Thursday, May 30, 2013

Dasi






Mudik lebaran, sesuatu yang belakangan amat menyiksa karena waktu tempuh yang kian memanjang. Saya masih ingat Jarak 772 kilometer dari Jakarta ke desaku di pelosok Wonogiri pada awal dekade 2000an bisa saya tempuh dalam waktu 15 jam. Tetapi tidak demikian halnya yang terjadi dua tahun lalu, tahun 2011. Total perjalanan saya memakan waktu 32 jam, nyaris dua kali lipat.  Tak apalah, demi sebuah ritual suci, semua saya jalani dengan lapang hati.
Rumah besar inilah pemecut semangat mudik saya. Dua rumah limasan, satu rumah dapur, satu rumah kandang hanya dihuni oleh dua orang sosok renta, orang tua saya. Adik perempuan saya, satu-satunya saudara kandung yang tidak merantau, sudah misah dengan orang tua. Rumahnya memang hanya sejengkal dari rumah orang tuanya. Tapi tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang sudah (nekad) mandiri membuatnya tidak bisa lagi mengurus bapak ibu. Hanya sesekali saja dia menyambangi bapak ibu.
Pukul 04.00 WIB akhirnya saya sekeluarga sampai di rumah pusaka ini. Wajah ceria bapak ibu dan adik menyambut kami. Segelas teh manis lantas terhidang sempurna. Saya bahkan masih sempat sahur dengan lauk tempe goreng. Kelar sholat subuh badan saya tidak bisa diajak kompromi. Capek dan ngantuk melanda. Ibu saya sangat pengertian dengan karakter saya yang satu ini. Digelarnya segera kasur kapuk tipis di tengah rumah nan besar ini. Saya segera terbang ke alam mimpi.
Pukul 13.00 WIB saya baru terbangun. Sorot matahari yang menembus genteng rumahlah yang membuatnya. Saya bergegas mandi. Anak istri saya sedang ngriung di bawah pohon cengkeh samping rumah. Sholat dhuhur saya tunaikan di sebuah mushola kecil di pojokan rumah. Sebetulnya itu adalah sebuah bilik yang dulunya tempat menyimpan beras. Setelah bapak ibu mendapat hidayah, bilik itu lantainya disemen dan dijadikan mushola. Karena tempatnya terpencil, mushola ini agak kusam tak terawat. Saya maklum adanya, apalagi sekarang di depan rumah telah berdiri dengan megah sebuah mushola mungil hasil sumbangan Lembaga Swadaya Masyarakat dari Timur Tengah. Tanahnya adalah tanah wakaf dari bapak saya.
Selesai sholat Dhuhur saya melihat-lihat kamar tengah di belakang mushola kecil ini. Orang Jawa memang selalu punya "senthong" atau kamar tengah. Jaman dulu kamar ini dipakai untuk menaruh hasil panenan bahkan benda pusaka. Saya masih ingat, waktu kecil saya tidak berani tidur sendirian di kamar tengah ini karena kesannya memang agak menyeramkan. Sekarang kamar ini hanyalah sebuah kamar biasa, bahkan oleh bapak dijadikan gudang perkakas. Ada banyak barang tergeletak di sana, mulai dari cangkul, sabit, pestisida, jerigen kosong, bahkan setumpuk berkas tidak jelas. Saya coba bolak-balik setumpuk berkas kusam itu. Saya tidak bisa melihat jelas karena suasananya amat remang-remang. Saya putuskan menuntaskan penasaran saya dengan mengangkat berkas itu keluar kamar, ke halaman samping dapur.
Di tempat terang barulah saya bisa melihat dengan jelas tumpukan berkas tersebut. Isinya bermacam-macam. Buku diktat adik saya, Bowo. Brosur-brosur lembaga pendidikan, brosur produk, dan sebagainya. Saya agak terkejut ketika tangan saya menggapai bagian bawah tumpukan tersebut. Sebuah bundle kertas ukuran buku tulis terselip di sana. Bundle itu berupa beberapa puluh lembar kertas yang sudah sangat kusam dimakan waktu. Kertas-kertas itu dijepit dengan sebuah besi penjepit warna hijau. Saya amat kenal dengan bundle itu. Dan benar..... Itu adalah sekumpulan hasil ulangan harian dan tes-tes triwulanan ketika saya masih sekolah SMP. Bapak dulu memang mengharuskan saya melaporkan hasil ulangan saya dan beliau membundlenya.
Saya cepat-cepat menarik bundle itu keluar. Saya mulai membuka satu persatu. Paling atas adalah hasil ulangan harian mata pelajaran IPA. Tertera nilai 7 di sana. Berikutnya Matematika, 6,5; kemudian Bahasa Indonesia, nah yang ini agak besar, 8. Perlu beberapa menit untuk membolak-balik bundle itu. Selain melihat-lihat nilainya, saya juga penasaran, dahulu ulangan SMP itu seperti apa sih? Apa beda dengan model ulangan SMP jaman sekarang? Ternyata memang berbeda. Saya lihat tingkat kesulitan soalnya jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan soal-soal ulangan anak saya yang pertama. Saya lantas merenung, ternyata saya ini tidak pintar-pintar amat yaaaa..... Saya jadi malu sendiri...
Pagi itu, awal Juni 2010, hari Senin. Saya diribetkan dengan hal yang menurut saya menjengkelkan. Abiyyu, anak pertama saya, hari ini memulai harinya di SMPN 275 Jakarta. Pagi-pagi istri saya sudah gaduh dengan seabrek kegiatan menyiapkan segala sesuatunya. Saya dalam hati menggerutu, apa iya harus seheboh ini? Kekesalan hati saya kian memuncak ketika saya masih mandi tiba-tiba pintu digedor olehnya.
"Pak, cepetan mandinya. Biyyu minta pasangin dasi."
"Lah...masak pasang dasi aja harus bapak, siiih?!"
Rupanya inilah masalahnya. Saya pikir dasi anak SMP itu seperti dasi saya dahulu. Berupa kain lurus sepanjang 40 cm yang dipakai dengan cara melilitkan di leher kemudian tinggal mengancingkan kedua ujungnya sehingga berbentuk menyilang. Rupanya dasi anak SMP sekarang berbeda. Dasi itu berbentuk dasi orang dewasa. Warnanya sih sama saja, biru tua. Tapi cara memakainya memang butuh keahlian khusus. Nah, istri saya termasuk yang tidak bisa.

