Jangankan
bermimpi, membayangkan pun tidak pernah, bahwa suatu saat saya akan
berkesempatan bekerja di bagian humas seperti sekarang.
Humas
yang saya pernah kenal sebelum masuk di dalamnya adalah sebuah lantai sunyi di
gedung B. Dia terletak nyaris paling puncak, karena gedung itu cuma berlantai
16, dan lantai 16 adalah ruang serba guna. Adalah tahun 1996 ketika saya
pertama kali berkunjung ke sana. Waktu itu saya habis mendaftar pendidikan
kedinasan, Ajun Khusus STAN. Seharusnya untuk mendaftar pendidikan kedinasan
itu masa kerja saya minimal harus dua tahun. Tapi entah kenapa, Kepala KPP
Baturaja waktu itu, Drs. V. Sentosa mengijinkan saya dan Ragil, teman
seangkatan saya mendaftar. Mungkin dilihatnya masa depan kami suram di sana...
Kunjungan
saya ke humas dalam rangka silaturahmi biasa. Kebetulan ada beberapa teman
seangkatan yang berdinas di sana, Rina dan Ikhsan Ali. Saya diterima mereka di
meja kerja di ujung sore.
Ruangan
mereka persis di depan pintu masuk utama. Saya tadinya berpikir ruangan di
Kantor Pusat ini furnishnya modern dan berselera seni, tidak seperti kantor
saya di pedalaman sana. Rupanya pikiran saya salah. Ruangan itu biasa saja.
Meja, kursi dan lemari berkas hanyalah perkakas usang tak terawat. Tumpukan
berkas juga berserak di sana-sini. Ah...apa pula kerja orang ini, pikir saya...
Ruangan
lapang itu juga sepi-sepi saja, minim aktifitas. Di sana-sini hanya tampak
segelintir pegawai tengah ngobrol sesama mereka. Tidak ada kegiatan apapun yang
bisa membuat saya berpikir bahwa mereka sedang bekerja. Enak kali, pikir
saya...
Nopember
2005. Sebuah SK mencantumkan nama saya. Saya mendapat promosi menjadi
Koordinator Pelaksana di Humas. Ada cerita di balik ini, tapi baiknya tidak saya
tulis saja, demi kebaikan sesama. Siang setelah pelantikan di Aula gedung A
saya langsung lapor ke kantor baru saya. Ruangan yang 9 tahun lalu pernah saya
masuki belum banyak berubah wajahnya. Masih kusam dan berantakan, hanya agak
ramai saja. Tak dinyana saya langsung diajak rapat. Bah... Rapat apa pula ini?
Rapat
itu rupanya sudah dimulai sebelum saya datang. Jadilah saya peserta terakhir
yang hadir. Saya seperti ditodong, disuruhnya kenalan satu per satu. Beberapa
wajah saya kenal meski hanya sebatas muka. Baiklah...inilah rapat pertama saya.
Saya duduk di deret belakang. Di seberang sisi kami duduk 2 orang wanita paruh
baya dan seorang pria bule tua. Mereka tengah mempresentasikan sesuatu. Tiba
saatnya bule itu bicara. Saya pikir dia akan bicara dalam bahasa Indonesia.
Lagi-lagi saya salah duga. Dia bicara dalam bahasa ibunya, Inggris Australia.
Bahasa tersulit menurut saya.
Jaman
masih di Baturaja, saya dan Ragil pernah sekali berhadapan dengan bule
Australia. Waktu itu kami mendapat tugas pemeriksaan pemusatan tempat PPN
terhutang sebuah perusahaan PMA yang punya lokasi di Prabumulih. Kami datang ke
sana tanpa persiapan apa-apa. Dan terjadilah wawancara itu. Satu-dua-tiga hal,
lama-lama banyak hal yang tidak kami mengerti dari perkataan dia. Akhirnya kami
ubah strategi. Wawancara kami lakukan secara tertulis. Beres... Ah... Belajar
bahasa Inggris selama 7 tahun sejak bangku SMP memang tidak membuat saya bisa
berbuat apa-apa. Mungkin saya saja yang memang bego...
Baiklah...bule
Australia itu terus saja ngoceh di depan kami. Saya lihat teman-teman Humas
duduk khusuk mendengarkan, sambil sesekali mencatat sesuatu di kertas. Saya
geli sendiri, apa iya mereka juga ngerti. Tiba-tiba Dedi, teman saya, mengirim
sms ke saya. Bunyinya sederhana.
"Met,
abis ini lu bikin rangkuman presentasinya ya"
Hahaha...
Saya hampir tergelak. Matilah saya. Untunglah saya yakin bahwa dia cuma
bercanda, karena saya tau juga kemampuan bahasa Inggrisnya tidak lebih dari
saya.
Demikianlah
akhirnya, hari-hari saya mengalir di sini. Meski punya jabatan prestisius,
Korlak, saya tidak punya meja khusus bersekat atau minimal ukurannya lebih
besar dibanding anak buah saya. Saya duduk berjajar dengan mereka. Saya bahkan
tidak berani mengklaim siapa saja anak biah saya, karena pada kenyataannya anak
buah saya bisa diperintah siapa saja. Pun saya sendiri, siapapun boleh
memerintah saya asal jabatannya lebih tinggi daripada saya. Bah... Kantor apa
ini...?
Keheranan
saya 9 tahun silam tentang santainya bagian humas ini lambat laun terjawab
juga. Yang semula saya lihat sebuah kesantaian rupanya hanyalah dusta. Ruangan
yang dahulu saya lihat sepi tanpa aktifitas rupanya menipu belaka. Seperti
siang itu. Tiba-tiba datang serombongan pegawai baru datang dari dinas luar
kota. Mereka baru saja mengadakan sosialisasi ke kampus-kampus di seberang
pulau. Kejutan itu tidak berhenti sampai di situ. Suatu Sabtu siang saya
ditelepon kawan sejawat. Diajaknya saya ke kantor hari itu juga. Ada bahan
rapat yang harus kami siapkan. Bah.... Kantor apa ini..? Saya yang pernah jadi
pemeriksa 7 tahun saja tidak pernah hari Sabtu datang ke kantor untuk kerja.
Lha kok ini orang humas yang kerjanya tidak jelas malah menyuruh saya kerja di
hari Sabtu. Tak apalah, saya jalani juga. Sedang asyik kami bekerja serombongan
kawan datang lagi. Kali ini mereka baru pulang dari Surabaya untuk tugas
serupa. Cerita seru nan menyeramkan lantas meruah. Alkisah mereka naik pesawat
warna orange yang salah satu armadanya nyemplung di perairan Sulawesi Barat
beberap tahun lalu. Di tengah perjalanan pesawat itu putar balik ke Surabaya
karena alat navigasinya mati total. Waduuuh....besar juga ya resiko kerja di
sini. Saya pikir resiko yang pernah saya terima waktu bertugas di Baturaja dulu
sudah paling hebat. Saya memang pernah dibentak-bentak pak haji ketika sedang
verifikasi lapangan perusahannya. Dia membentak-bentak saya sambil
menggebrak-gebrak mejanya. Dasar orang jawa, saya diam saja. Lah sekarang kok
teman-teman ini membawa cerita seram tenyata. Naik pesawat tanpa alat navigasi menurut
saya sudah separo mati...
Hari,
minggu, bulan, tahun berikutnya pekerjaan saya kebih banyak berkutat urusan
multi media. Teman-teman saya berkomentar,
"Enak
banget kamu, Met. Kerjaan sama dengan hobi."
"Enak
banget kamu, Met. Hobi kok dibayar negara."
"Enak
banget kamu, Met. Jalan-jalan keliling Indonesia."
"Enak
banget kamu, Met. Deket sama pejabat."
Tidak
ada satupun yang berkomentar,
"Kamu
tidak mu, Met?"
Ya
sudah, saya diam saja. Kata bapak saya urip iku mung sawang sinawang, hidup itu
cuma saling memandang.
Modernisasi
telah tiba. Jabatan prestisius saya harus dimusnahkan. Saya turun pangkat,
kembali menjadi pekaksana lagi (sampai sekarang). Tidak apa-apa, katanya semua
demi organisasi, entah kata siapa. Saya juga dipindahkah ke seksi Hubungan
Eksternal. Urusannya seputar wartawan. Hmmm... Makhluk yang satu ini memang
tiada duanya. Seorang kawan bahkan berseloroh, wartawan itu jenis makhluk hidup
ke empat setelah manusia, hewan, dan tumbuhan. Ini cuma kelakar lho ya... Tapi
memang benar, menghadapi mereka perlu seni dan trik tersendiri. Jika tidak
hati-hati bisa-bisa besok pagi nama kita dicatutnya sebagai sumber berita. Saya
memakai prinsip sederhana, kalau berbincang dengan mereka jangan pernah
melayani topik seputar pekerjaan atau isu terkini. Bercakaplah topik umum saja.
Dan itu manjur.
Setahun
di seksi itu saya dipindah ke seksi Pengelolaan Berita. Motret-motret sih
tetep... Tapi ada tugas rutin lain, membaca berita seputar pajak, moneter dan
keuangan. Termasuk mengelola jika ada surat pembaca yang perlu kami tanggapi.
Beberapa kalo saya diberi tugas membuat konsep siaran pers ketika kasus
pengadaan barang IT sedang mengangat. Ketika konsep itu saya sodorkan ke
Kasubdit saya, dia kaget.
"Lho
ternyata sampeyan ini nggak cuma bisa moto, to mas?"
Yeee...
Kemana aja bapak, batin saya.
Jadi
makhluk apa humas itu? Saya juga tidak bisa membuat deskripsi lengkap
tentangnya. Delapan tahun di sini belum cukup membuat saya mengerti bagian ini.
Saya hanya sering mendengar orang samar berkata,
"Humas
itu tukang cuci piring."
(Mungkin)
Bersambung
Kampung
Makasar, 1 Juni 2013, 01:38:52 WIB.
2 comments:
*menunggu lanjutan*
Thanks sis Nike udah mampir. Hehe.....kan mungkin......
Post a Comment