Sore
itu tadinya amat menyenangkan. Saya, kang Saidi, Mukalim, Yoto dan beberapa
teman lain sedang berkumpul di rumah Yoto. Kami sedang berbincang ringan
sepulang mencari rumput untuk pakan sapi dan kambing. Di tangan kami
masing-masing tergenggam sebilah sabit yang biasa kami pakai untuk membabat
rumput liar. Juga sebatang potongan pohon bambu. Di depan kami berderet lem
kertas, kertas sampul, benang jahit dan tambang plastik. Kami sedang membuat
layang-layang.
Sekarang
memang sedang musim angin. Permainan kami bergeser dari mancing ke
layang-layang. Saya perhatikan dalam satu tahun kami bisa memainkan
bermacam-macam jenis permainan, tergantung musim. Jika sedang musim hujan, kami
memilih main air, berenang di cerukan sungai yang kedalamannya sekitar 1,5
meter. Cukup untuk menenggelamkan saya. Kami memakai gedebog pisang sebagai
pelampung. Ketika habis lebaran kami biasanya main wayang kulit dan petasan.
Wayang kulit dari kertas kardus itu kami beli di pasar desa kami. Masing-masing
anak membeli satu tokoh wayang sehingga terkumpullah beberapa tokoh wayang.
Maka tak lama kemudian kami bergiliran menjadi dalang. Di lain waktu kami main
gobak sodor. Permaianan ini konon warisan kompeni. Kami suka bermain gobak sodor
di lapangan bulu tangkis depan rumah saya. Permainan yang tak kalah serunya
tentu saja umbul. Permainan ini mengadu keberuntungan dengan melempar kartu
bergambar tokoh wayang. Tak ketinggalan petak umpet adalah permainan wajib di
waktu yang lain. Saya pernah hampir menangis ketika saya dapet tugas jaga
"ce" (tempat berkumpul). Sampai menjelang magrib tak satupun lawan
saya temukan. Rupanya mereka ngerjain saya. Mereka sembunyi dengan pulang ke
rumah masing-masing dan tak kembali ke "ce'.
Demikianlah
sore itu. Kang Saidi sudah berhasil menyelesaikan layang-layangnya. Demikian
juga dengan yang lain. Tinggallah saya seorang yang ketinggalan. Saya masih
asyik mengikat rangka layang-layang. Saya memang paling tidak pandai
mengerjakan hal-hal yang berbau kerajinan tangan. Bagi saya ini adalah sebuah
pekerjaan sulit.
Sedang
asyik-asyiknya kami menyelesaikan layang-layang kami, mendadak terdengar suara
nenekku.
"Anto,
pulang!"
"Yah,
Mbah.... Kan belum surup (senja)."
"Wis
pokoke pulang. Saidi juga pulang."
"Nanti
ah, Mbah!"
"Weeee....
Kok ngeyel to. Ada culik!!!."
Kami
tertegun. Culik adalah kata yang amat menyeramkan bagi kami. Culik adalah
sebutan bagi orang jahat yang suka menculik anak kecil. Konon katanya setelah
diculik, mata kita akan dicongkelnya. Culik suka berkeliaran di tempat-tempat
sepi. Gerakannya amat cepat sehingga sampai sekarang para tetua kami tak
berhasil menangkapnya. Kami serentak bubar. Saya minta tolong kang Saidi untuk
menyelesaikan rangka layang-layang saya. Kakak sepupu saya ini memang amat baik
hati. Meski umurnya lebih muda daripada saya, saya memanggilnya dengan sebutan
kang. Dia anak pakde saya, kakak ibu saya.
"Besok
sore kita terusin lagi ya," ujarku ke teman-teman sembari kami bubar.
Di
rumah ibu sudah menunggu dengan cemas. Ibu sedang menggendong adik saya yang
paling kecil, Indarto. Dia baru berumur setahun. Adik saya yang lain, Bowo dan
Titik sedang menyantap makan sore mereka, nasi thiwul lauk tempe mentah dan
sambel bawang.
"Laper
nggak, le? Itu makan sama adikmu."
"Iya,
bu..."
"Mau
digorengin telur, To?"
"Nggak
usah, Mbah. Pake tempe sama sambel wae."
Begitulah
nenek dari ibuku ini memperlakukanku. Di saat cucu yang lain cuma makan sama
tempe mentah dan sambel bawang, saya selalu ditawarin lauk yang lebih enak.
Kesendirian saya sebagai anak sulung selama empat tahun telah membuat saya jadi
cucu kesayangannya.
Saya
lantas bergabung dengan dua adik saya. Makan nasi thiwul lauk tempe mentah dan
sambal bawang di sore hari memang amat nikmat. Kadang-kadang sambalnya kami
kasih walang sangit. Walang sangit adalah salah satu jenis belalang yang
habitatnya adalah padi yang mulai berbiji. Ukuran tubuhnya 5 kali ukuran tubuh
nyamuk, tak begitu besar. Aromanya amat tajam dan khas. Ketika disambal,
serangga ini menjelma menjadi perangsang nafsu makan yang luar biasa.
"Habis
makan jangan main keluar lagi yo, le."
"Iya
bu."
"Culik
lagi gentayangan."
Pagi
itu saya berangkat sekolah dengan perasaan yang amat takut. Sekolah saya memang
rada jauh, 4 kilometer dari rumah. Baru 4 bulan saya pindah ke sekolah ini.
Kata bapak, sekolah peninggalan Belanda ini mutunya lebih bagus daripada
sekolah lama saya yang jaraknya hanya 300 meter dari rumah. Lokasinya pun sudah
berada di desa tetangga. Saya harus menyeberangi sungai, melewati bulak
(kawasan yang tak ada rumahnya), bahkan melewati batu besar yang konon kalau
malam banyak hantunya. Sejujurnya saya tidak terlalu suka menjalani ini. Saya
satu-satunya anak dari desa ini yang bersekolah di sana.
Sungai
itu sudah di depan mata. Airnya dangkal saja, karena sedang musim kemarau. Saya
surut langkah. Di seberang sungai jalannya menanjak dan berupa bulak. Di
sebelah kiri adalah sawah luas, sementara sebelah kanannya berupa tebing yang
berbatasan langsung dengan bukit Tenggar. Orang-orang bilang di situlah culik
itu bersembunyi.
"Le....
Anto.....!!!"
Sebuah
suara memanggilku dari seberang sungai. Saya amat kenal dengan pemilik suara
itu, wo Kami. Anaknya sekelas dengan saya, namanya kang Wiyadi.
"Inggih,
Wo..."
"Cepet
nyebrangnya, wo Kami tunggu di sini."
Rupanya
dia paham dengan ketakutan saya. Saya pun segera menyeberangi sungai itu.
"Sana,
samperin kakangmu Wiyadi. Dia masih di rumah. Berangkat ke sekolah bareng wae
yooo... Nanti ada culik."
"Inggih,
Wo."
Saya
bergegas melangkah meninggalkan wo Kami yang sedang menuju sungai untuk
mengambil air. Keluarga ini memang sudah seperti keluarag saya sendiri. Bapak
dan ibu wanti-wanti, kalau pulang kehujanan dan saya tidak bisa menyeberang
sungai karena banjir, saya disuruh mampir ke rumah wo Kami. Benar saja, suatu
hari sepulang sekolah hujan turun dengan lebat. Sungai kecil itu berubah
menjadi lautan air yang tidak mungkin saya seberangi. Saya akhirnya mampir ke
rumah wo Kami. Dengan penuh perhatian dia menyiapkan makan siang buat saya dan
kang Wiyadi.
Pulang
sekolah siang itu saya minta diantar kang Wiyadi sampai pinggir sungai. Kang
Wiyadi memang orangnya pemberani. Badannya juga lebih besar dibanding saya.
Tulangnya keras banget. Kalau sedang main bola dia amat berani beradu tulang
kering dengan lawannya.
Sesampai
di rumah nenek sudah menunggui saya di teras. Wajahnya amat lega melihat
kedatangan saya.
"Bapakmu
itu memang tega, le. Mosok anak sekecil ini disuruh sekolah jauh-jauh. Kalo ada
apa-apa gimana, coba," nenek menggerutu sembari menuntun saya ke dalam
rumah.
"To,
sana ganti baju, makan terus tidur. Nggak usah nyari rumput. Nggak usah main
keluar. Nanti ada culik."
"Iyaaaa,
buuu..."
Perintah
itu tak mungkin saya lawan. Meski ibu dan nenek bukan orang yang galak, saya
malas melawan mereka. Ujung-ujungnya perlawanan saya pasti akan terdengar oleh
bapak. Dan itu amat berbahaya. Saya memilih tak mengambil posisi berhadapan
dengan bapak saya. Berat resikonya.
"Le..le..
Bangun. Sudah sore," nenek membangunkan saya dengan lembut.
"Sana
mandi. Tu kakangmu Dardi sudah nunggu di depan, mau nyuapin kamu."
Saya
sontak bangun. Segera mandi dan berganti pakaian. Rupanya kang Dardi habis
disuruh bapak membantu mencari rumput untuk pakan.
"Sini
To, makan."
"Iyo,
Kang. Tadi waktu nyari rumput ketemu culik nggak, Kang?"
"Enggak,
kalo ketemu mau tak sembelih."
Kakak
sepupu saya ini memang perangainya agak kasar. Tapi dia berubah menjadi pria
lembut ketika menyuapiku, seperti sore ini.
"Culiiiiiik....
Culiiiiiik... Culiiiiiiiik!!!!!!"
Suara
teriakan Yoto mengagetkan kami.
"Ada
apa, To?"
"Iku
Ri, culiknya ketangkep. Lagi diarak di nJarum."
"Serius?!!"
"Iyoooo...
Ayuk nonton."
"Kang
Dardi, makannya udahan dulu yo, nonton culik dulu."
Tanpa
menunggu jawaban kang Dardi saya segera menyusul Yoto yang sudah berlari ke
arah nJarum.
Pos
ronda itu letaknya persis di tusuk sate pertigaan nJarum. Bangunannya sudah
tua, bertembok semen dan beratap genteng, mirip bangunan rumah. Di depan pos
itu sudah berkerumun puluhan manusia, tua dan muda serta anak-anak. Mereka
tengah mengerubungi orang yang diduga culik itu. Rupanya culik itu ditangkap
lantas digelandang beramai-ramai ke pos ini. Tubuhnya diseret dengan paksa,
dimasukkan ke dalanm pos ronda. Pintu keluar pos ronda dipagari manusia,
sehingga dia tak berkutik.
"Mana
culiknya...mana culiknya!!!" teriak kang Dardi yang tiba-tiba sudah muncul
di belakang saya.
Rupanya
kang Dardi ikut menyusul saya. Di tangannya tergenggam sebilah parang milik
bapak yang biasa dipakai bapak untuk mengupas kelapa. Dia menerobos masuk ke
pos ronda itu. Orang-orang memberi jalan kepadanya. Tak ada sepatah kata pun
terucap dari mereka.
Tak
lama dia keluar menyeret sesosok pria tinggi kurus. Tubuhnya amat dekil.
Wajahnya dipenuhi cambang dan jenggot mirip Fidel Castro. Pakaiannya kumal dan
compang-camping. Tangannya memegang bambu untuk memikul dua benda, buntalan kain
dan kaleng bekas terikat di kedua ujung bambu itu. Di kaleng bekas itu terikat
satu benda yang membuat saya terkesiap, layang-layang yang baru selesai
rangkanya.
Warung
soto ceker samping kantor, 11 Juni 2013, 15.00 WIB
No comments:
Post a Comment