Saya
baru saja selesai merapikan buku tulis dan buku paket untuk jadual sekolah
besok pagi. Sedianya saya akan segera beranjak tidur, tapi saya baru ingat
bahwa sholat Isya belum tertunai. Dengan langkah malas saya keluar kamar kost
menuju kamar mandi untuk bersuci.
Baru
genap lima langkah, dari kamar seberang terdengar obrolan seru. Rifa, teman
seangkatan saya sedang berbincang dengan Heri, teman sekamarnya. Heri adalah
adik kelas kami. Dia juga berasal dari Wonogiri, anak seorang pendeta.
"Satu
itu ya satu, Her. Dan itu sifat Tuhan yang utama."
"Iya,
Mas. Tuhan kami juga satu lho.. Tuhan Yesus."
"Ah..
Itu ada Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus?"
"Mas
Rifa.. Dalam keyakinan kami ada konsep Trinitas...."
Niat
bersuci saya urungkan. Kantuk yang tadi menggoda saya untuk melewatkan sholat
Isya mendadak sirna. Dengan langkah hati-hati saya mendekat ke kamar itu.
Keremangan malam di kost Bu Broto Warung Miri ini amat membantu menyembunyikan
saya dari penglihatan mereka. Saya tak mau kehadiran saya merusak diskusi
mereka. Di bawah pohon jambu air yang sedang berbuah lebat, saya berdiri
mencakung, tanpa suara.
"Kenapa
orang Kristen suka berdoa sambil main gitar?"
"Kenapa
orang Islam suka berisik manggil-manggil orang supaya sholat? Bukannya waktu
sholat itu nggak berubah-ubah, Mas?"
"Kenapa
kalian suka mengkristenkan orang Islam?"
"Kenapa
kalian kalo bikin pengajian atau sholat Id suka nutup jalan umum?"
"Kenapa
kalian kalo ke gereja pakai rok pendek?"
"Kenapa
Lebaran kalian suka beda hari?"
Wah...
Rupanya diskusi mereka kian memanas. Bertubi-tubi pertanyaan sensitif saling
mereka lontarkan. Dengan argumen seadanya, dua penghuni kamar yang sama itu
saling sigap menjawab pertanyaan lawan diskusinya.
"Kenapa
Tuhanmu mati disalib?"
"Kenapa
nabimu doyan kawin?"
Dua
pertanyaan terakhir itu membuat saya memutuskan untuk segera meneruskan niat
awal, bersuci dan segera menunaikan sholat Isya.
※※※※※※※
Hujan
rintik malam itu tak mengurangi semangat para jamaah satunya masjid di desa
kami untuk berbondong-bondong datang ke masjid ini. Di pintu masuk halaman
masjid beberapa orang pemuda sedang asyik membikin gerbang dari bilah bambu
yang dihiasi dengan janur kuning. Di serambi puluhan jamaah yang rata-rata
sudah berusia lanjut sedang asyik berbincang sembari minum teh hangat. Sholat
Isya berjamaah baru saja selesai mereka tunaikan.
Dari
selasar depan tiba-tiba terdengar bunyi bedug dan kentongan dipukul dengan
irama apik meningkahi suara takbir. Bunyi itu mendadak berhenti oleh sebuah
teriakan penuh amarah.
"Siapa
yang nyuruh takbir, he?"
Lima
pemuda tanggung itu hanya diam.
"Kalian
kan tahu, mbah Kiai belum nerima putusan lebarannya besok atau lusa. Jadi
jangan coba-coba takbir sebelum ada perintah darinya."
Seorang
bapak-bapak berambut keriting datang mendekat.
"Ada
apa to ini? Kok berhenti takbirannya?"
"Tidak
boleh takbir sebelum ada perintah dari mbah Kiai."
"Lho..
Memangnya kenapa? Menurut hitungan kami, besok sudah lebaran kok. Jadi ya malam
ini kami mau takbiran."
"Silahkan
kalo pakde mau lebaran besok. Tapi jangan takbiran di masjid ini."
"Kenapa
nggak boleh? Ini masjid lho, milik umat, bukan milik kiai mu."
"Pokoknya
nggak boleh sampai ada putusan dari mbah Kiai. Mana, sinikan pemukul bedug
itu."
Sosok
pria berambut keriting itu hanya melongo ketika pemuda itu merebut pemukul
bedug sembari ngeloyor pergi. Saya yang sedari tadi duduk di seberang jalan
sembari makan es lilin memilih pulang ke rumah. Sisa makanan kendurian tadi
sore lebih menarik dibandingkan dengan keributan di masjid ini.
※※※※※※※
Bangunan
tepat di seberang rumah kontrakan kawan karib saya ini lebih menyerupai rumah
dibandingkan dengan gereja. Keterbatasan lahan membuatnya tak mempunyai halaman
sama sekali. Hanya papan nama bertuliskan Gereja Pantekosta lah yang mencirikan
bahwa ini adalah rumah ibadah, bukan rumah tinggal.
Minggu
sore itu saya bersiap kembali ke kost saya di Jurang Mangu setelah dua malam
menginap di sini. Saya sedang memasang kaos kaki di teras ketika Eka dan Robin,
penghuni rumah kontrakan ini mendatangi saya.
"Ngapain
sih Bey jam segini udah mau pulang?"
"Sorry
Ka.. Besok ujian euy..." "
Walah
Bey.. Bey.. Kamu ini kan lulusan Prodip, masak ujian PA aja masih perlu
belajar.." timpal Robin.
"Aku
nggak mau terjerumus ke luar Jawa lagi coy..."
Tiba-tiba
terdengar alunan musik dari gereja depan. Tak lama disusul oleh nyanyian koor
para jemaat. Suaranya amat jelas terdengar karena jarak teras ini ke gereja itu
hanya sepuluh meter. Merdu dan meriangkan hati. Saya sudah berdiri untuk
beranjak ketika tiba-tiba saya mendengar bahasa aneh dari mulut pendeta. Wah...
Hebat juga gereja ini, pendetanya kutbah memakai bahasa Ibrani, pikir saya.
"Ngawur
lu, itu bukan bahasa Ibrani, Bey. Bahasa roh," jawab Eka ketika saya
menanyakan perihal itu.
"Lu
percaya sama bahasa roh, Ka?" timpal Robin. Mereka seiman.
"Ah..
Nggaklah... Itu kan penyesatan. Sekte Pentakosta mengklaim dirinya lebih tinggi
tingkatan kerohaniawanannya dibandingkan dengan sekte lain gara-gara mereka
bisa bahasa roh. Padahal Paulus dalam 1 Korintus 14: 20 justru mengingatkan
mereka untuk berpikir secara dewasa."
"Tapi
jangan salah Ka.. Dalam 1 Korintus 14: 4 dikatakan bahwa bahasa roh itu selain
alat untuk membangun dirinya sendiri juga untuk membangun iman umat."
"Sebentar...
Kalian ini sibuk diskusi tapi kok nggak ke gereja?"
"Sialan
lu, Bey... Nggak boleh ke gereja kalo masih mabok."
"Yo
wis lah.. Mabuk kok ngomongin agama." ujar saya sembari melangkah keluar
pagar.
Sembari
menahan pusing akibat kebanyakan nenggak Long Island tadi malam di kafe Pasir
Putih, saya berjalan menuju halte bus depan hotel Cempaka.
Wonogiri,
26 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment