Rumah besar inilah pemecut semangat mudik saya. Dua rumah limasan, satu rumah dapur, satu rumah kandang hanya dihuni oleh dua orang sosok renta, orang tua saya. Adik perempuan saya, satu-satunya saudara kandung yang tidak merantau, sudah misah dengan orang tua. Rumahnya memang hanya sejengkal dari rumah orang tuanya. Tapi tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang sudah (nekad) mandiri membuatnya tidak bisa lagi mengurus bapak ibu. Hanya sesekali saja dia menyambangi bapak ibu.
Pukul 04.00 WIB
akhirnya saya sekeluarga sampai di rumah pusaka ini. Wajah ceria bapak ibu dan
adik menyambut kami. Segelas teh manis lantas terhidang sempurna. Saya bahkan
masih sempat sahur dengan lauk tempe goreng. Kelar sholat subuh badan saya
tidak bisa diajak kompromi. Capek dan ngantuk melanda. Ibu saya sangat
pengertian dengan karakter saya yang satu ini. Digelarnya segera kasur kapuk
tipis di tengah rumah nan besar ini. Saya segera terbang ke alam mimpi.
Pukul 13.00 WIB
saya baru terbangun. Sorot matahari yang menembus genteng rumahlah yang
membuatnya. Saya bergegas mandi. Anak istri saya sedang ngriung di bawah pohon
cengkeh samping rumah. Sholat dhuhur saya tunaikan di sebuah mushola kecil di
pojokan rumah. Sebetulnya itu adalah sebuah bilik yang dulunya tempat menyimpan
beras. Setelah bapak ibu mendapat hidayah, bilik itu lantainya disemen dan
dijadikan mushola. Karena tempatnya terpencil, mushola ini agak kusam tak
terawat. Saya maklum adanya, apalagi sekarang di depan rumah telah berdiri
dengan megah sebuah mushola mungil hasil sumbangan Lembaga Swadaya Masyarakat
dari Timur Tengah. Tanahnya adalah tanah wakaf dari bapak saya.
Selesai sholat Dhuhur saya melihat-lihat kamar tengah di belakang mushola kecil ini. Orang Jawa memang selalu punya "senthong" atau kamar tengah. Jaman dulu kamar ini dipakai untuk menaruh hasil panenan bahkan benda pusaka. Saya masih ingat, waktu kecil saya tidak berani tidur sendirian di kamar tengah ini karena kesannya memang agak menyeramkan. Sekarang kamar ini hanyalah sebuah kamar biasa, bahkan oleh bapak dijadikan gudang perkakas. Ada banyak barang tergeletak di sana, mulai dari cangkul, sabit, pestisida, jerigen kosong, bahkan setumpuk berkas tidak jelas. Saya coba bolak-balik setumpuk berkas kusam itu. Saya tidak bisa melihat jelas karena suasananya amat remang-remang. Saya putuskan menuntaskan penasaran saya dengan mengangkat berkas itu keluar kamar, ke halaman samping dapur.
Selesai sholat Dhuhur saya melihat-lihat kamar tengah di belakang mushola kecil ini. Orang Jawa memang selalu punya "senthong" atau kamar tengah. Jaman dulu kamar ini dipakai untuk menaruh hasil panenan bahkan benda pusaka. Saya masih ingat, waktu kecil saya tidak berani tidur sendirian di kamar tengah ini karena kesannya memang agak menyeramkan. Sekarang kamar ini hanyalah sebuah kamar biasa, bahkan oleh bapak dijadikan gudang perkakas. Ada banyak barang tergeletak di sana, mulai dari cangkul, sabit, pestisida, jerigen kosong, bahkan setumpuk berkas tidak jelas. Saya coba bolak-balik setumpuk berkas kusam itu. Saya tidak bisa melihat jelas karena suasananya amat remang-remang. Saya putuskan menuntaskan penasaran saya dengan mengangkat berkas itu keluar kamar, ke halaman samping dapur.
Di tempat
terang barulah saya bisa melihat dengan jelas tumpukan berkas tersebut. Isinya
bermacam-macam. Buku diktat adik saya, Bowo. Brosur-brosur lembaga pendidikan,
brosur produk, dan sebagainya. Saya agak terkejut ketika tangan saya menggapai
bagian bawah tumpukan tersebut. Sebuah bundle kertas ukuran buku tulis terselip
di sana. Bundle itu berupa beberapa puluh lembar kertas yang sudah sangat kusam
dimakan waktu. Kertas-kertas itu dijepit dengan sebuah besi penjepit warna
hijau. Saya amat kenal dengan bundle itu. Dan benar..... Itu adalah sekumpulan
hasil ulangan harian dan tes-tes triwulanan ketika saya masih sekolah SMP.
Bapak dulu memang mengharuskan saya melaporkan hasil ulangan saya dan beliau
membundlenya.
Saya cepat-cepat menarik bundle itu keluar. Saya mulai membuka satu persatu. Paling atas adalah hasil ulangan harian mata pelajaran IPA. Tertera nilai 7 di sana. Berikutnya Matematika, 6,5; kemudian Bahasa Indonesia, nah yang ini agak besar, 8. Perlu beberapa menit untuk membolak-balik bundle itu. Selain melihat-lihat nilainya, saya juga penasaran, dahulu ulangan SMP itu seperti apa sih? Apa beda dengan model ulangan SMP jaman sekarang? Ternyata memang berbeda. Saya lihat tingkat kesulitan soalnya jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan soal-soal ulangan anak saya yang pertama. Saya lantas merenung, ternyata saya ini tidak pintar-pintar amat yaaaa..... Saya jadi malu sendiri...
Saya cepat-cepat menarik bundle itu keluar. Saya mulai membuka satu persatu. Paling atas adalah hasil ulangan harian mata pelajaran IPA. Tertera nilai 7 di sana. Berikutnya Matematika, 6,5; kemudian Bahasa Indonesia, nah yang ini agak besar, 8. Perlu beberapa menit untuk membolak-balik bundle itu. Selain melihat-lihat nilainya, saya juga penasaran, dahulu ulangan SMP itu seperti apa sih? Apa beda dengan model ulangan SMP jaman sekarang? Ternyata memang berbeda. Saya lihat tingkat kesulitan soalnya jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan soal-soal ulangan anak saya yang pertama. Saya lantas merenung, ternyata saya ini tidak pintar-pintar amat yaaaa..... Saya jadi malu sendiri...
Pagi itu, awal
Juni 2010, hari Senin. Saya diribetkan dengan hal yang menurut saya
menjengkelkan. Abiyyu, anak pertama saya, hari ini memulai harinya di SMPN 275
Jakarta. Pagi-pagi istri saya sudah gaduh dengan seabrek kegiatan menyiapkan
segala sesuatunya. Saya dalam hati menggerutu, apa iya harus seheboh ini?
Kekesalan hati saya kian memuncak ketika saya masih mandi tiba-tiba pintu
digedor olehnya.
"Pak,
cepetan mandinya. Biyyu minta pasangin dasi."
"Lah...masak
pasang dasi aja harus bapak, siiih?!"
Rupanya inilah
masalahnya. Saya pikir dasi anak SMP itu seperti dasi saya dahulu. Berupa kain
lurus sepanjang 40 cm yang dipakai dengan cara melilitkan di leher kemudian
tinggal mengancingkan kedua ujungnya sehingga berbentuk menyilang. Rupanya dasi
anak SMP sekarang berbeda. Dasi itu berbentuk dasi orang dewasa. Warnanya sih
sama saja, biru tua. Tapi cara memakainya memang butuh keahlian khusus. Nah,
istri saya termasuk yang tidak bisa.
"Nah kak, bapak kasih waktu 3 hari untuk latihan makai dasi ini ya. Setelah itu bapak nggak mau tahu, bisa nggak bisa kakak harus makai sendiri, bapak nggak akan mbantu kakak lagi," demikian ujar saya sembari memakaikan dasi itu ke Abiyyu.
Rupanya
perkataan saya manjur adanya. Hari Kamis berikutnya Abiyyu sudah tidak
memerlukan bantuan saya untuk memakai dasi itu.
Kini perjalanan
tiga tahun itu menemukan ujungnya. Besok adalah hari pengumuman kelulusan anak
saya, Abiyyu. Sosoknya kini telah menjelma menjadi pria beranjak dewasa. Kumis
tipis mulai tampak di sana. Tak lupa jerawat mulai memenuhi jidatnya. Ah, yang
terakhir itu sama sekali tidak membuatku kawatir.
Selamat nak,
mari kita tunggu hasilnya. Bapak tidak pernah menuntutmu menjadi anak pintar
dengan prestasi akademik selangit. Bapak lebih berharap kamu jadi pria dewasa
yang bisa memikul tanggung jawab, seperti telah berhasil kamu lakukan dengan
dasi itu.
Kampung Makasar, 30 Mei 2013, 19:49:19 WIB.
Kampung Makasar, 30 Mei 2013, 19:49:19 WIB.
Ancol 2011 |
Abiyyu kelas 2 Sekolah Dasar |
Abiyyu dan Abyan, perjalanan mudik 2005 |
Abiyyu mengusung pelepah kelapa di rumah kakeknya, 2009 |
Bermain dan njailin adiknya, 2010 |
No comments:
Post a Comment