Sunday, January 27, 2019

Puput


Di bilah papan inilah saya meninggalkan pesan
Demi melihat hamparan sawah di seberang penginapan, istri saya melonjak kegirangan. Lahir dan besar di perkotaan membuatnya jarang bersentuhan dengan petakan-petakan ini. Baginya sawah adalah hamparan titik pemotretan yang harus dieksplorasi. Sedangkan bagi saya, sawah hanyalah penggalan masa lalu. Tempat saya mencari belut, walang sangit, dan mengagumi penemuan mesin "erek" perontok gabah.

Maka jadilah sore kemarin kami berdua menapaki pematang sawah itu. Keperluannya sudah jelas, sesi pemotretan. Makin lama kami makin jauh ke tengah persawahan. Sebuah dangau menarik perhatian kami. 

Dari tempat kami berdiri tampak seorang wanita paruh baya sedang mengusir burung dengan cara unik. Dua orang gadis belia tampak membantunya. Mereka menarik-narik bentangan tali yang menuju ke beberapa jurusan di area persawahan ini. Di beberapa titik di lintasan tali itu terdapat kaleng-kaleng bekas. Kaleng itu akan berbunyi tatkala talinya ditarik. Bebunyian itulah yang akan mengusir ratusan burung pemangsa padi.

Ketika kami sampai di tempat itu, sebuah perapian sedang menyala. Seorang anak laki-laki menjaga nyala api yang bersumber dari potongan ranting. Di atas tungku kecil sebungkus mie instan sedang direbus. Aromanya amat menggugah selera.

"Assalamualaikum, Bu. Punten bade numpang poto."
"Wa alaikum salam. Mangga, Pak."
Nama wanita itu Iis. Ia bukan pemilik sawah ini. Suaminya adalah petani penggarap sebagian petakan sawah ini. Petakan-petakan inilah penopang utama kehidupan mereka. Sore itu teh Lilis menggantikan peran suaminya yang sedang kurang sehat.

Seyogyanya pak Pulung dan istrinya juga akan bergabung. Sayangnya mereka urungkan niat karena sang istri takut dengan ketinggian. Untuk mencapai tempat ini kami harus meniti jembatan bambu. Jembatan itu melintang di atas parit sedalam tiga meter.

Hari telah beranjak petang saat sesi pemotretan berakhir. Sebagai penutup, istri pengin berfoto dengan penghuni dangau ini. Mereka menolak, malu katanya.

"Ayo, Put... foto bareng nanti kami kenalin sama cowok-cowok ganteng," seloroh nyonya. Puput adalah nama salah satu gadis belia yang tadi kami sebut di atas. Gadis berparas hitam manis itu tambah tenggelam dalam rasa malunya. Bersama Sopi, teman sebayanya, ia berdiri menghadap dinding. Ya sudah, kami tak memaksanya.

"Puput ini anak yatim piatu, Pak," ujar teh Iis.
Kami terkesiap. Batin saya dirambati rasa iba. 
"Lalu dia ikut siapa, Bu?"
"Ikut bibinya, Pak."
"Kamu sekolah di mana, Nak?"
Puput hanya diam. Teh Iislah yang menjawab.
"Dia sudang nggak sekolah, Pak. Lulus SD 2 tahun lalu."

Kesunyian menyergap kami. Semilir angin senja tak mampu mendinginkan gejolak batin saya. Pikiran saya lantas terbang ke Al Fitroh, panti sosial yang mengurus pendidikan anak tak mampu di Bandung sana. 

"Kamu masih mau sekolah, Nak?"
Lagi-lagi Puput tak menjawab. Ia hanya berdiri dengan kikuk. Saya tahu diri. Tak pantas mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan interogatif. 

Saya beralih ke teh Iis. Perempuan ini akhirnya bercerita tentang Puput. Penyakit darah tinggilah yang menjadi lantaran kematian kedua orang tuanya. Puput 4 bersaudara. Kedua kakaknya telah menikah dan bekerja di kota yang berbeda. Kehidupan keduanya tampaknya juga terbatas. Mereka hanya sanggup sesekali mengirimi uang untuk membantu biaya hidup kedua adiknya. Teh Iis sendiri tinggal bertetangga dengan bibinya Puput.

"Bu, saya mau nanya. Apakah mereka layak dibantu?"
"Iya, layak, Pak. Saya teh suka kasihan. Untungnya Puput anaknya rajin. Sehari-hari kalau nggak ada kerjaan, mainnya ke sini, bantuin saya ngusir burung."
Jawaban itulah yang kami tunggu. 

Hari telah berangsur gelap saat kami pamitan. Kami berjanji akan kembali lagi besok pagi. Mereka berlima tak ada yang mempunyai nomor telepon. Puput juga tak hafal nomor telepon bibinya.

Pagi ini kawasan Megamendung diguyur hujan. Gerimis masih turun saat saya meniti pematang sawah. Setiba di dangau itu hanya ada teh Iis.
"Mana Puput, Bu?"
"Masih di rumah, Pak. Bantuin bibinya nyuci."
"Sudah ada nomor telepon yang bisa saya hubungi?"
"Belum, Pak. Saya kira Bapak pulangnya sore."

Saya dilanda kebingungan. Tak ada alat tulis yang bisa saya pakai untuk meninggalkan nomor telepon. Sekonyong-konyong pandangan saya tertumbuk pada pendiangan itu. Arang sisa pembakaran berserak di sana. Sebutir arang dan sebilah papan lantas menjadi alat tulis saya. Kepada teh Iis saya berpesan agar Puput mau mengirim pesan kepada nomor itu. Saya lantas pamitan.

Air hujan melumuri pematang sawah, membuatnya licin saat dipijak. Langkah saya tak selincah langkah serupa puluhan tahun silam. Beberapa kali saya nyaris terperosok. Sendal dan celana saya berlepotan. Tak apalah. Saya memang pulang tak membawa belut dan walang sangit pagi ini. Tapi kepulangan saya membawa harapan.



Bogor - Bandung, 27 Januari 2019.

No comments: