Monday, June 3, 2013

Semut



"Sudahlah ndhuk... Kita ini lagi susah, ndak usah neko-neko!" sergah ibu sambil tetap merapikan sejumput dagangannya.

Titik, adik saya, diam bersungut, berdiri terpaku. Hari ini adalah hari Minggu Pon. Hari pasaran di desaku. Hari dimana ibu bisa buka lapak, jualan beras dan tempe. Ini memang pilihan sulit. Penghasilan bapak sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan I dengan gaji sekitar 150 ribu rupiah jelas amat minim buat membiayai kehidupan keluarga kami. Saya sudah bersekolah di SMP, dua adik saya sudah bersekolah di SD. Selain itu ada lek Larso, sepupu ibu yang ikut di rumah kami. Bapak menyiasati kemepetan hidup ini dengan beragam cara, mulai dari memelihara sapi milik nenek tiri hingga kadang terpaksai menggadaikan sertifikat tanah ke bank BRI.

Adalah beberapa hari yang lalu ketika murid kelas VI diberi pengumuman oleh sang Wali Murid.

"Jadi rencananya kita mau piknik ya anak-anak.." kata mbah Satini guru kelas 6 SDN Sidorejo III.
"Untuk itu kalian harus iuran, satu orang tujuh ribu lima ratus rupiah.”
"Inggih, Bu...", jawab murid-murid kelas 6 dengan gegap gempita.

Bayangan naik mobil, njajah desa milang kori, melihat dunia luar begitu memesona mereka. Taman Jurug, sebuah kebun binatang peninggalan kerajaan Kasunan Surakarta, akan menjadi tujuan mereka. Mereka tidak peduli bahwa mereka harus minta uang ke orang tuanya.

"Terus gimana, Bu? Aku ikut piknik, nggak?", tanya Titik dengan memelas.

Tangannya sibuk membantu ibu merapikan tempe yang habis diacak-acak sama mbok-mbok barusan.

"Ibu nggak punya uang buat mbayar piknikmu. Kalo mau piknik, sana... Cari daun cengkeh, jual ke mbah Jaed", kata ibu.

Ladang itu dibiarkan bero (tidak dirawat). Pemiliknya bernama mbah Modin. Sebenarnya namanya Nasirun, tapi lebih populer dipanggil begitu sesuai profesinya sebagai modin di desa kami. Tanaman cengkeh yang dulu tumbuh subur kini dibiarkan hidup seadanya. BPPC-lah yg telah memporak-porandakan harapan mbah Modin hasil tanaman cengkeh yang jumlahnya ratusan batang itu. Karena tidak dirawat daunnya banyak yang rontok. Titik berjalan dengan enggan. Badannya harus agak membungkuk ketika memunguti daun cengkeh kering dengan tusukan yang terbuat dari bilah bambu. Karung goni bekas kemasan pupuk urea baru terisi seperempatnya. Masih perlu beberapa puluh pohon cengkeh lagi yang harus dia susur agar karung itu penuh. Matahari sudah tertutup bukit ketika Titik berhasil memenuhi karung itu. Keringat bercucuran di sana-sini. Langkahnya terhuyung-huyung menggendong sekarung daun cengkeh kering, menuruni tegalan itu.

Pabrik penyulingan minyak daun cengkeh itu terletak di sudut desa. Mbah Jaed memang orang yang pandai melihat peluang. Lima tahun lalu orang mencibir kepadanya ketika dia mulai membangun pabrik itu. Kini pabrik itu bak gula. Puluhan semut-semut kecil tiap hari mengerubungnya, membawa sekarung dua karung daun cengkeh kering. Sekilo dihargai dua puluh rupiah. Titik berjalan terseok-seok menggendong sekarung daun cengkeh kering. Kang Daman, petugas penimbang sekaligus kasir sigap menyambutnya.

"Lima kilo, ndhuk. Ini uangnya", katanya singkat.

Titik berjalan mundur. Wajahnya kuyu. Bayangan ikut piknik ke Taman Jurug itu kian memudar.

Januari 2011.
Hari sudah bergeser ke Sabtu dini hari, ketika saya, Bowo serta Indar, dua adik saya,  tiba  di rumah orang tua kami. Perjalanan dari jakarta kami mulai dari Jumat siang kemarin naik pesawat ke Solo dilanjutkan dengan naik mobil pinjaman. Suzuki Katana milik mantan teman kuliah Bowo begitu perkasa melahap medan tak ringan. Jarak Solo hingga pelosok Wonogiri sejauh 77 kilometer kami rambah dalam waktu tiga jam dalam gulita malam melewati gunung Pegat yang konon banyak begalnya. Untunglah perjalanan kami tak menemukan gangguan apapun.

Di rumah depan masih ramai oleh anak-anak anggota Karang Taruna yang sedang asyik bermain gitar dan latihan campur sari. Kursi dan meja sudah rapi tertata. Pelukan hangat bapak, ibu dan Titik menyambut kami. Perjalanan panjang Jakarta Solo yang tadinya melelahkan, menguap begitu saja. Titik tampak berbinar cahaya. Besok dia akan naik derajad, menjadi besan mbah Jaed, anak sulungnya berjodoh dengan anak sulung mbah Jaed.

No comments: