. Jadi kalau ada masalah tinggal pinjem..”
Lag-lagi saya kaget. Event
ini ternyata menyimpan fasilitas yang memanjakan peserta, mulai dari logistik
makanann dan minuman, mekanik, medis, hingga penutupan rute selama aktivitas
berlangsung. Dengan begitu peserta tinggal konsentrasi mengelola tenaga dan
mentalnya saja.
Tepat pukul 05.45 WIB
rombongan peserta diberangkatkan. Etape ini akan menempuh jarak sejauh 64
kilometer, yaitu dari kantor Walikota Surabaya menuju pitstop GOR Untung
Suropati Pasuruan. Dari informasi yang saya peroleh, rute ini benar-benar rata.
Hanya akan ada tiga tanjakan ringan saat melintasi flyover. Target waktu
tempuhnya sekitar dua setengah jam. Artinya kecepatan rata-ratanya akan
berkisar 25 kilometer per jam. Selama menjalani etape ini, peserta tidak
dikelompokkan sesuai kategori yang ia ikuti. Bebas, yang penting tidak menyalip
Road Captain.
Perjalanan sudah mencapai kawasan
lumpur Lapindo saat saya mendapati pemandangan unik. Puluhan peserta mulai
“rontok” dan menepi. Mereka menepi untuk buang air kecil di pinggir jalan. Saya
menengarai faktor psikologislah yang membuat mereka kebelet pipis. Karena minim
sandaran, saya melihat peserta yang pipis secara bergantian dengan temannya.
Saat yang satu sedang pipis, teman satunya memegangi sepeda temannya. Sungguh
sebuah kesetiakawanan yang hakiki.
Perjalanan Surabaya - Pasuruan |
Pukul 08.15 WIB kami sampai di GOR Untung Suropati.
Lagi-lagi tersedia makanan dan minuman yang beragam dengan jumlah yang
melimpah. Panitia juga menyediakan toilet dalam jumlah yang memadai. Pelantang
suara mengumumkan bahwa peserta akan diberangkatkan dari tempat ini pukul 08.50
WIB, artinya ada waktu 40 menit untuk istirahat, mengecek sepeda, ke toilet,
dan menyiapkan tenaga untuk menghadapi tantangan yang sesungguhnya. Saya comot
dua buah kue dan makan pisang. Kesempatan ini juga saya pakai untuk pergi ke
toilet agar nanti tak perlu pipis di tengah perjalanan.
Tiba waktu yang
ditentukan, panitia segera mengelompokkan peserta sesuai kategori
masing-masing. Kategori pertama yang diberangkatkan adalah men elite, women
elite, dan women kelompok umur. Selang beberapa menit kemudian giliran kategori
kelompok umur pria yang disilakan untuk menata barisan. Dimulai dari kelompok
umur termuda 25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun, 35 – 39 tahun, 40 – 44 tahun, 45 –
49 tahun, 50 – 54 tahun, 55 – 59 tahun, hingga kelompok umur tertua, 60 tahun
ke atas.
Sembari menunggu
diberangkatkan, saya mengamati ribuan peserta ini. Dari warna kausnya saya
simpulkan bahwa peserta kelompok umur 40-44 tahun mendominasi sekali. Hal ini
merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan siapa penghobi sepeda dewasa ini,
yaitu kelompok masyarakat yang mapan perekonomiannya dan berusia relatif muda.
Akhirnya kelompok umur
kami diberangkatkan. Ingat, pemberangkatan ini bukan merupakan titik start KOM.
Titik start dimaksud masih berjarak 14 kilometer dari GOR Untung Suropati,
tepatnya di KM 78 dari kantor Walikota Surabaya. Maka manajemen tenaga tetap
saya lakukan. Saya tak menggeber kayuhan dan di barisan depan, RC-pun masih
membatasi kecepatan kami.
Tepat pukul 09.33 WIB,
saya melintasi titik start KOM. Titik itu ditandai dengan gerbang khusus dan
tulisan start di aspalnya. Letaknya berapa di sebuah tanjakan. Perasaan saya
malah mulai tenang. Saya membatin gini, “Saya punya waktu 4 jam untuk menempuh
jarak sejauh 25 kilometer. Harusnya aman.”
Setelah melewati gerbang
start, jangan berharap ada lagi segmen datar. Pokoknya nanjak dan nanjak. Cuaca
juga mulai memanas. Sinar matahari menerpa tubuh saya tanpa penghalang awan
sedikitpun. Oya, chainring sejak start saya pasang di gigi rendah, 34T.
Irama kayuhan amat santai. Meski begitu saya memasang target bahwa selain
finish sebelum COT, saya harus bisa menyalip peserta berkaus merah (kelompok
umur 40-44 tahun) , syukur-syukur bisa nyalip kaus pink (kelompok umur 30-34
tahun). Alhamdulillah, tak butuh waktu lama untuk menyalip beberapa di antara
mereka. Meski begitu, saya juga disalip peserta kelompok umur 50-54 tahun. Tak
apa-apa. Pokoke santai, jangan terpancing.
Layar cyclocomp
menunjukkan sisa jarak dan elevasi yang terus berkurang secara terus menerus.
Saya memilih fokus pada poin ini daripada fokus pada kecepatan. Setiap
pengurangan jarak dan elevasi adalah pertanda titik finish makin dekat. Meski
begitu, tak bisa dipungkiri tubuh mulai menagih haknya. Tenggorokan mulai
kering, paha mulai mengeras, dan punggung bawah mulai pegel.
Saya hampir memutuskan
untuk berhenti ketika terlihat penanda bahwa water station tinggal satu
kilometer lagi. Semangat saya naik lagi. Dan alhamdulillah, pukul 10.25 WIB
saya tiba di water station I. Jarak ke titik finish sudah berkurang
sejauh delapan kilometer. Lumayan, rata-rata kecepatan saya adalah 8 km/jam.
Jika saya bisa mempertahankan kecepatan ini, maka saya bisa finish sebelum COT.
Di tempat ini saya
menambah stok air minum dan melemaskan otot. Saya juga mengguyur punggung
dengan air mineral. Panas kian membara. Tak berlama-lama, saya segera mengayuh
kembali.
Ajaib, tenaga saya seolah
kembali 100%. Saya bahkan mulai berani meningkatkan kecepatan. Selain itu, saya
kian percaya diri untuk nyalip peserta di depan. Saya memanfaatkan sisi dalam
tikungan untuk mendahului mereka. Sayangnya tidak setiap tikungan bisa saya
gunakan untuk menyalip karena dari arah atas masih ada satu-dua kendaraan yang
berjalan ke arah yang berlawanan.
Delapan kilometer dari water
station pertama, panitia menyediakan water station kedua. Berbeda
dengan yang pertama, tempat ini hanya menyediakan minuman saja. Saya memutuskan
untuk berhenti. Isi ulang bidon, mengguyur tubuh, dan mengunyah pisang yang
saya bawa dari GOR Untung Suropati. Di tas masih ada stok Fitbar. Setelah
merasa cukup, saya kembali meneruskan perjalanan. Waktu telah menunjukkan pukul
11.30 WIB dan jarak ke titik finish masih 11 kilometer lagi.
Oya, selepas water station
pertama tadi, saat tenaga kembali pulih, saya sempat yakin bisa finish
pukul 12-an. Apa daya, ternyata
keyakinan itu harus saya pupus begitu sampai di water station kedua. Pace
saya makin lambat, sementara medan dan cuaca makin tak bersahabat. Lagi-lagi
saya hampir istirahat sebelum water station terakhir saking lelahnya.
Tapi saya bertekad hanya akan berhenti di water station saja.
Water station terakhir berada di bawah
naungan pepohonan. Kondisi ini membuat peserta bisa istirahat dengan tenang
tanpa perlu kepanasan. Seperti di dua water station sebelumnya, saya
mengisi ulang bidon, mengguyur air ke tubuh, dan membekali diri dengan sebotol
teh Pucuk dingin. Fitbar terakhir saya lahap di tempat ini. Perut masih aman.
Jarak ke titik finish masih tujuh kilometer lagi dan tanjakan makin menggila.
Baru sekitar 3 kilometer
mengayuh, paha saya tak mau diajak kompromi. Saya berhenti untuk melemaskan
otot dan menurunkan heart rate. Sepanjang jalan, banyak sekali peserta
berguguran. Ada yang sampai tidur telungkup di pinggir jalan, dibonceng ojek,
hingga diloading menggunakan mobil. Panitia menerapkan aturan ketat dan bagi
pelanggarnya akan digunting tanda kepesertaannya sehingga tidak berhak menerima
medali.
Belakangan saya baru tahu
bahwa jumlah pelanggar peraturan event ini banyak sekali. Yang tertangkap
tangan saya mencapai ratusan. Belum lagi yang tidak ketahuan. Mengikuti event
bergengsi seperti Bromokom Challenge memang tak hanya butuh kekuatan fisik,
tapi juga mental dan sikap yang baik. Saat fisik tak lagi bisa diajak kompromi,
ada yang rela menjual harga dirinya pada tawaran ojek atau jasa dorong di
kilometer akhir sebelum akhirnya mengayuh lagi ke titik finish dan berharap
tidak ketahuan. Bromokom Challenge memang tak sekedar ajang adu fisik tapi juga
adu harga diri.
Begitupun dengan fisik
saya. Di 5 kilometer terakhir, setiap kilometernya saya berhenti untuk mengatur
tenaga. Hal ini saya lakukan untuk menghindari kram. Saya tahu bahwa kram
adalah musuh terbesar atlet. Saya merelakan molornya waktu finish demi menjaga
otot. Toh batas waktu ke 13.30 WIB masih 1 jam lagi.
Beberapa kilometer menjelang finish, peserta dimanjakan dengan
trek yang datar lalu menurun lumayan panjang. Kesempatan ini saya pakai untuk
meluruskan sendi lutut, melemaskan otot-otot utama, dan mengatur nafas. Saya
tahu, bonus ini ujungnya tidak mengenakkan, yaitu tikungan tajam ke kiri
disusul dengan tanjakan njengat dan panjang. Konon banyak peserta yang terjebak
di sini.
Benar saja. Usai
dimanjakan turunan, sebuah tanjakan telah menanti. Saya bahkan sudah mengoper
gigi ke tingkat terendah ketika jalan masih menurun. Mengoper gigi saat sedang
nanjak berisiko memutuskan rantai. Kalau hal
ini sampai terjadi, meski panitia menyediakan mekanik, bakal bikin waktu
finish makin molor. Saya tak mau berhitung dengan risiko itu.
Tanjakan baru setengah
jalan ketika saya menyalip beberapa peserta. Ada yang menuntun sepeda, ada pula
yang berhenti karena kehabisan tenaga. Sebuah kelokan ke kanan menjadi akhir
dari jebakan tanjakan ini.
Cyclocomp menunjukkan sisa jarak
tinggal 400 meter lagi. Bukannya makin ringan, tanjakan di depan makin berat.
Berbekal sisa-sisa tenaga, saya menggeber kayuhan. Apa daya, saya salah tafsir.
Kelokan ke kiri yang saya kira bakal disusul oleh gerbang finish ternyata zonk.
Masih ada 150 meter lagi yang harus saya tempuh untuk mencapai gerbang itu.
Parahnya lagi adalah 150 terakhir ini masih berupa tanjakan dengan gradien
perih.
Meniti tanjakan terakhir menjelang finish |
Saya segera memarkirkan
sepeda dan mencari makan di dalam pendopo. Panitia menyediakan sate, soto, dan
rawon. Saya memilih soto. Teman seperjuangan, om Bambang Sugeng finish di depan
saya, pun om Tedy Supriyadi. Tak berapa lama pak Azis mengabari bahwa sudah
finish juga. Pria berusia tahun ini
memang layak diacungi jempol. Tenaganya luar biasa berkat aktivitas
bersepedanya yang amat rutin dan terjaga.
Usai mengisi perut, saya
dan om Bambang Sugeng meneguhkan tekad. Kembali ke Surabaya dengan naik sepeda.
Pukul 14.30 WIB kami mulai mengayuh beriringan, menuruni tanjakan yang baru
saja menyiksa kami. Cuaca masih terasa panas. Hingga pukul 15.00 WIB saya masih
menemui beberapa peserta yang masih berjuang ke titik finish dengan caranya
masing-masing. Ada yang naik ojek, naik mobil, mengayuh tertatih-tatih, hingga
menuntun sepedanya. Kepada peserta yang masih tangguh menuju titik finish tanpa
loading, saya menyemangatinya dengan seruan, “Semangat, Om. Dikit lagi. Masih
ditunggu…!!!”
Pukul 16.00 WIB kami tiba
kembali di Pasuruan. Sebuah kedai makan menjadi tempat persinggahan. Selain
makan dan salat, kesempatan ini kami gunakan untuk mengistirahatkan otot. Meski
tak lagi dihadang tanjakan, menempuh perjalanan pulang sejauh 103 kilometer
tentu bukan perkara ringan. Selain tenaga sudah terkuras, kami harus berbagi
jalan dengan kendaraan besar di sepanjang perjalanan. Hari juga mulai beranjak
petang, artinya konsentrasi kami lebih besar lagi tuntutannya agar tetap focus.
Karena sudah merencanakan untuk p/p dengan sepeda, saya membekali diri dengan
lampu depan. Persiapan ini terbukti berguna sekali. Selepas Bangil saya mulai
menyalakan lampu dan mengambil posisi di depan. Om Bambang mengekor di belakang.
Lalu-lintas kian ramai.
Kami harus tetap waspada. Karena menguber waktu, kami tak berhenti sepanjang
40-an kilometer hingga kota Sidoarjo. Saya mengabaikan habisnya stok air minum
di bidon. Ajaib, di kota Sidoarjo, seorang pengendara motor menawarkan sebotol
air mineral ke saya. Saya menduga orang baik tersebut adalah panitia Bromokom
Challenge 2023. Alhamdulillah.
Di pinggiran kota
Sidoarjo, 14 kilometer sebelum finish di penginapan, saya berpisah dengan om
Bambang Sugeng. Beliau mengakhiri perjalanan di sini. Saya meneruskan
perjalanan seorang diri. Beberapa kali saya bertemu dengan peserta yang juga
bersepeda ke Surabaya. Jumlahnya mungkin banyak, tapi terpencar-pencar.
Empat kilometer menjelang
penginapan, saya merasakan ban belakang kehilangan tekanan. Benar saja, kempes.
Saya segera minggir ke trotoar dan berpikir cepat. Kalau dituntun kok masih
jauh, kalau naik taksi kok ya tanggung banget. Akhirnya tas sadel saya bongkar.
Ban dalam cadangan dan alat congkel ban saya keluarkan. Saya memutuskan untuk
mengganti ban dalam di tempat itu. Lagi-lagi peralatan yang saya bawa ternyata
menyelamatkan perjalanan ini.
Pukul 19.00 WIB saya tiba
kembali di penginapan. Penanda jarak menunjukkan bahwa saya baru saja menempuh
205,74 kilometer, dengan jumlah elevasi setinggi 2.042 meter, selama 13 jam 28
menit, dengan kecepatan rata-rata 20,7 km/j, kecepatan tertinggi 54,5 km/j, dan
memakan tenaga sebesar 3.530 kalori. Usai mandi, laporan pada istri, dan
mengisi perut di warung sebelah, saya kembali ke kamar. Dari kamar ini,
lama-lamat kembali terdengar alunan music khas club house. Aseeeek….