Suara derit pintu itu membangunkan tidur saya. Pintu
rumah kami memang tidak pernah dikunci.
Toh percuma saja, meski pintu depan dikunci orang tetap bisa masuk lewat pintu
dapur yang belum ada daunnya.
Yap begitulah kondisi rumah kami waktu itu. Rumah kami
terdiri dari empat rumah . Paling depan adalah rumah limasan ukuran 9 x 11
meter. Sekelilingnya belum ada tembok, kosong melompong. Lantainya pun masih
tanah, belum di apa-apain. Ini memang rumah yang belum lama dibeli bapak dari
Wo Sukimin. Rencananya rumah ini akan diberi dinding tembok sehingga bapak
memang tidak memberi dinding kayu atau bambu. Di tengah rumah sudah teronggok
tumpukan batu bata dan pasir yang dibeli bapak sedikit demi sedikit. Kami menjadikan
tumpukan pasir yang menggunung itu sebagai arena bermain mobil-mobilan. Adikku,
Titik, menjadikannya arena bermain masak-masakan.
Di bagian belakang rumah depan menempel rumah belakang.
Rumah ini merupakan rumah pemberian orang tua ibuku. Sebagai anak bungsu dari
lima bersaudara ibuku mendapat jatah rumah ketika dahulu menikah dengan bapak. Rumah
ini bentuk dan ukurannya persis dengan rumah depan. Yang membedakannya adalah
rumah ini sudah berdinding kayu di bagian depan dan samping dan anyaman bambu
di bagian belakang. Rumah inilah yang
kami huni sekeluarga. Di bagian tengah rumah merupakan ruang berisi dua set
kursi tamu terbuat dari rotan. Ada dua buah lemari hias di situ. Di sayap kiri
rumah adalah kamar bapak dan ibuku. Di sayap kanan adalah kamarku dan
adik-adikku. Di bagian belakang adalah sebuah ruangan melebar selebar sisi
rumah. Fungsinya bermacam-macam, tapi didominasi oleh perkakas pertanian bapak,
berupa cangkul, perstisida, benih dan sebagainya. Jaman dahulu kami menyebut
bagian rumah ini adalah senthong tengah
atau kamar tengah. Tidak sembarangan orang bisa masuk senthong tengah karena di
situlah terletak benda-benda pusaka. Ada satu larangan yang mengatakan bahwa
anak laki-laki yang belum disunat tidak diperbolehkan memegang benda pusaka
seperti keris, tombak dan pedang. Kalau pantangan ini dilanggar niscaya alat
kelaminnya akan bujel alias tidak
berkembang. Syukurlah bapak saya tidak mempunyai benda pusaka apapun sehingga
saya tidak perlu risau dengan resiko tersebut. Pintu samping kiri rumah ini
menjadi penghubung dengan rumah dapur. Daun pintunya terbuat dari kayu sengon
yang sudah lapuk dimakan usia. Oleh karenanya pintu itu tidak bisa dikunci
dengan sempurna.
Persis di sebelah kiri dan menempel rumah belakang,
berdirilah omah pawon alias rumah dapur. Panjangnya sama dengan
rumah belakang tapi lebarnya hanya sekitar 7 meter. Bentuk atapnya juga berbeda
dengan kedua rumah depan dan belakang tersebut. Ibu masih memasak menggunakan
kayu bakar sehingga tidak ada kompor di rumah kami. Ada dua buah tungku di
rumah kami. Tumpukan kayu kering teronggok di samping tungku. Di sebelah tungku
ada sebuah balai-bali terbuat dari bambu (babragan)
tempat ibu menaruh bumbu dapur dan melakukan aktifitas peracikan bumbu. Ada
gentong terbuat dari gerabah tempat penampungan air yang disalurkan melalui
selang dari sebuah mata air yang letaknya di lembah bukit, Pucung Pogok.
Bagian paling belakang komplek rumah kami adalah sebuah
rumah kandang. Rumah ini bentuknya mirip dengan rumah dapur. Posisinya berdempetan
juga dengan rumah dapur. Rumah ini tidak berdinding sama sekali. Ada seekor
sapi terikat di sana. Sapi tersebut bukan milik kami, tapi milik nenek seberang
yang dititipkan ke bapak untuk dipelihara. Suatu saat nanti bapak akan mendapat
bagian separo dari nilai tambah sapi ini sejak dipelihara sampai dijual.
Saya mengucek-ucek mata mendengar bunyi derit pintu
tersebut dan segera bangun. Sarung yang saya pakai untuk selimut saya
geletakkan di atas tikar alas tidur saya. Segera saya menuju ruang tengah. Saya
lihat jam dinding sudah menunjukkan waktu pukul 23.00 WIB. Sunyi di luar sana.
Bapak dan ibu baru saja pulang dari rapat panitia pesta pernikahan anak pak
Rijo, Kepala Sekolah saya di SD Sidorejo III.
“Lho kok belum tidur, Le?”
“Sudah kok bu. Nglilir...”
“Pe ernya sudah dikerjain belum , To?” kali ini bapak
saya yang bertanya.
“Sudah, Pak. Beres.”
“Iki, mau kue lapis nggak?”
Bapak mengeluarkan daun pisang dari saku baju batiknya.
Benar saja, dua potong kue lapis segera tersaji di meja ruang tengah.
“Matur nuwun,
Pak.”
“Jangan dihabisin. Kamu satu, yang satu lagi biar
dibagi berdua adikmu, Bowo sama Titik.”
Begitulah, selaku anak sulung dari empat bersaudara,
saya selalu mendapat hak istimewa dalam hal pembagian makanan. Kalau menggoreng
telur, saya mendapat bagian separo, sementara adik saya, Titik dan Bowo,
mendapat bagian masing-masing seperempat sisa saya. Untunglah adik bungsu saya,
Indarto, masih kecil sehingga tidak perlu mendapat jatah bagian makanan ini.
Saya menikmati keistimewaan ini.
Dengan lahap saya makan kue lapis itu. Bapak dan ibu
memang amat paham dengan karakter perut saya. Kalau tiba-tiba suatu malam saya
terbangun dan menuju dapur, bisa dipastikan saya sedang kelaparan. Makanya ibu
selalu melebihkan makan malam kami agar jika anak sulungnya kelaparan tengah
malam tidak kerepotan lagi menyediakan makanan.
Siang tadi, teman seruangan saya, Hendra Kuwu, memberi
saya sekotak nasi ayam goreng Suharti. Saya simpan nasi kotak itu karena saya
tiba-tiba ditelepon kawan karib saya, Arief Solihul Huda. Dia rupanya sedang
ada tugas di Kantor Pusat. Telepon tersebut adalah sebuah ajakan makan siang
bareng. Saya iyakan mengingat sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengannya.
Jadilah nasi kotak pemberian Hendra saya simpan untuk saya makan nanti sore.
Begitulah karakter perut saya. Setiap sore saya pasti kelaparan. Oleh karenanya
saya pasti mindhoni / menthong (makan
sore hari).
Benar saja, sore tadi selepas menyelesaikan supervisi
editing video viral story DJP saya
merasa lapar. Sebetulnya malam ini saya tak perlu kawatir dengan makan malam
karena pada pukul 19.00 nanti akan ada pertemuan Dirjen Pajak dengan para
pemimpin redaksi media massa di lantai 5 kantor saya. Saya pastikan bisa nebeng
makan malam di situ, tentu saja sesudah acara selesai. Sudahlah, dari pada
sakit kepala menahan lapar, saya memilih membuka nasi kotak ini.
Fiiiuh, aroma sedap ayam goreng meruah dari kotak ini.
Ada paha ayam lengkap dengan ati ampela teronggok di sana. Juga secuil gudeg
nangka dan sebutir telur serta orek tempe. Saya segera memulai makan sore saya.
Lauk ini rasanya terlalu banyak buat saya untuk sejumput nasi putih. Benar
saja, nasi sudah habis tetapi ayam goreng dan ati ampela belum tersentuh. Saya
biarkan di situ. Bergegas saya tunaikan sholat Maghrib dan langsung menuju
lantai 5 tempat pertemuan berlangsung.
Pertemuan Dirjen Pajak dengan pemimpin media massa itu
terlambat dimulai. Beberapa peserta baru hadir menjelang pukul 20.00 WIB.
Bahkan Dirjen Pajak juga baru tiba pukul 20.15 WIB dari sebuah rapat di luar
kantor. Penyebabnya sama, macet merajalela. Maklum besok adalah hari libur.
Dirjen saya sampai harus naik ojek dari Sarinah menuju kantor pusat. Pertemuan
pun segera dimulai. Berjalan seru dan interaktif. Beragam topik dibahas.
Berkali-kali Dirjen Pajak mengucapkan frasa off
the record ketika membahas topik sensitif. Yap, diakui atau tidak,
sebenarnya masalah perpajakan bukan hanya milik Direktorat Jenderal Pajak,
tetapi sesungguhnya milik seluruh komponen bangsa ini. Institusi tempat saya
bekerja ini bahkan rentan terseret dalam pusaran politik negeri ini. Tubuh
ringkihnya sering dijadikan obyek pengalihan isu. Sesuatu yang kami anggap baik
diterima sebagai sebuah keburukan yang tiada ujung. Pukul 22.30 WIB pertemuan
itu berakhir. Saya bergegas kembali ke ruangan saya untuk memindahkan file foto
hasil liputan ke dalam hard disc. Satpam
penjaga ruangan sudah berganti shift.
Dia siaga menunggui saya yang tinggal seorang diri mengerjakan secuil tugas
ini. Pekerjaan ini tak memakan waktu lama, hanya sekitar 15 menit. Saya segera
merapikan meja, menyambar tiket penerbangan saya besok ke Batam, memasukkan power bank ke tas cangklong saya. Bebera
potong kertas saya buang ke tempat sampah. Rapi sudah. Tapi tunggu dulu, masih
ada kotak nasi ayam goreng Suharti di meja saya.
Saya longok isinya. Masih seperti ketika saya tinggal
tadi, sepotong paha ayam dan ati ampela goreng. Plastik bening bekas pembungkus
nasi putih segera saya pakai untuk membungkusnya. Ah, rupanya ngepas banget
ukurannya. Saya tambahkan dua lembar tissue muka untuk merapatkan bungkusan
tersebut. Lalu saya celingukan mencari karet gelang. Ah... ada untungnya juga
bersebelahan meja dengan Arief Suongot ini. Meskipun saya membenci kejorokan
mejanya tapi kali ini saya mensyukurinya. Ada dua karet gelang tergeletak
begitu saja di sana. Dengan hati-hati saya masukkan bungkusan tersebut ke dalam
tas coklat saya, merk Aigner “kw 5” seharga ratusan ribu rupiah. Saya yakin
anak sulung saya, Abiyyu, akan sangat girang besok pagi, segirang saya ketika
bapak mengeluarkan dua potong kue lapis dari kantong baju batiknya malam itu.
Saya melangkah pulang ketika hari nyaris berganti,
dengan penuh wibawa...
Kampung Makasar, 6 Juni 2013, 01.18 WIB
No comments:
Post a Comment