Friday, May 31, 2013

Dirjenku juga Sombong



Dirjenku juga Sombong

Penugasan itu (selalu) datang mendadak. Hari sudah petang ketika aku mendapat secuil kabar dari ajudan, besok sore Dirjen akan berkunjung ke Kanwil DJP Bali berlanjut ke Kanwil DJP Nusa Tenggara. Aku rada panik meski ini bukan penugasan pertama meliput kegiatan dia. Yang membuatku panik adalah jadwal perjalanannya. Menginap semalam di Bali lantas terbang besok sorenya ke Lombok dengan Merpati Airlines dan pulang esok lusa dari Lombok dengan Lion Air.
Tiket Jakarta Bali tidak terlalu menyulitkan, karena banyak alternatif penerbangan. Yang memusingkan adalah tiket penerbangan Bali Lombok. Tidak banyak penerbangan, itupun menggunakan pesawat kecil, MA-60 yang beberapa bulan sebelumnya nyemplung di Kaimana, Papua. Meski ini juga bukan kali pertama terbang dengan pesawat kecil, ingatan akan kecelakaan itu terus terang membuatku grogi.
Segera kuakses internet mencari info penerbangan ke Lombok. Benar saja, tidak ada fasilitas pemesanan tiket on line utk perusahaan penerbangan itu. Harapanku tinggal satu, memesan langsung ke agen perjalanan esok hari, karena jam segini sudah tutup. Aku heran, kenapa perjalanan dinas Dirjen ini selalu mendadak. Aku yakin sekelas dia jadwal sudah tersusun rapi jauh hari sebelumnya. Aku juga heran, sepasaran apa wajahku ini sehingga aku tidak pernah disapanya meski sudah berpuluh kali menyertainya. Bahkan sesekali aku juga membawakan tentengannya manakala ajudan sedang kerepotan. Ah, mungkin dia sedang memikirkan hal-hal besar di negeri ini. Tentang pencapaian target penerimaan, tentang DJP yang terseret pusaran politik kekuasaan, tentang pegawainya yang bandel-bandel, dan banyak lagi. Jadi wajar saja mukaku terlewat oleh tegur sapanya.
Syukurlah nasib baik sedang berpihak denganku. Masih ada sisa dua kursi di penerbangan Bali-Lombok. Segera kupesan dan kubayar tiket itu, dengan uang sendiri. Seharusnya aku tidak perlu keluar uang sendiri untuk membeli tiket, karena ada SPPD, tetapi prakteknya hal itu susah dilakukan. Pencairan uang SPPD adalah soal waktu, artinya waktunya tidak bisa dipastikan, sementara tiket harus dibayar tunai. Jadilah aku menalanginya terlebih dahulu.
Pesawat MA-60 (aku sering membacanya dengan MAGO) sudah menunggu di apron sore itu. Kami beriringan bahkan sempat berfoto sebelum menaikinya. Pintu masuknya hanya ada satu, di bagian belakang dekat ekor. Kabinya sempit, demikian juga kompartemen bawaan tangan. Jadi jangan pernah membawa tas travel berukuran besar ke dalam kabin, karena pasti tidak akan muat dan merepotkan. Aku kembali berdesir ketika baling-baling pesawat mulai berputar, tanda sebentar lagi kami akan mengangkasa. Kebetulan tempat dudukku berada di bagian belakang sayap sehingga bisa melhat dengan jelas posisi baling-baling. Aku hanya berdoa semoga baling-baling itu tidak ngambek di atas sana...
Saat tinggal landas pun tiba. Aku merasa mesin pesawat ini terseok-seok menggendong badan pesawat seisinya. Suaranya bak hembusan nafas yang tersengal-sengal ketika air borne. Pesawat segera menikung ke kanan, melewati pantai Benoa. Sekumpulan awan putih tebal menyergap kami, membuat pesawat berguncang-guncang hebat. Degup jantungku berpacu kencang. Ya Tuhan, kuserahkan jiwa ragaku.... Untunglah itu tidak berlangsung lama. Kami segera lepas dari sergapan awan putih itu. Ku lihat Alpha, teman seperjalananku sesama awak Humas juga menarik nafas lega. Kami terbang tipis di atas kumpulan awan, selat Lombok tak kelihatan, sehingga kami seolah terbang amat rendah. Hanya perlu waktu 1 jam untuk menempuh perjalanan ini. Saat mendaratpun tiba. Syukurlah kami mendarat dengan sempurna.
Selamat datang di bandara Bandara Internasional Praya.
Kami disambut pejabat sana. Satu minibus berukuran sedang telah menunggu kami untuk melanjutkan perjalanan ke kota Mataram. Jarak bandara ke kota Mataram memang jauh, sekitar 30 kilometer. Aku duduk di bangku kondektur, menenteng kamera dan sesekali menjepret Dirjen dan beberapa pejabat. Tidak ada reaksi apa-apa darinya, bahkan meski sekedar seutas sapa. Ah, sombong sekali bapak ini, pikirku.. Sembari duduk, aku menguping pembicaraan mereka. Mereka sedang ngobrol ringan tentang Diklat Bela Negara yang sedang berlangsung di Mako Paspampres Group C, Bogor.
"Met, kamu sudah meliput teman-teman yang sedang diklat?" tanya dirjen tiba-tiba.
"Siap Pak, belum. Sepulang dari sini saya liput, Pak, " jawabku tergagap.
"Iya, liput sana. Ajak anak buahmu si Arief."
"Baik, Pak"
Itulah sapa pertama setelah sekian puluh kali aku menyertai perjalanannya. Aku kaget, ternyata dia cukup mengenaliku, bahkan menyebut namaku dengan fasih.
Malam ke dua di Lombok. Kami menginap di hotel yang sunyi, jauh dari peradaban. Celaka, perutku lapar tak terkira, sementara tidak ada mini market atau warung tempat aku bisa membeli camilan. Jadilah aku tersiksa. Aku hanya bisa merenungi nasib ini berdua dengan Alpha. Aku nongkrong di bawah pohon kelapa di depan hotel megah tapi tidak manusiawi ini, sementara Alpha berdiam di kamar. Sebetulnya bisa saja aku memesan makanan ke resto hotel, tapi melihat harganya di buku menu, aku memilih menahan lapar. Nasiiib... Tiba-tiba Widi, ajudan Dirjen mendatangiku. Rupanya dia habis dari kamar Dirjen. Tangannya menenteng kantong plastik Ah, apa pula kerjaan dirjen malam-malam begini sehingga masih butuh ajudan.
"Mas Slamet, dapet titipan es krim dari bapak, nih. Buat mas Slamet dan anak buah, Alpha."
Hahaha... Aku tergelak... Di balik rasa bangga dan bahagia karena mendapat kehormatan dan secuil perhatian, aku cemas. Jangan-jangan dirjenku mengira aku sudah menjabat Kepala Seksi...
Nasiiib.....

*Kampung Makasar, 18 Mei 2013, 23:04:17

1 comment:

arifkancil said...

kenalan e wong markotop kabeh,
pengalaman e asik2 mas e...
lanjutkan cyinn..