![]() |
Abiyyu - 2008 |
Saya baru saja merapikan layang-layang yang baru selesai saya bikin dengan Kang Saidi, ketika Simbah sudah berdiri dengan muka masam di depan saya.
"Mainan
kok gonta-ganti to, Le....!"
"Lha
sekarang kan musim angin, Mbah.. Makanya bikin layang-layang."
"Trus
mainan mobil-mobilanmu itu mau mbok apain?"
"Ya
simpen dulu, Mbah.. Nanti kalo sudah musim dipake lagi."
Simbah
segera berlalu, menuju ke pojokan dapur dan segera mengambil sekapur sirih,
nginang. Kebiasaan itu dia lakoni setiap hari, sepanjang ingatan saya.
"Ayo,
Ri.. Kita ke Salam.. Mukalim sama Yoto sudah nunggu tu.." ujar kang Saidi.
"Iyo,
Kang. Tapi laper, je. Gimana kalo menthong dulu.."
Kami
segera menuju dapur. Di atas babragan ada secuil sayur sisa makan siang, terung
dan tempe. Di cething masih ada nasi thiwul. Menu yang komplit untuk sekedar
menthong. Kelar menthong, kami bergegas menyambar layang-layang itu.
"E...e..e.....
Kalian mau kemana?"
"Main
layang-layang, Mbah."
"Nggak
boleh, wong habis makan kok main. Mbok duduk dulu biar jadi daging."
Kami
segera surut langkah. Titah Simbah pantang dilawan, atau sarapan enak terancam
tak tersedia. Kami segera duduk-duduk di kandang samping rumah dapur. Seekor
lembu betina yang tengah hamil terikat di sana. Bapak sedang mengelus-elus
lembu milik bibi tirinya itu.
"Berapa
lama lagi sapinya lahiran, Pak?"
"Yo
masih sebulanan lagi, To."
"Wah..
Bapak nanti dapet bagian separo dong.."
"Iyo..
Makanya yang rajin mbantuin bapak nyari rumput. Biar anak sapi ini lahirnya
gede. Kalo anaknya gede kan bagian kita juga gede."
"Inggih,
Pak."
"Jangan
kebanyakan main, Le. Sinau yang rajin. Kamu kan anak pertama, harus bisa jadi
lanjaran buat adik-adikmu, Titik, Bowo dan Indar."
Selarik
nasihat itu nyatanya tak mampu menyurutkan hasrat bermain saya. Sejenak setelah
perut saya terasa tidak sebah lagi, saya segera memberi kode ke Kang Saidi
untuk melanjutkan rencana semula, main layang-layang. Kebetulan bapak sedang ke
sungai depan rumah, mencuci cangkul yang habis dipakai untuk mengeruk kotoran
lembu. Salam adalah sebuah ceruk desa yang hanya terdiri dari dua rumah, rumah
Wo Sakijo dan Wo Sakino. Meskipun namanya mirip, mereka tidak bersaudara. Di
atas ceruk itu ada sebuah lereng yang di atasnya membentang jalan desa menuju
Jawa Timur. Di jalan itulah kami menyongsong angin. Seperti yang dikatakan Kang
Saidi, Yoto dan Mukalim sudah berada di sana. Layang-layang mereka sudah
membumbung tinggi. Ekornya meliuk-liuk tertiup sang bayu. Saya segera
membentangkan tali plastik pengikat layang-layang. Di ujung sana Kang Saidi memegangi
layang-layang saya. Dengan berlari kecil saya menarik layang-layang itu melawan
arah angin. Hanya perlu beberapa menit, layang- layang saya sudah menyusul
layang-layang mereka. Jika saya memerlukan bantuan untuk menaikkan
layang-layang, tidak demikian dengan Kang Saidi. Dia hanya perlu menarik
layang-layangnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya membumbung tinggi.
Saudara sepupu saya ini memang lebih lihai dalam banyak hal dibanding saya. Wo
Sukimo datang melintas. Pria setengah tua itu tengah memanggul jerami,
menanjaki jalanan sembari mengepulkan asap dari rokok di mulutnya. Jari
telunjuknya cacat, terpotong pisau, sehingga kami suka menyebutnya Wo Sukimo
Bujel.
"Hayoo..
Kalo main jangan deket-deket jurang, Le... Nanti jatuh lho.." ujarnya
sembari berlalu.
Langit
di Puthuk Tenggar telah meremang. Warna jingga menyemburat di sana. Orang desa
kami menyebutnya "candik ala". Indah, namun menipu, katanya. Simbah
bahkan pernah berujar dengan nada bercanda, jangan milih istri pada saat ada
candik ala, kecantikan wanita ketika itu hanya kamuflase. Kami segera menarik
tali layang-layang, bergegas kembali ke rumah masing-masing. Bapak sedang
menyalakan lampu petromak ketika saya sampai di rumah. Ibu sedang menggendong
adik bungsu saya, Indarto. Bowo dan Titik baru selesai mandi. Simbah sudah
pulang ke rumah Yu Sarmi, cucu dari anak perempuan pertamanya, Wo Janti. Memang
demikianlah ritual yang dilakoni simbah semenjak kematian suaminya serta anak
bungsunya, ibu saya, menikah dan pisah rumah. Setiap pagi dia pergi ke rumah
saya sampai menjelang senja baru kembali ke rumah asalnya. Jaraknya tak terlalu
jauh, hanya 500an meter. Dia tak pernah bersedia menginap di rumah saya.
Katanya itu adalah pesan dari suaminya.
Kelar mandi saya segera menuju dapur untuk makan malam. Dalam penerangan lampu
sentir saya melahap makan malam berlauk sepotong tempe goreng dan sayur buncis
itu. Sayup-sayup terdengar suara adzan Magrib dari masjid di seberang desa.
Kami sekeluarga tidak ada yang mendirikan sholat.
※※※※※
Sekolah
Dasar Sidorejo III adalah satu-satunya sekolahan di kampung saya. Pagi itu
halamannya telah riuh oleh anak-anak yang tengah asyik bermain menunggu bel
tanda masuk. Di sudut halaman, lima orang murid wanita sedang bermain lompat
tali. Tali yang digunakan untuk bermain terbuat dari karet gelang yang dijalin
menjadi seutas tali sepanjang 2 meter. Di tengah lapangan, serombongan murid
pria sedang bermain kasti. Merek tak peduli lemparan bola kasti itu sering
hampir mengenai murid lain. Yap.. Mereka memang gerombolan murid bengal. Saya
memilih menyingkir dari gerombolan itu. Bukan apa-apa, saya tak punya nyali
untuk beradu otot dengan mereka. Saya bukan tipe anak laki-laki yang suka
berkonfrontasi. Hal itu mungkin hasil dogma orang tua saya yang senantiasa membasuh otak ini. Jadi
orang itu jangan suka bikin keributan, ada apa saja jangan terbawa nafsu,
jadilah orang pengalah, demikian piwulang
dari kedua orang tua saya. Maka saya memilih permainan yang aman dari kontak
fisik, kelereng. Bel tanda masuk berdentang dengan lantang. Lek Nurdi, penjaga
sekolah yang membunyikannya. Sepupu bapak ini orangnya lucu namun galak. Saya
memilih tak banyak bersentuhan dengannya. Saya segera memimpin barisan murid
kelas 3 di depan kelas.
"Siap,
grak! Lencang depan, grak!"
Bruk!
Bunyi kaki 15 murid menghentak lantai teras kelas. Dengan tertib kami memasuki
kelas dan menempati bangku masing-masing. Bu Satini sudah duduk di bangkunya
dengan pandangan lurus. Bibi bapak dari nenek ini memang rada galak. Kami semua
takut menghadapi guru yang nota bene masih nenek saya ini.
"Rianto...
Maju ke depan!"
Saya
tergagap. Tas sekolah yang belum sempurna terbuka itu segera saya tinggalkan.
"Coba
liat kuku tanganmu!"
Saya
segera menyodorkan tangan saya kepadanya. Matilah saya, kuku saya belum
dipotong. Ujungnya bahkan berwarna hitam karena menyimpan kotoran tanah.
"Nah
ini. Kenapa kukumu panjang?"
"Inggih,
Bu... Belum saya potong."
"Jorok!
Kamu kan anake pegawai Puskesmas, masak motong kuku aja nunggu dimarahi. Kasih
contoh dong sama teman-temanmu. Lagian kamu ini kan ketua kelas."
"Inggih,
Bu. Nanti saya potong."
"Ya
sudah. Balik ke tempat duduk. Percuma pinter kalo kukumu jorok."
Nafas
saya tersengal mendengar hardikan itu. Dari seluruh murid kelas ini, hanya
bapak saya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri. Hal itu sering menjadikan
posisi saya tidak enak. Sedikit-sedikit sosok saya selalu dikaitkan dengan
profesi bapak saya. Ketika nilai ulangan saya turun, saya pasti dimarahi bu
Satini. Ketika rambut saya panjang, saya pasti disuruh ke depan kelas untuk
dimarahi. Baginya saya harus tampil sempurna, sebagai anak seorang PNS.
※※※※※
Siang
itu begitu terik. Selepas makan siang, saya segera menuju ke rumah depan. Di
tengah rumah teronggok segunduk pasir kering dari Kali Pucang. Pasir itu
rencananya akan digunakan untuk menembok rumah ini. Namun semuanya masih
rencana, karena baru pasirlah yang tersedia. Material lain, semen dan batu bata
belum ada. Ketika hal itu saya tanyakan kepada Bapak, dia hanya berujar
singkat, "Nanti, nunggu kredit dari BRI cair." Jadilah gundukan pasir
itu sebagai arena bermain saya. Saya segera menyambar baskom plastik bekas.
Baskom itu saya isi dengan pasir, lalu saya tuangkan ke torong. Kucurani pasir
itu menerbangkan khayalan saya ke mesin penggiling padi milik mbah Broto, paman
bapak. Dalam imajinasi saya, saya menjelma menjadi wo Saman, sosok penggiling
padi yang telah renta itu. Tak lama kemudian kang Saidi muncul. Tangannya
menenteng layang-layang. Belum sempat dia berkata apa-apa, simbah sudah
bersuara.
"Saidi,
nggak usah main layang-layang!"
Kakak
sepupu saya ini kontan ciut.
"Dolanan
di rumah aja. Main pasir sama adikmu itu."
Saya
ikut surut nyali. Percuma saja melawan simbah. Akhirnya kami berdua
menghabiskan separo hari bermain di sini. Mobil-mobilan yang kemarin sudah saya
simpan, segera saya keluarkan lagi.
Punggung gundukan pasir itu menjelma menjadi bukit Tunggangan. Truk kayu itu
saya kendarai menanjaki bukit, mengangkut pasir menuju desa sebelah.
"Ngeeeeeeng...
Tiiiin... Tiiiin.. Minggir Kang.. Mobilku mau lewat."
Kang
Saidi segera menepikan mobilnya, hampir masuk jurang.
"Pelan-pelan
dong Ri.." keluhnya.
Meski
secara awu dia lebih tua daripada saya, kenyataannya dia segan dengan saya.
Status saya sebagai anak PNS memang mengalahkan awu saya yang lebih rendah
darinya. Dia selalu mengalah kepada saya, dalam hal apapun.
※※※※※
Bulan
puasa telah memasuki minggu ke empat. Tahun ini adalah giliran keluarga kami
mudik ke Wonogiri. Kami tiba di rumah orang tua pada tengah hari, setelah
menempuh perjalanan 700 kilometer selama 27 jam. Rasa kantuk dan lelah mendera.
Namun tak demikian dengan kedua anak saya. Mereka langsung mengajak adik
sepupunya, Erwin, main ke sungai depan rumah.
"Biyyu,
main di rumah aja. Nggak usah ke sungai, kotor."
"Yaelah,
Ma... Nggak kotor kok. Lagian kami cuma mau nangkep anggang-anggang."
Tanpa
menunggu persetujuan mamanya, tiga anak-anak itu bergegas menuruni lereng
pekarangan rumah. Mereka tak peduli kakinya menginjak-injak kunyit yang ditanam
bapak.
"Tolong
liatin anak-anak deh, Pak. Mama mau mbongkarin tas."
Dengan
langkah hati-hati, saya menyusuri parit yang menjadi pembatas antar petak tanah
lahan kunyit itu. Saya menuju batu besar di bawah pohon kelapa. Sembari
berbaring, saya ngunandiko, anggang-anggang itu bagi saya dulu bukan binatang
aneh. Dia hanyalah makluk air yang aromanya menyengat. Kini penghuni sungai itu
menjadi buruan menarik bagi kedua anak saya. Bagi mereka, makluk itu amat
menggemaskan karena amat susah ditangkap. Meski tak paham, saya berusaha
maklum. Seperti saya memaklumi selera musik mereka yang jedhar-jedher nyaris
tanpa kedalaman nada, sementara saya lebih suka menikmati alunan campur sarinya
Sunyahni ketika dia melantunkan lagi "Setyo Tuhu".
※※※※※
Ruang
Melati RS Pusdikkes Kramat Jati, 11 Februari 2014. Giliran jaga malam. Cepat
sembuh ya Abiyyu.. Aamiin..
No comments:
Post a Comment