Monday, June 3, 2013

Surat Terakhir



Ada sebersit kegalauan ketika mulai kubuka lembaran kertas kosong ini. Warna putih bergaris tipis menyiratkan kepolosan sekaligus kerumitan perasaanku. Bertahun sudah aku memendam segumpal perasaan. Aku memilih menyimpan rapat. Ada belbagai pertimbangan yangg membuatku mampu menahannya.
Kata pertama yang berhasil kutuliskan adalah, "Bapak..." Bermenit kata itu tidak menemukan sambungan frasanya. Yang terjadi selanjutnya hanyalah keheningan, ditingkahi helaan nafas panjang.
Cahaya lampu teplok kian uzur. Minyaknya tinggal separo, tanda masa hidupnya sebentar lagi akan usai. Angin yangg menerobos lewat dinding bambu tak mampu mengusir gerahku. Kusapukan pandangan ke sudut kamar. Hanya pekat yang tampak. Suara derik serangga malam kian sayup. Kentongan penanda waktu baru saja terdengar dipukul dua belas kali.
Aku beringsut ke sudut ranjang. Kertas berisi satu kata itu tetap aku pegang. Kurebahkan badanku ke dipan beralas galar (bambu yang dipecah dan dijadikan alas tidur) dan tikar mendong. Pandanganku terdongak ke atap tak berplafon. Sepasang cicak berkejaran memadu hasrat. Ah... Pikiranku kian rumit... Seraut wajah tiba-tiba muncul di sana. Wajah Ngatmi, anak lek Gino, begitu mendayu. Rambutnya yang lurus sebahu berjalan menyusuri pematang ladang, memanen jagung demi menyambung makan hari itu.
Sayup terdengar kentongan dipukul tiga kali. Kudekap selembar kertas berisi satu kata itu. Tak mampu aku meneruskan kata.

No comments: