“Ayo,
Le.. Cepetan ganti baju.. Bapakmu sudah
nunggu, tuuh” ujar simbah dengan lembut sembari mengelus kepala saya.
Dengan
langkah gontai, saya beranjak ke kamar mandi yang terletak di pojokan dapur,
sebelah pintu keluar itu.
Siang
ini cuaca amat terik. Debu menyelimuti jalanan desa yang belum beraspal. Saya
dan bapak menunggu angkutan umum di sudut desa. Kami harus menunggu lama karena
hari ini adalah hari Minggu. Hari dimana
penumpang akan sepi karena aktivitas perekonomian melambat dan anak sekolah
libur.
Saya
duduk di atas batu besar. Pikiran saya melayang melampaui pematang sawah yang
terbentang di bawah sana. Saya tak habis pikir, kenapa orang tua saya
bersikukuh memondokkan saya di rumah Mbah Sakiyem. Jarak dari rumah saya ke SMP
Negeri Tirtomoyo hanya 12 kilometer dan tersedia angkutan umum. Yang lebih
mengherankan lagi, hanya saya satu-satunya anak yang dipondokkan. Yang lain tidak. Kang Wagino, Yoto, mas
Naryo, dan semua teman SD saya menjalani hari barunya di SMP tanpa harus
terkekang dalam rumah pondokan. Masalah ekonomi? Tidak, orang tua saya paling
mampu secara ekonomis dibanding orang tua mereka.
“Gini
lho, To... Bapak pengin kamu belajar ngenger, ikut orang. Biar kamu mandiri.
Kamu kan anak mbarep.”
“Tapi
mbah Sakiyem kan galak, Pak?”
“Enggak,
Le. Mbahmu itu galaknya pener. Lha ini Bapakmu dulu diasuh sama dia
bertahun-tahun.”
Tak
kurang, bu Dini, guru SD saya sudah mengingatkan saya tentang kegalakan simbah.
“Aku
dulu juga ikut mbah Sakiyem lho, To. Kamu harus kuat mental,” ujarnya suatu
hari.
Saya
hanya diam terpekur. Logika saya menentang jalan pikiran bapak. Namun apa mau
dikata, sabda itu telah tertitah. Mulai hari ini saya harus menjalani hidup di
rumah Mbah Sakiyem. Tepatnya numpang hidup.
Mitsubshi
Colt T120 buatan tahun 1982 ini memang karya besar. Mesinnya bandel, bodinya
tambeng. Dengan kapasitas mesin hanya 1.200 liter, mobil ini mampu mengangkut
12 penumpang dewasa tanpa kehabisan tenaga. Tanjakan Gunung Mijil yang curam
dan buruk rupa dilalapnya tanpa kesulitan. Sopirnya seorang pria paruh baya,
lek Giman namanya. Kami saling kenal satu sama lain karena dia suka ngetem di
pasar desa saya.
“Lho,
hari Minggu kok sudah mau sekolah, bukannya besok, To?”
Bapak
menyergah.
“Iyo
besok. Tapi dari Nggodang. Anto mau
mondok di sana.”
“Oooo....
Wah harus siap-siap digalaki Mbah Sakiyem dong.”
Kami
terdiam.
Perjalanan
sejauh 10 kilometer ini memakan waktu hampir 45 menit. Dengan sigap bapak
menurunkan tas punggung yang berisi beberapa lembar pakaian dan buku saya. Saya
mengekor di belakangnya dengan perasaan galau.
Sosok
pria tua berpostur tinggi besar berambut putih itu tergopoh-gopoh menyambut
saya. Suaranya menggelegar.
“Sini...sini
putu lanang... Wah besok sudah mulai sekolah ya....”
“Inggih,
Mbah.”
Kami
segera duduk nglesot di lantai rumah depan beralaskan tikar plastik. Beberapa
orang sibuk hilir mudik mengangkut jenang dodol dari dapur ke ruangan ini.
Nampan berisi jenang dodol hangat yang sudah tercetak itu disusun di rak kayu.
Aromanya meruah sedap, membuat air liur saya meleleh.
“Jadi
mulai hari ini saya nitip Anto, Pak,” ujar bapak ke mbah Padmo, suami Mbah
Sakiyem.
“Iyo...
Nggak apa-apa. Semoga anakmu kerasan, So.”
Seorang
wanita paruh baya membawakan minuman dan
beberap iris jenang dodol di piring keramik.
“Ini
mas Anto dicobain jenangnya sebelum bosen. Nanti tiap hari juga bisa makan
jenang kok.”
Dia
adalah mbak Muk, keponakan mbah Sakiyem yang diangkat sebagai anak pungut. Mbak
Muk sudah berkeluarga dan dikarunia lima orang anak. Keluarga itu tinggal di
rumah ini. Selain keluarga mbak Muk, ada dua lagi keponakan mbah Sakiyem yang
tinggal di rumah ini, Pur dan mas Warto. Pur masih sekolah seperti saya,
sedangkan mas Warto adalah seorang guru Sekolah Dasar di desa saya.
Mereka
semua ikut ngumpul di ruang tengah menyambut kedatangan saya. Saya mulai
mengakrabi suasana rumah ini. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu Wage,
dimana aktifitas rumah ini meningkat pesat menyiapkan dagangan buat dijual
besok di pasar Tirtomoyo. Namum pikiran saya masih risau. Sosok yang selama ini
membuat gamang belum kelihatan batang hidungnya, mbah Sakiyem.
“Nanti
tidurnya sama aku, Ri. Tu kamarnya di belakangmu,” ujar mas Warto.
“Inggih,
Mas.”
“Ri,
nanti malam kita ke ladang belakang rumah ya, njagain pompa air, lagi ngairin
taneman kacang tanah,” ujar Pur.
“Hus,
aja macem-macem kowe, Pur. Rianto ini di sini buat belajar, bukan kerja. Nanti
sekolahnya bodoh kayak kamu,” sergah mbah Padmo.
“Nggak
apa-apa, Mbah. Rianto kalo di rumah juga saya ajak nyari rumput kok. Pokoknya
semua kerjaan di sini harus bisa dia kerjakan, Pak. Dia saya titipkan di sini
biar belajar semuanya.”
“Iyo,
aku ngerti, So. Tapi anakmu ini kan pinter. Sayang kalo waktunya terbuang buat
mbantuin kerjaan. Biar dia sinau saja.”
Sekonyong-konyong
seorang wanita tua berkain jarik mendatangi kami dengan langkah cepat. Tanpa
basa-basi dia memeluk saya sembari menciumi pipi saya dengan sporadis.
“Oalaah
So.. So... Anakmu kok sudah gede gini... Sudah pada makan belum. Ayo... ayo...
kalian makan dulu. Tu daging ragi sama
sayurnya sudah mateng..” ujarnya sembari menarik tangan saya ke arah dapur.
Dapur
itu masih berlantai tanah. Di sebelah kiri, mepet dinding, ada dua tungku
besar. Tampak dua orang wanita paruh baya yang sedang menggoreng rempeyek dan tempe
keripik. Di sebelah kanan ada sebuah tungku yang lebih besar lagi. Seorang pria
berkulit legam tampak sedang mengaduk adonan jenang dodol. Keringatnya
bercucuran karena hawa di tungku itu amat panas.
Dengan
sigap wanita tua itu membimbing saya ke meja makan besar. Sebaskom daging ragi
menggunung di sana. Dia segera menyodorkan piring kosong ke saya.
“Tuh
ambil sendiri lauknya. Yo kayak gini ini rumahnya mbahmu Ri. Kalo hari Wage
serba ribet, besok mau jualan di pasar. Tapi kamu nggak usah ikutan ribet.
Tugasmu di sini cuma belajar dan belajar. Simbah nggak mau kamu kayak bapakmu,
sekolahe dulu bodo karena sama bapaknya disuruh angon kerbau melulu..”
Sembari
makan saya masih berpikir, ternyata bayangan buruk saya sebelum ini salah
besar. Mbah Sakiyem yang diceritakan orang tidak seperti yang saya hadapi.
Dengan telaten beliau menunggui saya makan. Nada bicaranya memang cepat dan tak
berjeda. Gerakan dan langkahnya gesit untuk orang seusianya. Dan di tangannya
terselip sebatang rokok.
“Jadi
orang itu harus temen, Ri. Bapakmu itu meski sekolahnya bodo dia temen, serius,
fokus. Liat aja, teman-teman sekolahnya nggak ada yang jadi pegawai negeri.
Bapakmu doang yang jadi orang. Itu artinya dia temen. Nah kamu kan anak mbarep,
laki-laki, harus bisa jadi contoh buat adik-adikmu. Makanya Simbah seneng kamu
mau tinggal di sini. Di sini kerjaan banyak, tapi kamu nggak usah pikirin. Yang
penting kamu sinau. Nggak usah ikut-ikut si Pur nyari rumput. Pokoke kamu
belajar. Wis tak tinggal yo. Simbah lagi ada pasien. Tu si Prayit, anake pak
Lurah Tempel kena hernia.”
Wanita
tua itu lenyap dalam sekelebatan mata. Gerakannya benar-benar seperti hantu.
Demikianlah
akhirnya, mulai hari itu saya menjalani hidup di rumah mbah Sakiyem. Sebetulnya
saya dilarang keras membantu kerjaan di dapur, tapi melihat lek Paimin ngaduk
adonan jenang kok jiwa ke-ndeso-an saya tertantang. Dia juga mengajari saya
dengan semangat. Kebetulan anaknya ada yang seumuran dengan saya, sehingga kami
cepat akrab. Walhasil dalam beberapa hari saya sudah piawai mengaduk adonan
jenang. Sembari mengaduk, saya cicipi intip jenang yang gosong. Ternyata rasanya
lebih enak dibanding yang biasa dijual, lebih sensasional, ada aroma arangnya.
Segudang
pekerjaan lain juga saya lakoni, menyabit rumput buat pakan sapi, memarut
kelapa dan menggililing beras jadi tepung dengan mesin, menyusun peyek dan
tempe keripik dalam kaleng kerupuk dan begadang di ladang untuk menjaga mesin
pompa air yang tengah mengairi tanaman kacang panjang.
Namun
ada satu pekerjaan yang paling saya sukai, yaitu menghitung uang hasil jualan
di pasar.Kotak kayu berisi uang itu dibuka lantas isinya ditumpahkan ke atas
meja. Beragam pecahan uang ada di sana, mulai uang logam pecahan 25 rupiah
sampai uang kertas pecahan 10.00 rupiah. Saya lantas mengelompokkan uang itu
sesuai nominal pecahannya, menyusunya dengan pola yang sama dan mengikatnya dengan
benang jahit. Mbah Sakiyem bilang bahwa tuyul tak akan mampu mencuri uang yang
diikat dengan benang jahit. Di kotak uang itu juga terdapat kulit durian yang
sudah kering. Fungsinya sama, menangkal kejahatan tuyul.
Menginjak
tahun ke tiga, ketika saya naik ke kelas 3 SMP, dengan berat hati, rumah
pondokan ini saya tinggalkan. Bapak punya pertimbangan tersendiri. Dia tidak
mau anaknya tercemari kebiasaan jelek yang sedang merebak di kota kecil kami,
judi togel dan judi kartu Cina. Kebetulan rumah itu sering jadi ajang dua hal
itu. Jaman itu bahkan aparat kepolisian ikut bergabung dengan para penjudi itu,
tanpa ada rasa bersalah.
Dua
tahun yang sarat makna. Betapa saya dididik untuk mandiri dan harus bisa
mengubah kebiasaan di rumah.
Betapa
tidak, posisi saya sebagai anak sulung amat menguntungkan saya di keluarga
saya. Segala hal yang diprioritaskan adalah saya, mulai dari urusan pembagian
lauk sampai urusan baju lebaran. Dua tahun numpang di rumah mbah Sakiyem
membuat keistimewaan saya terampas. Kedudukan saya sama dengan saudara-saudara
lain yang numpang di situ. Saya hanya bisa kembali menikmati tahta saya di
akhir pekan, ketika saya mudik ke orang tua. Namun satu hal besar yang saya
dapat adalah bahwa hidup di rumah orang mampu mengubah sifat kolokan saya
selama ini.
Sabtu,
seminggu yang lalu...
Saya
sekeluarga pergi ke Bandung untuk satu tujuan, mencari tempat kost buat saya.
Perasaan saya amat melo saat itu. Ingatan saya kembali terbang ke Juni 1986,
ketika siang itu saya diantar bapak ke rumah Mbah Sakiyem. Sepanjang saya
perjalanan saya memilih diam, karena saya tahu apa yang akan saya hadapi di
Bandung. Kesendirian, kesunyian, keterserahan; tiga kata yang sejak menikah
saya tanggalkan karena hidup saya diurusi orang lain.
Ketika
akhirnya pada hari Selasa lalu saya benar-benar memulai perjalanan baru itu,
saya tak bisa segera tidur. Kamar sempit ini terasa kian menghimpit perasaan.
Dalam keremangan dan kesunyian saya menghela nafas panjang. Sejak saat ini saya
harus mengubah (lagi) banyak hal; mulai dari makan harus ke warung, bangun
tidur tak ada yang menyediakan teh anget, milih warna baju harus hati-hati biar
tidak salah warna, hingga hal sepele, tidur tidak memakai celana dalam agar
irit cucian.
Kampung
Makasar, 22 Februari 2014, 21.01 WIB
4 comments:
welkom aboard hehehehe...ijinkan aku tertawa untukmu bro
Sepertinya jiwa entrepeneur nya sudah ada.. tinggal dicoba tuh..
Hahaha.. Awakmu wis duluan melakukannya yaaa?
Weh... Jiwa enterprener yg mana mas?
Post a Comment