Cangkir Kosong
Sudah pukul satu malam ketika aku memasuki Jalan Kerja Bakti VII. Hujan kemarin sore
telah membuat kabut turun menggantung. Jalan itu tidak panjang, hanya sekitar dua
kilo meter. Sebelah kanannya didominasi perumahan penduduk, termasuk rumahku.
Sebelah kiri, sepanjang lima ratus meter adalah sungai Cipinang. Sungai inilah yang
membatasi kampung kami dengan Bandara Halim Perdana Kusuma. Tepiannya ditumbuhi pokok bambu dan kecapi. Masih
lumayan rimbun, sehingga kalau malam terkesan seram. Di antara penghuni sekitar sini beredar ceria
seram. Apalagi begitu masuk jalan tersebut kita akan disambut kuburan tua yg
sudah tidak aktif lagi. Kami menyebutnya Kuburan Kober. Kuburan ini sebenarnya
adalah pindahan dari kuburan yang dulunya terletak di ujung landasan Bandara
Halim Perdana Kusuma. Pada tahun 60-an, bandara diperluas sehingga kuburan
tersebut ikut digusur dan dipindahkan ke seberang sungai. Bekas kuburan
tersebut sekarang digunakan sebagai gedung pengatur air untuk kepentingan
bandara. Bangunannya menyendiri di pojokan, dekat dengan pagar kawat berduri.
Bangunan tersebut kalau malam gelap gulita karena memang di dalamnya tidak ada
penerangan sedikitpun. Penerangan sekelilingnya hanya berasal dari lampu
penerangan jalan, sehingga bangunan ini menjelma menjadi seonggok makluk
menyeramkan yang berdiri di tempat gelap dan sepi.
Konon di pinggir bandara Halim
Perdana Kusuma suka ada makhluk halus yang bergentayangan. Seringnya berwujud
seregu serdadu yang sedang jogging.
Beberapa kecelakaan juga pernah terjadi di sini, biasanya terjadi malam hari.
Menurut yang pernah kudengar dari korban kecelakaan, suatu malam dia bermotor
sendirian menuju keluar komplek Perumahan Angkatan Udara. Mendekati kawasan bangunan
tanki air tersebut mendadak dia melihat pohon rubuh yang merintangi jalannya.
Sebagai seorang tentara dia tidak percaya dengah tahayul, makanya dengan
percaya diri diterobosnya pohon rubuh tersebut, berharap bahwa itu hanya
fatamorgana. Tak dinyana dia jatuh terjerembab dari sepeda motornya. Sampai
saat dia bercerita dia masih merasakan sakit di pantatnya.
Sejenak setelah memasuki gerbang jalan Kerja Bakti VI hatiku ciut. Di
sebelah kananku adalah kuburan Kober dan sebelah kiriku adalah jurang tepian
kali yang tertutup pohon bambu. Tidak ada penerangan sama sekali, hanya sorot
lampu mobilku. Dingin, senyap, tanpa suara. Kaca jendela mobil sengaja
kuturunkan agar aku tidak merasa terkungkung dalam mobil minibus yang kebetulan
banyak digunakan sebagai ambulan. Syukurlah area kuburan itu tidak panjang,
hanya sekitar 100 meter. Warung bubur kacang ijo dan indomie di ujung kuburan
juga masih buka. Di depan warung, Jon, penjual nasi goreng keliling yang selalu
berpakaian rapi tampak terkantuk menonton sinetron tengah malam. Jalur
berikutnya sudah aman, karena sebelah kanan jalan adalah deretan rumah yang
tidak terputus bak gerbong kereta. Ah, aku baru ingat, ini adalah malam jumat. Pantaslah
ada kesenyapan yang tidak biasa.
Tempat parkirku tinggal seratus meter lagi. Selangkah ke depan adalah
warung almarhum Bang Nasun yang meninggal dua hari lalu. Biasanya jam segini dia
dengan bertelanjang dada masih asyik duduk menunggui warung kopinya. Dua hari
lalu, ketika pagi masih terasa, nyawanya tercabut dengan segera. Serangan
jantung telah mengakhiri jalan panjang kehidupannya. Sekarang pemandangan yang
tersisa adalah bangku kosong, tanpa tuan, tanpa deretan gelas dan cangkir kopi.
Bulu kudukku agak meremang.
Parkiran mobilku tadinya adalah tebing curam sungai Cipinang. Rumahku
sendiri terletak di dalam gang yang tidak bisa dilalui mobil. Kondisi inilah
yang memaksaku untuk memutar otak, membuat lahan parkir di tebing tersebut.
Dahulu hanya beberapa mobil yang parkir di situ. Sekarang sudah menjelama
menjadi lapangan parkir yang lumayan luas. Aneka mobil terparkir di situ, mulai
dari mobil penumpang sampai mobil jenazah milik ketua RW. Kebetulan posisi
parkir mobilku persis bersebelahan dengan mobil jenazah itu. Bang Nasun lah
penumpang terakhir mobil itu dua hari lalu. Beberapa orang bercerita kalau dari
dalam mobil jenazah tersebut suka terdengar bunyi-bunyian aneh dan biasanya
setelah itu akan ada yang meninggal dunia. Langkahku agak kupercepat
meninggalkan mobil yang buru-buru kukunci
Pagi ini kulewati lagi bangku kosong itu sembari berangkat bekerja. Aku
terkesiap, ada sebuah cangkir kosong di atas bangku bang Nasun.
No comments:
Post a Comment