"Nah kak, bapak kasih waktu 3 hari untuk latihan makai dasi ini ya. Setelah itu bapak nggak mau tahu, bisa nggak bisa kakak harus makai sendiri, bapak nggak akan mbantu kakak lagi," demikian ujar saya sembari memakaikan dasi itu ke Abiyyu.
Rupanya perkataan saya manjur adanya. Hari Kamis berikutnya Abiyyu sudah tidak memerlukan bantuan saya untuk memakai dasi itu.
Kini perjalanan tiga tahun itu menemukan ujungnya. Besok adalah hari pengumuman kelulusan anak saya, Abiyyu. Sosoknya kini telah menjelma menjadi pria beranjak dewasa. Kumis tipis mulai tampak di sana. Tak lupa jerawat mulai memenuhi jidatnya. Ah, yang terakhir itu sama sekali tidak membuatku kawatir.
Selamat nak, mari kita tunggu hasilnya. Bapak tidak pernah menuntutmu menjadi anak pintar dengan prestasi akademik selangit. Bapak lebih berharap kamu jadi pria dewasa yang bisa memikul tanggung jawab, seperti telah berhasil kamu lakukan dengan dasi itu.

Kampung Makasar, 30 Mei 2013, 19:49:19 WIB.
Ancol 2011

Abiyyu kelas 2 Sekolah Dasar

Abiyyu dan Abyan, perjalanan mudik 2005

Abiyyu mengusung pelepah kelapa di rumah kakeknya, 2009
Bermain dan njailin adiknya, 2010

No comments: