Mira beringsut ke depan cermin. Ia meraih
gincu warna jambon cerah dari dalam rak kayu. Dengan cekatan, perempuan
berambut sebahu itu memulas bibirnya. Ritual yang sudah ribuan kali ia jalani
itu selesai dalam waktu yang tak terlalu lama. Kelar urusan bibir, Mira
merapikan peralatan kecantikannya. Waktu yang tersisa untuknya tak akan lama.
Benar saja. Sebuah ketukan halus menyadarkan
lamunannya. Mira memasang senyum sebelum membukakan pintu. Senyum yang seketika
lenyap saat mengenali siapa pengetuknya.
“Masuk, Mas...” ujarnya lirih.
Yang disambut segera masuk. Pria itu, tanpa
disuruh, duduk di tepi ranjang. Mira menghempaskan pantatnya di kursi tempat ia
merias diri tadi. Hening. Yang terdengar hanya alunan musik lembut dari
pelantang di langit-langit kamar. Suara musik itu berasal dari operator yang
berada di lantai dua.
“Kamu sudah makan, Mir?” Pria berambut ikal
itu membuka percakapan.
“Belum, Mas. Masih kenyang. Mas mau makan?
Aku pesankan, ya?”
“Nggak usah, Mir. Aku sudah makan di rumah
tadi.”
Sunyi kembali melingkupi kamar tak berapa
besar ini. Kesunyian yang kian menghimpit batin saat operator memutar lagu
Celine Dion berjudul “Seduces Me”. Mira tahu persis arti lagu itu. Ia
mengalihkan gelungan yang melilit batinnya dengan mengelus kuku jarinya.
“Kenapa Njenengan masih ke sini, Mas?” Ini
adalah pertanyaan yang Mira ajukan sejak tiga bulan lalu, setiap pria ini
datang kepadanya. Sejak itu pula, Mira tak lagi melayani birahi pria ini. Uang
yang disodorkan pria itu pun ia tampik. Meski demikian, tak semua pemberiannya
berhasil ia tolak. “Kamu kan tetap harus setor ke majikanmu, Mir. Terimalah
ini.” Kenyataan inilah yang meluluhkan pertahanan Mira.
“Ningrum sehat, Mas?’
“Sehat kok, Mir. Dia lagi belajar yoga.
Berharap yoga bisa menyembuhkan punggungnya.”
“Kalian mudik lebaran ini?”
“Nggak, Mir. Ningrum belum bisa diajak
bepergian jauh. Lagian di Giriwoyo sudah tidak ada siapa-siapa lagi.”
“Bukannya masih ada keluarga mas Tino dan
mbak Ratih, Mas?”
“Ah, sejak bapak ibu wafat, aku jadi malas mudik,
Mir. Nggak ada lagi yang bikin aku pengin mudik.”
Mira terdiam. Sudah lebih dari 10 tahun ia
tidak pernah menengok kampung halamannya. Kampung yang sama dengan Ratno, pria
yang kini sedang duduk di depannya.
Mira dan Ratno adalah kisah percintaan dua
manusia yang harus pupus oleh kehendak orang tua. Jalinan mereka harus berakhir
saat Ratno mesti menikahi Ningrum. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun,
tapi hati Ratno tak mampu melupakan Mira. Pernikahannya dengan Ningrum hanyalah
kemasan tanpa isi, demi menuruti kehendak orang tua. Kehendak yang didasari
urusan utang-piutang.
Jika Ratno memilih berpura-pura mencintai
istrinya, tidak demikian dengan Mira. Perempuan anak pedagang tempe itu memilih
minggat dari kampung halamannya. Batinnya tak kuat menahan malu saat ditampik
keluarga Ratno. Dendamnya kian menjadi saat ibunya merana melihat nasib
anaknya. Janda renta itu tak lama kemudian mati.
Nasib membawa Mira ke tempat ini. Kampung
Baru adalah komplek pelacuran kelas bawah di Palembang. Sepuluh tahun menjadi
penghuni tempat ini, suatu hari Mira kaget bukan alang kepalang. Seorang pria
menjadi tamunya malam itu. Ratno. Pria yang tak pernah pergi dari hatinya itu
rupanya mencari Mira hingga ke pelosok negeri. Secuil informasi menuntunnya ke
tempat ini. Kebetulan pula, Ratno sekarang berdiam di kota yang sama dengan
Mira.
