Hujan meningkahi perjalanan mudik kami. Pun juga ketika
tapak kaki menyentuh pekarangan rumah orang tua. Senja telah tiba, adzan magrib
berkumandang dari mushola kecil di depan rumah. Setelah membereskan barang
bawaan, saya lantas terlibat obrolan dengan Bapak di ruang depan.
"Ini sudah dateng mangsa Kapitu, lho Le...
Waktunya alu turu."
Saya terhenyak mendengar sabda beliau barusan. Mangsa
kapitu, wayahe alu turu; sebuah kalimat berima yang sarat makna.
Dalam kultur masyarakat Jawa terdapat pedoman tak
tertulis yang menjadi patokan bercocok tanam sesuai periode musim. Pedoman itu
disebut "mangsa" atau masa. Dalam satu tahun terdapat dua belas
mangsa yang masing-masing mempunyai umur yang berbeda-beda. Dimulai dari mangsa Kasa atau masa pertama yang
dimulai tanggal 22 Juni dan berusia 41 hari, berurut-turut mangsa Karo sampai Desta atau masa ke dua belas yang berakhir tanggal 21 Juni tahun
berikutnya. Masing-masing mangsa punya karakteristik yang khas dan relatif
tidak berubah semenjak pedoman ini diciptakan oleh Pakoeboewana VII pada 22
Juni 1856.
Segelas teh panas dan pisang goreng tersaji di depan
kami. Rintik hujan kian deras di luar sana. Rumah orang tua saya tak berplafon
sehingga air hujan menerobos lewat celah genteng menjadi butiran-butiran halus.
Dingin menusuk tulang.
"Apa karakteristik mangsa Kapitu, Pak?"
Saya memang selalu penasaran dengan hal-hal seperti
ini. Bagi saya pengetahuan mengenai kejawen selalu mengusik saya untuk bertanya
dan mencari tahu.
"Dimulai tepat hari ini lho Le, 23 Desember.
Mangsa Kapitu usianya 43 hari dari sekarang. Sekarang ini wong tani mulai nanem
padi. Hujan mulai sering datang. Sungai mulai banjir bandang."
Tak sadar tiga potong pisang tanduk goreng itu habis
saya kunyah. Pisang goreng memang salah satu makanan favorit saya.
"Mangsa Kapitu itu masa paceklik. Padi baru saja
ditanam, panenan sudah habis dimakan. Jaman nenekmu dulu kalo sudah dateng
mangsa ini kami semua diajak prihatin."
Ibu datang untuk bergabung dengan kami. Beliau duduk di
depan saya, di kursi rotan yang umurnya hanya lebih muda 8 tahun dibandingkan
dengan umur saya. Saya baru sadar, rambut ibu sudah didominasi warna putih.
Kerutan di wajahnya kian jelas. Ah.. sosok agung itu kini telah berusia senja.
"Dulu ibumu ini harus ikut prihatin. Gaplek
panenan nenekmu sebagian harus disembunyikan biar cukup buat dimakan sampai
musim panen berikutnya," ujar Ibu.
"Jaman sekarang apa orang sini masih terpengaruh
mangsa Kapitu, Pak?"
“Ya masih to. Kamu lihat sendiri, seluruh sawah baru
saja ditanemi bibit. Itu artinya empat bulan lagi baru panen. Nah, selama empat
bulan itu kan kerjanya cuma ngabisin hasil panen. Ini waktunya alu turu, artinya tidak ada lagi yang
bisa dikerjakan selain nungu hasil panen, itupun kalo nggak kena hama."
Saya terhenyak. Saya baru sadar kehidupan saya jauh
lebih beruntung dibanding mereka. Gaji saya tidak tergantung mangsa, hanya
tergantung dengan kalender Masehi yang umurnya tetap, satu bulan. Besarannya
pun tetap, tidak mengenal gagal panen.
"Tahun ini keadaan terasa lebih berat, Le.."
"Kenapa, Pak?"
"Iyo.. Kamu tahu bulan ini bulan baik, banyak
orang ngadain hajatan. Itu artinya banyak pengeluaran untuk ngisi amplop,
to?"
"Inggih, Pak.."
"Di balik semua ini sebenarnya ada petuah lho,
Le.. Bahwa sesulit apapun keadaan kita, selalu sempatkan untuk berbagi rejeki
dengan sesama. Lebih baik berpagar mangkok dari pada berpagar tembok. Itu
ajarane Mbah mu dulu."
Gelas teh panas yang sudah saya angkat ke arah mulut
saya taruh lagi di atas meja. Petuah itu tersabdakan lagi untuk kesekian kalinya.
Bapak saya bukan orang berada. Penghasilan utamanya
hanya pensiuanan PNS golongan II A. Sepetak pekarangan di sekeliling rumah dia
tanami kunyit yang panennya hanya setahun sekali. Namun beliau selalu
mengingatkan saya untuk selalu berbagi rejeki dengan sesama.
Saya tiba-tiba teringat kejadian di mushola saat sholat
magrib berjamaah tadi. Bapak sholat sembari duduk bersila. Beliau sudah tidak
mampu mendirikan sholat dengan berdiri. Diabetes telah menggerogoti fisiknya
selama dua belas tahun terakhir ini. Namun penyakit itu tak mampu meruntuhkan
kemurahan hatinya. Mushola ini dibangun di atas tanah wakaf darinya, dua tahun
lalu.
"Banda (harta) tidak dibawa mati lho, Le.."
ujarnya saat itu.
Alu
: alat untuk menumbuk hasil panen (gabah menjadi beras, gaplek menjadi tepung
tapioka), terbuat dari kayu bulat.
Turu
: tidur, tergeletak.
Lebih baik berpagar
mangkok dari pada berpagar tembok : lebih baik
memagari kehidupan dengan memperbanyak sedekah daripada memagarinya dengan
rumah mewah.
Wonogiri, 24 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment