Ada sebersit kegalauan
ketika mulai kubuka lembaran kertas kosong ini. Warna putih bergaris tipis
menyiratkan kepolosan sekaligus kerumitan perasaanku. Bertahun sudah aku
memendam segumpal perasaan. Aku memilih menyimpan rapat. Ada belbagai
pertimbangan yangg membuatku mampu menahannya.
Kata pertama yang berhasil
kutuliskan adalah, "Bapak..." Bermenit kata itu tidak menemukan
sambungan frasanya. Yang terjadi selanjutnya hanyalah keheningan, ditingkahi
helaan nafas panjang.
Cahaya lampu teplok kian
uzur. Minyaknya tinggal separo, tanda masa hidupnya sebentar lagi akan usai.
Angin yangg menerobos lewat dinding bambu tak mampu mengusir gerahku. Kusapukan
pandangan ke sudut kamar. Hanya pekat yang tampak. Suara derik serangga malam
kian sayup. Kentongan penanda waktu baru saja terdengar dipukul dua belas kali.
Aku beringsut ke sudut
ranjang. Kertas berisi satu kata itu tetap aku pegang. Kurebahkan badanku ke
dipan beralas galar (bambu yang dipecah dan dijadikan alas tidur) dan tikar
mendong. Pandanganku terdongak ke atap tak berplafon. Sepasang cicak berkejaran
memadu hasrat. Ah... Pikiranku kian rumit... Seraut wajah tiba-tiba muncul di
sana. Wajah Ngatmi, anak lek Gino, begitu mendayu. Rambutnya yang lurus sebahu
berjalan menyusuri pematang ladang, memanen jagung demi menyambung makan hari
itu.
Sayup terdengar kentongan
dipukul tiga kali. Kudekap selembar kertas berisi satu kata itu. Tak mampu aku
meneruskan kata.
No comments:
Post a Comment