Sejak itulah kedua manusia itu seperti
disatukan kembali. Meski demikian, mereka tak bisa berjumpa sesuka hati. Mira
adalah perempuan dalam kungkungan seorang muncikari. Satu-satunya cara termudah
bagi Ratno untuk menemui Mira adalah dengan menjadi tamunya.
“Mas...” Mira memecah kesunyian.
“Gimana, Mir?”
“Besok aku mau mudik, Mas. Mau nyekar makam ibu.”
Ratno terperanjat.
“Kamu? Mudik?”
“Iya, Mas. Dan aku nggak akan balik ke sini
lagi.”
Wajah Ratno mendadak muram. Ini bukan kali
pertama ia mendengar rencana Mira memungkasi kehidupannya di lembah hitam ini.
“Pria itu jadi menikahimu, Mir?”
“Iya, Mas. Kami akan menikah habis Lebaran
nanti. Aku minta restu mas Ratno....” Mira tak mampu menahan genangan air
matanya. Tangannya segera meraih selampai yang terletak di meja riasnya.
“Utangmu ke pengelola tempat ini sudah
lunas?”
“Sudah, Mas. Sejak setahun lalu aku juga
belajar bersedekah, Mas. Tentu tidak dari uang yang berasal dari tamu.”
Calon suami Mira memang tak hanya datang
dengan pernyataan cinta. Duda tanpa anak itu juga membawakan wacana bahwa
sumber rejeki tidak hanya dari tempat ini. Mira diajari berjualan online. Mula-mula ia bertindak sebagai drop shipper. Setelah menguasa teknik
berjualan online dan punya modal yang
cukup, Mira mulai berani menjadi reseller.
Uang hasil berjualan inilah yang sebagian ia sumbangkan untuk anak-anak di
sekitar komplek pelacuran Kampung Baru. Mira mengangkat beberapa anak asuh
untuk ia biayai sekolahnya.
“Sepuluh tahun tinggal di tempat ini
menyadarkan aku akan satu hal, Mas. Kami semua, termasuk anak-anak itu, hidup
dalam lingkaran setan. Kami akan selamanya, bahkan mungkin mati di tempat ini.
Kecuali kami punya niat kuat untuk beranjak. Alhamdulillah, kalau pun aku belum
bisa tobat, aku berusaha membantu hidup orang lain lewat anak-anak itu.”
Suara Mira mulai parau. Sejatinya ia
perempuan yang punya banyak kecakapan. Saat masih tinggal di Girowoyo, Mira
rajin membantu mendiang ibunya berjualan tempe.
“Malam
ini saya ndak nerima tamu lagi, Mas...”
Ratno bergeming. Kenyataan yang ia hadapi ini
seperti sebongkah batu yang harus ia panggul sejauh ratusan meter. Berat.
Ratno menggeser duduknya. Mendekat ke Mira.
Meraih tangan perempuan yang amat dicintainya itu. Tak berhenti sampai di situ,
tangan Ratno mulai merambah ke bagian lain tubuh Mira. Mira paham maksud pria
ini. Dengan lembut ia menepis tangan Ratno.
“Mas, bantu aku keluar dari neraka ini. Aku
tahu ini berat bagi mas Ratno. Tapi aku nggak mau selamanya di sini, Mas. Juga
nggak mau selamanya jadi perusak rumah tangga kalian. Aku pengin mas Ratno jadi
orang baik. Aku hanya bisa berharap janji Gusti Allah untuk memberi surga ke
pelacur pemberi minum anjing itu nyata, Mas...”
Mendadak terdengar ketukan 3 kali di pintu
kamar. Mira melirik jam yang tergantung di atas pintu. Jarumnya telah
menunjukkan pukul 9 lewat 30. Ratno tahu apa arti ketukan itu. Tanpa berkata
sepatah pun, ia melenggang keluar. Mira menatap punggung pria itu dengan sayu.
Tamu terakhir itu telah pergi.
No comments:
Post a Comment