Kantor saya mendadak geger sore itu. Bukan
oleh apa-apa tapi oleh secarik surat rahasia. Isinya sederet nama, tiga di
antaranya teman seruangan saya. Mereka tidak sedang dihukum, juga tidak sedang
berperkara. Mutasi ke unit kerja lainnya, itu saja.
Gegeran memang selalu melanda setiap ada
mutasi, tanpa memandang level jabatan. Bahkan mutasi office boy dan cleaning
service saja mampu mengoyak ketenangan kantor saya. Apa pasalnya? Kenapa
mutasi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan karir seorang
PNS Ditjen Pajak selalu menjadi isu panas? Hal ini tak lepas dari sejarah dan
milestone Ditjen Pajak sendiri.
Dahulu kala, kami sering menyebutnya dengan
istilah jaman jahiliyah, mutasi selalu dikaitkan dengan posisi kantor atau
jabatan. Hal ini bisa dimaklumi karena
seperti istilah di ujian, posisi menentukan prestasi. Kala itu ada istilah
seksi basah dan seksi kering. Istilah itu untuk menggambarkan potensi
penghasilan sampingan di luar penghasilan resmi sebagai PNS. Tak dapat
dipungkiri, Ditjen Pajak adalah sebuah instansi pemerintah yang berurusan
dengan uang dalam jumlah besar. Tugasnya memang mengumpulkan duit buat negara.
Banyak potensi kecurangan di sana dan celakanya sebagian petugas pajak
menjadikannya ajang mencari rejeki tambahan. Maka kala itu mutasi adalah sebuah
komiditi dagang. Sang pemilik ambisi akan berupaya dengan segala cara agar
mendapatkan posisi basah. Ujung-ujungnya bisa ditebak, mutasi melibatkan
transaksi uang. Kinerja dan kualitas pegawai dinomor sekiankan. Anda pintar
cari uang dan punya modal untuk membayar harga, silahkan duduki posisi itu.
Senaif itu.
Kini jaman telah berubah. Ditjen Pajak
telah berevolusi menjadi institusi pemerintah yang bersih dari praktik korupsi.
Tidak ada lagi istilah seksi basah dan seksi kering karena kami telah dipagari
dengan kode etik dan pengawasan yang ketat. Dimanapun tempat dan posisi kami
relatif memberi tingkat penghasilan yang sama. Tak ada lagi kasak kusuk
transaksi uang di hajatan mutasi. Lalu kenapa mutasi masih menjadi barang yang
seksi dan memicu kericuhan?
Ada beberapa penyebab kenapa hal itu bisa
terjadi. Sudut pandangnya pun berbeda-beda. Pertama sekali adalah sifat dasar
manusia yang menyukai zona kenyamanan (comfort
zone). Contohnya saya sendiri. Pertengahan 2010 saya dimutasikan dari seksi
Pemutakhiran Tax Knowledge Base di Subdit Pelayanan ke Seksi Hubungan Eksternal
di Subdit Hubungan Masyarakat. Saya kalut. Bagi saya ini adalah sebuah
malapetaka. Terbayang pekerjaan di tempat baru tersebut akan berbeda dengan
pekerjaan lama saya. Pun juga dengan rekan-rekan kerjanya. Benak saya dipenuhi
syak wasangka. Dalam pandangan saya, rekan-rekan Subdit Humas itu manusia yang
tidak pernah bergaul dengan rekan lain di luar Subditnya. Mereka asyik dengan
dunianya sendiri. Ihh.. Nggak gue banget deh. Demikian isi kepala saya ketika
itu.
Faktor penyebab ke dua adalah jarak dengan
keluarga. Ditjen Pajak ini kantornya tersebar dari Sabang sampai Merauke dan
Tahuna sampai Bajawa. Banyak kantor kami yang berlokasi di daerah terpencil
yang amat jauh dari bandar udara atau akses transportasi publik lainnya. Belum
lagi ongkos yang harua dikeluarkan ketika akan menengok keluarga. Belum lagi
waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari tempat tugas ke tempat
tinggal. Dahulu ketika bertugas di KPP Baturaja, saya hanya bisa pulang setahun
dua kali. Selain karena saya tidak punya cukup biaya, jarak dari Baturaja ke
Wonogiri amat jauh. Perlu waktu dua hari dua malam untuk satu kali perjalan
pulang, belum kembalinya. Syukurlah saya mendapatkan jodoh di sana sehingga
ritual mudik yang dirindukan namun berbiaya mahal itu sedikit tereduksi karena
saya sudah punya keluarga sendiri. Saya memahami kegalauan hati rekan-rekan
yang sekarang tengah terpisah dengan keluarga. Delapan belas tahun silam saya juga
mengalami hal itu.
Lalu faktor penyebab ke tiga adalah
ketidakpastian jangka waktu bertugas di suatu kantor. Desember 1995 saya mulai
bertugas di KPP Baturaja berbekal ijazah D3 Pajak. Ketika masa kerja saya
menginjak tahun ke tiga, pikiran saya mulai dihantui pertanyaan, sampai kapan
saya harus bertugas di sini? Akankah selamanya atau hanya sementara? Pertanyaan
itu tak ada yang bisa menjawabnya. Atasan saya hanya menyuruh saya bersabar.
Rekan seangkatan saya, Ragil, juga mengalami hal yang sama dengan saya, galau
dan risau. Sistem mutasi di institusi saya memang masih sangat perlu perbaikan.
Saya pernah mendengar ada seorang pegawai asal Jawa yang pernah bertugas di
tanah Papua selama lebih dari 15 tahun. Selama itu tak ada yang peduli dengan
nasibnua, sampai suatu hari hal itu diketahui oleh sang Dirjen. Sontak Dirjen
marah. Dia segera menginstruksikan bawahannya untuk segera memindahkan pegawai
yang bersangkutan dari Papua ke Jawa. Saya yakin hingga kini masih banyak
rekan-rekan saya yang mengalami hal serupa; terjebak dalam penempatan di suatu
daerah yang jauh dari keluarga tanpa ada kepastian kapan dia akan dipindahkan
ke daerah asal (home base).
Perasaan terbuang dari kantor lama juga
menjadikan mutasi sebagai momok bagi siapapun. Saya sempat diusulkan untuk
dimutasikan dari kantor saya yang sekarang ke suatu KPP. Hal pertama yang
terpikir oleh saya waktu itu adalah saya dibuang. Saya tidak dibutuhkan lagi di
sini. Saya tidak kompeten di sini. Saya dibenci makanya saya dipindah. Perasaan
tersebut muncul karena kriteria mutasi tidak dapat diukur dengan parameter
apapun. Paling mudah tolok ukurnya adalah masa kerja di suatu kantor, tapi hal
itu sering terpatahkan. Ada pegawai yang sudah puluhan tahun berdiam di satu
kantor tidak pernah kena mutasi, tapi ada pula yang baru sebentar sudah
dipindah lagi. Mutasi memang menyimpan segudang misteri.
Ditinjau dari sudut
atasan, mutasi adalah sebuah ajang pencarian bakat. Jika jaman dulu kriteria
anak buah yang disukai adalah yang pandai mencari rejeki tambahan, maka
semenjak reformasi kriteria tersebut berubah. Seiring dengan hilangnya potensi
rejeki tambahan, kini atasan menetapkan kriteria yang lebih adil, meski kadang
dibayangi kesubyektifan yang amat dominan. Lagi-lagi saya mencontohkan diri
saya sendiri. Meskipun saya ini hanya pelaksana yang secara struktural tidak
punya anak buah, namun secara de facto
saya punya anak buah. Sebetulnya dia bukan anak buah saya dalam artian yang
sebenarnya. Dia adalah rekan kerja yang punya tugas sama dengan saya,
dokumentasi kegiatan pimpinan Ditjen Pajak. Keberadaannya memang atas
rekomendasi saya. Ketika itu saya merasa butuh bantuan orang lain mengingat
beban pekerjaan yang kian berat. Direktur memerintahkan saya mengajukan nama
untuk menjadi rekan kerja saya. Kriteria pertama yang saya syaratkan adalaj dia
harus bisa bekerja sama dengan saya dan harus patuh dengan saya. Kemampuan
menjadi nomor sekian karena saya yakin tingkat kecerdasan pegawai Ditjen Pajak
tidak perlu diragukan lagi. Apalagi hanya urusan foto memfoto, apa susahnya.
Persyaratan ini ternyata memunculkan kesulitan bagi saya. Audisi yang saya
lakukan secara virtual di benak saya
tidak menemukan banyak calon pemenang. Hati saya dipenuhi egoisme. Hal buruk
yang mendominasi pikiran saya adalah bahwa dia harus nurut dan tidak akan mengudeta saya. Satu bulan berlalu dan saya hanya menemukan satu
nama.
Demikianlah akhirnya. Hajatan besar bernama
mutasi pasti tetap akan menjadi biang kegegeran sepanjang hal-hal tersebut
masih ada. Untuk organisasi sebesar Ditjen Pajak, menurut saya sudah waktunya
melakukan pembenahan secara sungguh-sungguh terhadap hal ini. Saya tidak
mengatakan hal ini mudah dilakukan, tapi saya punya keyakinan bahwa Ditjen
Pajak harusnya mampu melakukannya. Dasar pikiran saya adalah bahwa hanya urusan
mutasi lah Ditjen Pajak bisa mandiri, bebas dari ketergantungan institusi lain.
Tidak seperti urusan rekruitmen pegawai, anggaran belanja, dan sebagainya.
Ketika hal ini masih juga terjadi, saya
hanya menegakkan keyakinan pada diri saya sendiri. Ketika suatu hari nanti saya
harus hengkang dari sini, dimutasikan ke tempat lain, maka hal itu terjadi
karena organisasi membutuhkan saya, bukan karena sebab lain.
Sekian.
Kampung Makasar, 22 Desember 2013.
2 comments:
Tulisan ini memotivasi saya, pak.. Hihihi. Seandainya ada tombol "like" di blog :D
Makasih mas Gita.. Tulisan sampeyan jauh lebih inspiratif mas....
Post a Comment