Stempel Darah
Satu
dari beberapa Kisah Awal Meniti Karir di KPP Baturaja
Saatnya
santai nih, pikirku. Musim lapor SPT masa PPN berakhir kemarin. Yang tersisa
adalah tumpukan SPT berjumlah ribuan yang menunggu untuk disortir per jenis
usaha. Hari sudah beranjak siang, segelas kopi hitam yang kupesan dari kantin sebelah
ruanganku baru kuminum sedikit. Aku memang awet kalo ngopi. Segelas kopi bisa
sampai seharian.
SPT
sudah kususun di atas mejaku siap disortir ketika ucap salam terdengar.
Kebetulan posisi meja kerjaku paling dekat dengan pintu masuk ruangan Seksi PPN
n PTLL sehingga setiap tamu datang pasti melewatiku. Tadinya aku berpikir bahwa
yang barusan berucap salam bukan tamuku,
makanya aku cuek saja, tidak membalas salam. Suara bangku digeser ke depan mejaku menyadarkanku bahwa dia adalah
tamuku.
Dia
seorang wanita Tionghoa. Kulitnya kuning bersih, mulus. Matanya tidak terlalu
sipit, rambut hitam berkilau, sebahu. Wajahnya cantik, pipinya agak chubby, dan itu adalah jenis pipi yang
sangat kusukai. Pakaiannya rapi, agak minim, jadi kalau kita berdiri di
belakangnya niscaya bisa mengintip belahan dadanya.
"Ada
yang bisa saya bantu, mbak Sera?"
"Ini
pak Slamet, mau lapor SPT PPN. Maaf terlambat, soalnya semalem saya baru pulang
dari Jakarta", jawabnya sembari mengeluarkan lima berkas SPT.
Yap,
wanita ini memang pegawai sekaligus pemilik beberapa perusahaan kontraktor
sipil berbentuk CV. Segera saja kuterima SPT itu, kukeluarkan stempel kantor,
stempel nama ku, dan stempel tanggal.
Aku
hampir lupa, hari ini adalah tanggal 21, artinya batas waktu lapor SPT PPN
sudah berakhir kemarin. Segera kugeser angka 0 di belakang angka 2 di stempel
tersebut sehingga berbunyi 21 Juli 1997. Seluruh berkas SPT sudah
kutandatangani di kolom penerimaan, bersiap untuk kustempel tanggal ketika
sekonyong-konyong tamuku menyergah,
"Pak,
jangan ditanggalin hari ini dong. Tanggal kemarin saja, biar nggak
terlambat."
"Waduh,
nggak bisa mbak, hari ini kan memang sudah tanggal 21. Udahlah, berapa sih
dendanya? Nanti bayar aja, nggak banyak kok," sahutku sambil meletakkan kembali
stempel penanggalan.
Sejurus
kemudian aku bimbang di persimpangan pikiran. Kalaupun aku stempel tanggal
kemarin toh nggak ada pengaruhnya apa-apa, kebetulan SPT-nya juga nihil, alias
tidak ada setoran pajaknya. Lagian seluruh berkas SPT masih di mejaku, belum
aku oper ke petugas register.
"Udahlah
pak, saya biasanya sama petugas lain juga bisa kok. Nanti saya beliin rokok
deh..", cerocos Sera membuyarkan bimbangku.
Emosiku
menggelegak. Bimbangku sirna seketika.
"Mbak,
maaf...rokok saya masih banyak. Kalo mau minta stempel kemarin besok dateng
lagi ya. Tapi berhubung hari ini mbak datang ke saya, maka saya yang harus
nerima SPT ini," ujarku sambil dengan setengah menggebrak kububuhkan
stempel penanggalan di SPT itu, 21 Juli 1997.
No comments:
Post a Comment