Friday, May 31, 2019

Tamu Terakhir


Mira beringsut ke depan cermin. Ia meraih gincu warna jambon cerah dari dalam rak kayu. Dengan cekatan, perempuan berambut sebahu itu memulas bibirnya. Ritual yang sudah ribuan kali ia jalani itu selesai dalam waktu yang tak terlalu lama. Kelar urusan bibir, Mira merapikan peralatan kecantikannya. Waktu yang tersisa untuknya tak akan lama.
Benar saja. Sebuah ketukan halus menyadarkan lamunannya. Mira memasang senyum sebelum membukakan pintu. Senyum yang seketika lenyap saat mengenali siapa pengetuknya.
“Masuk, Mas...” ujarnya lirih.
Yang disambut segera masuk. Pria itu, tanpa disuruh, duduk di tepi ranjang. Mira menghempaskan pantatnya di kursi tempat ia merias diri tadi. Hening. Yang terdengar hanya alunan musik lembut dari pelantang di langit-langit kamar. Suara musik itu berasal dari operator yang berada di lantai dua.
“Kamu sudah makan, Mir?” Pria berambut ikal itu membuka percakapan.
“Belum, Mas. Masih kenyang. Mas mau makan? Aku pesankan, ya?”
“Nggak usah, Mir. Aku sudah makan di rumah tadi.”
Sunyi kembali melingkupi kamar tak berapa besar ini. Kesunyian yang kian menghimpit batin saat operator memutar lagu Celine Dion berjudul “Seduces Me”. Mira tahu persis arti lagu itu. Ia mengalihkan gelungan yang melilit batinnya dengan mengelus kuku jarinya.
“Kenapa Njenengan masih ke sini, Mas?” Ini adalah pertanyaan yang Mira ajukan sejak tiga bulan lalu, setiap pria ini datang kepadanya. Sejak itu pula, Mira tak lagi melayani birahi pria ini. Uang yang disodorkan pria itu pun ia tampik. Meski demikian, tak semua pemberiannya berhasil ia tolak. “Kamu kan tetap harus setor ke majikanmu, Mir. Terimalah ini.” Kenyataan inilah yang meluluhkan pertahanan Mira.
“Ningrum sehat, Mas?’
“Sehat kok, Mir. Dia lagi belajar yoga. Berharap yoga bisa menyembuhkan punggungnya.”
“Kalian mudik lebaran ini?”
“Nggak, Mir. Ningrum belum bisa diajak bepergian jauh. Lagian di Giriwoyo sudah tidak ada siapa-siapa lagi.”
“Bukannya masih ada keluarga mas Tino dan mbak Ratih, Mas?”
“Ah, sejak bapak ibu wafat, aku jadi malas mudik, Mir. Nggak ada lagi yang bikin aku pengin mudik.”
Mira terdiam. Sudah lebih dari 10 tahun ia tidak pernah menengok kampung halamannya. Kampung yang sama dengan Ratno, pria yang kini sedang duduk di depannya.
Mira dan Ratno adalah kisah percintaan dua manusia yang harus pupus oleh kehendak orang tua. Jalinan mereka harus berakhir saat Ratno mesti menikahi Ningrum. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tapi hati Ratno tak mampu melupakan Mira. Pernikahannya dengan Ningrum hanyalah kemasan tanpa isi, demi menuruti kehendak orang tua. Kehendak yang didasari urusan utang-piutang.
Jika Ratno memilih berpura-pura mencintai istrinya, tidak demikian dengan Mira. Perempuan anak pedagang tempe itu memilih minggat dari kampung halamannya. Batinnya tak kuat menahan malu saat ditampik keluarga Ratno. Dendamnya kian menjadi saat ibunya merana melihat nasib anaknya. Janda renta itu tak lama kemudian mati.
Nasib membawa Mira ke tempat ini. Kampung Baru adalah komplek pelacuran kelas bawah di Palembang. Sepuluh tahun menjadi penghuni tempat ini, suatu hari Mira kaget bukan alang kepalang. Seorang pria menjadi tamunya malam itu. Ratno. Pria yang tak pernah pergi dari hatinya itu rupanya mencari Mira hingga ke pelosok negeri. Secuil informasi menuntunnya ke tempat ini. Kebetulan pula, Ratno sekarang berdiam di kota yang sama dengan Mira.
Sejak itulah kedua manusia itu seperti disatukan kembali. Meski demikian, mereka tak bisa berjumpa sesuka hati. Mira adalah perempuan dalam kungkungan seorang muncikari. Satu-satunya cara termudah bagi Ratno untuk menemui Mira adalah dengan menjadi tamunya.
“Mas...” Mira memecah kesunyian.
“Gimana, Mir?”
“Besok aku mau mudik, Mas. Mau nyekar makam ibu.”
Ratno terperanjat.
“Kamu? Mudik?”
“Iya, Mas. Dan aku nggak akan balik ke sini lagi.”
Wajah Ratno mendadak muram. Ini bukan kali pertama ia mendengar rencana Mira memungkasi kehidupannya di lembah hitam ini.
“Pria itu jadi menikahimu, Mir?”
“Iya, Mas. Kami akan menikah habis Lebaran nanti. Aku minta restu mas Ratno....” Mira tak mampu menahan genangan air matanya. Tangannya segera meraih selampai yang terletak di meja riasnya.
“Utangmu ke pengelola tempat ini sudah lunas?”
“Sudah, Mas. Sejak setahun lalu aku juga belajar bersedekah, Mas. Tentu tidak dari uang yang berasal dari tamu.”
Calon suami Mira memang tak hanya datang dengan pernyataan cinta. Duda tanpa anak itu juga membawakan wacana bahwa sumber rejeki tidak hanya dari tempat ini. Mira diajari berjualan online. Mula-mula ia bertindak sebagai drop shipper. Setelah menguasa teknik berjualan online dan punya modal yang cukup, Mira mulai berani menjadi reseller. Uang hasil berjualan inilah yang sebagian ia sumbangkan untuk anak-anak di sekitar komplek pelacuran Kampung Baru. Mira mengangkat beberapa anak asuh untuk ia biayai sekolahnya.
“Sepuluh tahun tinggal di tempat ini menyadarkan aku akan satu hal, Mas. Kami semua, termasuk anak-anak itu, hidup dalam lingkaran setan. Kami akan selamanya, bahkan mungkin mati di tempat ini. Kecuali kami punya niat kuat untuk beranjak. Alhamdulillah, kalau pun aku belum bisa tobat, aku berusaha membantu hidup orang lain lewat anak-anak itu.”
Suara Mira mulai parau. Sejatinya ia perempuan yang punya banyak kecakapan. Saat masih tinggal di Girowoyo, Mira rajin membantu mendiang ibunya berjualan tempe.
 “Malam ini saya ndak nerima tamu lagi, Mas...”
Ratno bergeming. Kenyataan yang ia hadapi ini seperti sebongkah batu yang harus ia panggul sejauh ratusan meter. Berat.
Ratno menggeser duduknya. Mendekat ke Mira. Meraih tangan perempuan yang amat dicintainya itu. Tak berhenti sampai di situ, tangan Ratno mulai merambah ke bagian lain tubuh Mira. Mira paham maksud pria ini. Dengan lembut ia menepis tangan Ratno.
“Mas, bantu aku keluar dari neraka ini. Aku tahu ini berat bagi mas Ratno. Tapi aku nggak mau selamanya di sini, Mas. Juga nggak mau selamanya jadi perusak rumah tangga kalian. Aku pengin mas Ratno jadi orang baik. Aku hanya bisa berharap janji Gusti Allah untuk memberi surga ke pelacur pemberi minum anjing itu nyata, Mas...”
Mendadak terdengar ketukan 3 kali di pintu kamar. Mira melirik jam yang tergantung di atas pintu. Jarumnya telah menunjukkan pukul 9 lewat 30. Ratno tahu apa arti ketukan itu. Tanpa berkata sepatah pun, ia melenggang keluar. Mira menatap punggung pria itu dengan sayu. Tamu terakhir itu telah pergi.

No comments: