Saturday, June 1, 2013

Tukang Cuci Piring



Jangankan bermimpi, membayangkan pun tidak pernah, bahwa suatu saat saya akan berkesempatan bekerja di bagian humas seperti sekarang.
Humas yang saya pernah kenal sebelum masuk di dalamnya adalah sebuah lantai sunyi di gedung B. Dia terletak nyaris paling puncak, karena gedung itu cuma berlantai 16, dan lantai 16 adalah ruang serba guna. Adalah tahun 1996 ketika saya pertama kali berkunjung ke sana. Waktu itu saya habis mendaftar pendidikan kedinasan, Ajun Khusus STAN. Seharusnya untuk mendaftar pendidikan kedinasan itu masa kerja saya minimal harus dua tahun. Tapi entah kenapa, Kepala KPP Baturaja waktu itu, Drs. V. Sentosa mengijinkan saya dan Ragil, teman seangkatan saya mendaftar. Mungkin dilihatnya masa depan kami suram di sana...
Kunjungan saya ke humas dalam rangka silaturahmi biasa. Kebetulan ada beberapa teman seangkatan yang berdinas di sana, Rina dan Ikhsan Ali. Saya diterima mereka di meja kerja di ujung sore.
Ruangan mereka persis di depan pintu masuk utama. Saya tadinya berpikir ruangan di Kantor Pusat ini furnishnya modern dan berselera seni, tidak seperti kantor saya di pedalaman sana. Rupanya pikiran saya salah. Ruangan itu biasa saja. Meja, kursi dan lemari berkas hanyalah perkakas usang tak terawat. Tumpukan berkas juga berserak di sana-sini. Ah...apa pula kerja orang ini, pikir saya...
Ruangan lapang itu juga sepi-sepi saja, minim aktifitas. Di sana-sini hanya tampak segelintir pegawai tengah ngobrol sesama mereka. Tidak ada kegiatan apapun yang bisa membuat saya berpikir bahwa mereka sedang bekerja. Enak kali, pikir saya...
Nopember 2005. Sebuah SK mencantumkan nama saya. Saya mendapat promosi menjadi Koordinator Pelaksana di Humas. Ada cerita di balik ini, tapi baiknya tidak saya tulis saja, demi kebaikan sesama. Siang setelah pelantikan di Aula gedung A saya langsung lapor ke kantor baru saya. Ruangan yang 9 tahun lalu pernah saya masuki belum banyak berubah wajahnya. Masih kusam dan berantakan, hanya agak ramai saja. Tak dinyana saya langsung diajak rapat. Bah... Rapat apa pula ini?
Rapat itu rupanya sudah dimulai sebelum saya datang. Jadilah saya peserta terakhir yang hadir. Saya seperti ditodong, disuruhnya kenalan satu per satu. Beberapa wajah saya kenal meski hanya sebatas muka. Baiklah...inilah rapat pertama saya. Saya duduk di deret belakang. Di seberang sisi kami duduk 2 orang wanita paruh baya dan seorang pria bule tua. Mereka tengah mempresentasikan sesuatu. Tiba saatnya bule itu bicara. Saya pikir dia akan bicara dalam bahasa Indonesia. Lagi-lagi saya salah duga. Dia bicara dalam bahasa ibunya, Inggris Australia. Bahasa tersulit menurut saya.
Jaman masih di Baturaja, saya dan Ragil pernah sekali berhadapan dengan bule Australia. Waktu itu kami mendapat tugas pemeriksaan pemusatan tempat PPN terhutang sebuah perusahaan PMA yang punya lokasi di Prabumulih. Kami datang ke sana tanpa persiapan apa-apa. Dan terjadilah wawancara itu. Satu-dua-tiga hal, lama-lama banyak hal yang tidak kami mengerti dari perkataan dia. Akhirnya kami ubah strategi. Wawancara kami lakukan secara tertulis. Beres... Ah... Belajar bahasa Inggris selama 7 tahun sejak bangku SMP memang tidak membuat saya bisa berbuat apa-apa. Mungkin saya saja yang memang bego...
Baiklah...bule Australia itu terus saja ngoceh di depan kami. Saya lihat teman-teman Humas duduk khusuk mendengarkan, sambil sesekali mencatat sesuatu di kertas. Saya geli sendiri, apa iya mereka juga ngerti. Tiba-tiba Dedi, teman saya, mengirim sms ke saya. Bunyinya sederhana.
"Met, abis ini lu bikin rangkuman presentasinya ya"
Hahaha... Saya hampir tergelak. Matilah saya. Untunglah saya yakin bahwa dia cuma bercanda, karena saya tau juga kemampuan bahasa Inggrisnya tidak lebih dari saya.
Demikianlah akhirnya, hari-hari saya mengalir di sini. Meski punya jabatan prestisius, Korlak, saya tidak punya meja khusus bersekat atau minimal ukurannya lebih besar dibanding anak buah saya. Saya duduk berjajar dengan mereka. Saya bahkan tidak berani mengklaim siapa saja anak biah saya, karena pada kenyataannya anak buah saya bisa diperintah siapa saja. Pun saya sendiri, siapapun boleh memerintah saya asal jabatannya lebih tinggi daripada saya. Bah... Kantor apa ini...?
Keheranan saya 9 tahun silam tentang santainya bagian humas ini lambat laun terjawab juga. Yang semula saya lihat sebuah kesantaian rupanya hanyalah dusta. Ruangan yang dahulu saya lihat sepi tanpa aktifitas rupanya menipu belaka. Seperti siang itu. Tiba-tiba datang serombongan pegawai baru datang dari dinas luar kota. Mereka baru saja mengadakan sosialisasi ke kampus-kampus di seberang pulau. Kejutan itu tidak berhenti sampai di situ. Suatu Sabtu siang saya ditelepon kawan sejawat. Diajaknya saya ke kantor hari itu juga. Ada bahan rapat yang harus kami siapkan. Bah.... Kantor apa ini..? Saya yang pernah jadi pemeriksa 7 tahun saja tidak pernah hari Sabtu datang ke kantor untuk kerja. Lha kok ini orang humas yang kerjanya tidak jelas malah menyuruh saya kerja di hari Sabtu. Tak apalah, saya jalani juga. Sedang asyik kami bekerja serombongan kawan datang lagi. Kali ini mereka baru pulang dari Surabaya untuk tugas serupa. Cerita seru nan menyeramkan lantas meruah. Alkisah mereka naik pesawat warna orange yang salah satu armadanya nyemplung di perairan Sulawesi Barat beberap tahun lalu. Di tengah perjalanan pesawat itu putar balik ke Surabaya karena alat navigasinya mati total. Waduuuh....besar juga ya resiko kerja di sini. Saya pikir resiko yang pernah saya terima waktu bertugas di Baturaja dulu sudah paling hebat. Saya memang pernah dibentak-bentak pak haji ketika sedang verifikasi lapangan perusahannya. Dia membentak-bentak saya sambil menggebrak-gebrak mejanya. Dasar orang jawa, saya diam saja. Lah sekarang kok teman-teman ini membawa cerita seram tenyata. Naik pesawat tanpa alat navigasi menurut saya sudah separo mati...
Hari, minggu, bulan, tahun berikutnya pekerjaan saya kebih banyak berkutat urusan multi media. Teman-teman saya berkomentar,
"Enak banget kamu, Met. Kerjaan sama dengan hobi."
"Enak banget kamu, Met. Hobi kok dibayar negara."
"Enak banget kamu, Met. Jalan-jalan keliling Indonesia."
"Enak banget kamu, Met. Deket sama pejabat."
Tidak ada satupun yang berkomentar,
"Kamu tidak mu, Met?"
Ya sudah, saya diam saja. Kata bapak saya urip iku mung sawang sinawang, hidup itu cuma saling memandang.
Modernisasi telah tiba. Jabatan prestisius saya harus dimusnahkan. Saya turun pangkat, kembali menjadi pekaksana lagi (sampai sekarang). Tidak apa-apa, katanya semua demi organisasi, entah kata siapa. Saya juga dipindahkah ke seksi Hubungan Eksternal. Urusannya seputar wartawan. Hmmm... Makhluk yang satu ini memang tiada duanya. Seorang kawan bahkan berseloroh, wartawan itu jenis makhluk hidup ke empat setelah manusia, hewan, dan tumbuhan. Ini cuma kelakar lho ya... Tapi memang benar, menghadapi mereka perlu seni dan trik tersendiri. Jika tidak hati-hati bisa-bisa besok pagi nama kita dicatutnya sebagai sumber berita. Saya memakai prinsip sederhana, kalau berbincang dengan mereka jangan pernah melayani topik seputar pekerjaan atau isu terkini. Bercakaplah topik umum saja. Dan itu manjur.
Setahun di seksi itu saya dipindah ke seksi Pengelolaan Berita. Motret-motret sih tetep... Tapi ada tugas rutin lain, membaca berita seputar pajak, moneter dan keuangan. Termasuk mengelola jika ada surat pembaca yang perlu kami tanggapi. Beberapa kalo saya diberi tugas membuat konsep siaran pers ketika kasus pengadaan barang IT sedang mengangat. Ketika konsep itu saya sodorkan ke Kasubdit saya, dia kaget.
"Lho ternyata sampeyan ini nggak cuma bisa moto, to mas?"
Yeee... Kemana aja bapak, batin saya.
Jadi makhluk apa humas itu? Saya juga tidak bisa membuat deskripsi lengkap tentangnya. Delapan tahun di sini belum cukup membuat saya mengerti bagian ini. Saya hanya sering mendengar orang samar berkata,
"Humas itu tukang cuci piring."

(Mungkin) Bersambung
Kampung Makasar, 1 Juni 2013, 01:38:52 WIB.

2 comments:

Unknown said...

*menunggu lanjutan*

Masla said...

Thanks sis Nike udah mampir. Hehe.....kan mungkin......