"Sini
An, masuk.."
Suara
lembut itu memanggil nama saya. Saya pun masuk rumah itu dengan perasaan kikuk.
Bapak dan ibu saya sudah lebih dahulu masuk dan sudah terlibat obrolan dengan
mereka. Saya tadi tak langsung masuk rumah, tapi memlilih berbincang dengan
adik sepupu saya, Teguh, di depan rumah.
"Jadi
gini, bapake Teguh. Selama mau Ebta aku nitip Anto biar tinggal di sini. Biar
sinau di sini."
"Lha
iyo, nggak apa-apa, wong sini kan juga rumahnya saudara sendiri, to?"
"Iya,
lagian kan sekolahe lebih deket dari sini. Tinggal njangkah juga nyampe."
"Iyo
An, di sini nanti kan kalian bisa belajar bareng-bareng sama teman-teman
kalian. Nanti biar pak No juga ngajarin."
"Inggih,
bu."
"Iyo
lho le. Kamu kan anak sulung. Harus jadi contoh buat adik-adikmu."
"Inggih,
mbah."
Di
ujung sore bapak ibu pulang berjalan kaki. Saya ditinggal di rumah ini.
Sebetulnya ini bukan kali pertama saya menginap di sini. Tapi selama ini saya
menginap bersama orang tua saya, sehingga saya tidak merasa kikuk.
"Ayo
mas, mandi dulu."
"Iyo
Guh... Kamu duluan deh."
"Udah,
bareng aja."
Akhirnya
kami berdua mandi bareng di kamar mandi yang terletak di samping rumah.
Rumah
itu tata letaknya sangat mirip dengan rumah saya. Terdiri dari tiga unit rumah,
depan, belakang dan dapur. Yang membedakannya tidak ada rumah kandang di sini.
Selain itu rumah ini sumber airnya berasal dari sumur yang terletak di sebelah
timur rumah. Di dekat sumur itulah dibangun kamar mandi. Untuk mengisi bak mandi
kami harus menimba air terlebih dahulu.
Hari
telah menjelang magrib ketika kami selesai mandi. Selesai menunaikan sholat
Magrib panggilan untuk makan malam pun tiba. Berbeda dengan keluarga saya,
ritual makan malam di keluarga ini agak berbeda. Sebuah meja kayu bundar
dipasang di ruang tengah rumah belakang. Di situlah tertata sederet menu makan
malam. Menunya sederhana saja, sayur nangka dan rebung, tempe goreng tanpa
tepung dan tak lupa sambal bawang mentah. Kami lantas duduk bersila mengitari
meja tersebut. Bu Dini mengambilkan nasi buat suaminya, pak Tarno. Nenek juga
ikut bergabung di bersama kami. Ritual inilah yang tidak ada di keluarga saya.
di rumah kami tidak pernah makan bersama. Ya, masing-masing yang mau makan akan
mengambil makanan di dapur. Ibu bahkan tidak pernah menyajikan makanan buat
bapak.
Selesai
makan malam kami segera membereskan meja bundar itu. Baki nasi, mangkok dan
pirin kotor kami pindahkan ke dapur. Dalam sekejap meja itu telah bersih. Saya,
Teguhn Dono dan Yudo segera mengeluarkan buku pelajaran kami masing-masing.
Teguh adalah anak tertua di keluarga ini. Dia sudah sekolah lanjutan pertama di
Tirtomoyo. Dono anak ke dua. Di dua tahun di bawah saya. Yudo anak ke tiga. Dia
masih kelas 3 Sekolah Dasar. Anak ke empat bernama Kunto, baru berumur 5 tahun.
Sedangkan anak ke lima adalah seorang wanita, Pipit panggilannya. Tapi dia
tidak hidup bersama bapak ibunya. Dia diangkat anak sama pamannya di Wonogiri
sana. Hubungan kekerabatan kami agak rumit. Nenek saya dari ibu saya bersaudara
jauh dengan bapaknya bu Dini. Selain itu, ibunya pak Tarno pernah dinikahi
kakek saya. Jadilah saya menjadi saudara sedarah juga semenda.
Kami
belajar bareng meski jelas materinya tidak sama. Saya belajar mata pelajaran
yang akan di-Ebtanas-kan, sementara mereka sibuk dengan pelajaran
masing-masing. Yap, sebulan lagi saya akan menjalani ujian akhir sekolah dasar.
Ada alasan mendasar kenapa saya dipondokkan di keluarga ini. Sebulan lalu saya
baru saja menjalani pra-Ebta. Hasilnya baru keluar minggu lalu. Hasilnya kurang
memuaskan. Untuk lima mata pelajaran, nilai murni saya hanya 36 atau rata-rata
hanya 7. Pak Tarno adalah guru Matematika di sekolah saya, sedangkan bu Dini
adalah guru Bahasa Indonesia di sekolah yang sama. Bapak berharap saya mendapat
bimbingan belajar dari mereka. Dan benar, pak No malam itu mulai mengarahkan
cara belajar saya. Saya diberi soal-soal untuk latihan. Cara pak No mengajari
saya amat efisien. Sesuai dengan karakternya yang agak temparemental.
Salah
satu tugas yang paling saya benci adalah tugas mengarang. Bagi saya mengarang
adalah sesuatu yang amat sulit. Memulai kalimat pertama dari sebuah karangan
amat menyulitkan saya. Bu Dini lah yang membuka jalan buat kesulitan saya.
Dengan sabar dia mengajari saya.
Pasangan
suami istri ini memang kepribadiannya amat berbeda. Pak No orangnya lugas,
tanpa tedeng aling-aling. Di kalangan murid-murid, dia dianggap guru yang
galak. Suliyo, teman sekelas saya pernah wajahnya dibedakin pakai penghapus
karena lalai mengerjakan pe er. Sedangkan istrinya, bu Dini, adalah sosok
wanita yang amat lembut dan penyabar. Saya belum pernah melihatnya memarahi
murid-muridnya.
Satu
hal yang saya syukuri adalah dengan mondok di keluarga ini adalah otomatis saya
terbebas dari pekerjaan sehari-hari di rumah orang tua saya. Iya, meski di
beberapa hal saya merasa dimanja oleh orang tua saya, tetapi itu tidak
membebaskan saya dari beberapa kewajiban. Saya setiap sore harus membantu bapak
mencari rumput untuk pakan sapi peliharaan bapak. Ibu juga mewajibkan saya
membantu membersihkan rumah, menyapu dan mengepelnya.
Pagi
harinya kami bangun serentak.
"Ayo
mas Anto, kita cuci piring."
"Ayok,
Guh. Dimana nyucinya?"
"Di
deket sumur wae, mas."
Rupanya
ada satu lagi perbedaan ritual keluarga ini dibanding keluarga saya. Setiap
pagi anak-anak di keluarga ini mengangkut piring kotor ke dekat sumur untuk
dicuci rame-rame. Sementara di rumah saya pekerjaan tersebut dilakukan oleh ibu
saya sendiri. Hanya beberapa kali saja saya membantu ibu mencuci piring,
biasanya ketika di rumah ada hajatan.
Satu
bulan tak terasa saya hidup bersama keluarga ini. Kehangatan mereka amat
kental. Saya jatuhnya secara "awu" lebih tua dari mereka, sehingga
anak-anak mereka memanggil saya dengan sebutan "mas". Setiap malam
saya belajar bersama mereka. Saya bahkan sempat jatuh sakit di sini. Dengan
sigap saya dirawat seperti anak mereka sendiri. Nenek yang sudah tua bahkan
membuatkan jahe hangat buat saya. Jahe hangat di saat badan dilanda demam
memang amat menguatkan. Nenek juga ikut memotivasi semangat saya.
"Belajar
yang rajin yo le. Biar jadi anak pinter."
"Inggih,
Mbah."
"Kamu
anak tertua, harus bisa jadi contoh buat adik-adikmu."
"Inggih,
Mbah."
Kalimat
itu bak petuah sakti. Ternyata banyak yang berharap dengan hasil ujianku nanti,
tak cuma diri saya sendiri. Menjadi anak sulung selain memiliki beberapa
keistimewaan perlakuan, juga memiliki tanggung jawab yang lebih dibanding yang
lain.
Ebtanas
pun tiba. Saya lebih merasa percaya diri mengerjakannya. Lima mata pelajaran,
PMP, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan Matematika tuntas sudah saya kerjakan.
Sampai detik pengumuman pun tiba. Saya memang tidak mendapat NEM yang
fantastis. Rata-rata nilai saya hanya naik 1 angka dibandingkan dengan
rata-rata nila pra-Ebta. Tapi saya tidak kecewa. Inilah terbaik yang saya
bisa.
Terbaik
berkat dukungan semangat dari orang tua, dan keluarga pak No, termasuk jahe
hangat buatan nenek yang telah meringankan demam saya.
Batam,
07 Juni 2013, 11:11:20 WIB.
No comments:
Post a Comment