Keluar
dari gedung Millenia, Tebet, sehabis menyetor
uang via mesin ATM memaksaku tidak bisa langsung ambil lajur kanan meski aku
bermotor. Jalan MT. Haryono arah Cawang malam itu masih ramai, motor dan mobil
saling serobot, seolah semua adalah penguasa jalan raya ini. Mendekati stasiun
Cawang, jalan ini lumayan menanjak. Kunikmati perjalanan pulang ini sesantai
mungkin, toh baru pukul delapa malam. Tiba-tiba aku terhenyak. Dalam keremangan
malam, di bawah pendar cahaya lampu jalanan dan lampu kendaraan, kuliat sosok
ganjil. Arah cahaya dari depan yang lebih terang membentuk sosok itu menjadi
siluet. Aku cepat mengenalinya. Seorang lelaki berumur 55 tahunan berjalan
terseok pelan. Di pundaknya terselempang sekotak barang dagangan khas pedagang
asongan, berisi rokok. Tangan kanannya menarik gerobak pendek, seukuran 50 x
100 cm. Di gerobak itu ada lampu senter polisi, nyalanya berkedip-kedip,
dipegang oleh sosok manusia yang tidak sempurna fisiknya. Kedua kakinya
buntung. Dia tengkurap di gerobak bapaknya, kepalanya sedikit mendongak agar
pandangannya bisa ke depan, bukan ke lantai jalanan.
Ini kali
ke dua aku menemui sosok ini. Pertama kali kuliat mereka di deket kantorku, di
sutau siang, menuju arah sebaliknya, Semanggi. Beberapa bulan lalu harian The Jakarta Globe juga pernah memuat
foto mereka.
Hanya
perlu sekian detik untuk menyalip dua sosok manusia itu. Aku hanya menoleh
sebentar ke arah mereka. Pikiranku jadi tidak tenang, gamang, ragu dengan apa yangg
ada di hatiku. Aku kepengin berhenti menyapa mereka, tapi kupikir bapak itu
pasti sedang menguras tenaga untuk menarik grobak berisi anaknya di tanjakan
begini. Tak elok rasanya.
Sambil
terus bermotor, aku celingukan mencari tempat yangg enak buat berhenti.
Akhirnya kutemukan sudut jalan yang agak melebar karena ada pintu gerbang masuk
kawasan gudang di sebelah gedung Indomobil. Kuparkir motorku di tempat yang
tidak mencolok. Aku bertekad untuk menunggu mereka di sini, sampai kapan pun.
Di tengah
waktu itu aku sempat kawatir, jangan-jangan mereka sudah belok kiri di
pertigaan sungai Ciliwung karena mungkin saja mereka tinggal di situ. Aku tak putus harap. Perlu
waktu sekitar lima belas menit untuk menunggu mereka. Kerlip lampu senter
polisi mulai tampak nyata di kejauhan. Bak kunang-kunag yangg menyusuri jalan.
Tenggelam di antara kilau lampu mobil dan gemerlap kota yang tidak pernah tidur
ini.
Aku
beranjak dari tempat nangkringku.
"Permisi,
Pak.. Rokoknya masih ada?" tanyaku setengah menghentikan mereka.
"Masih,
mas. Mau rokok apa?" jawabnya sembari menghentikan langkah.
"Sampoerna
Mild ada, Pak?" jawabku sembari menelisik sosok yang telungkup di atas
gerobak itu.
"Waduh
maaf mas, adanya cuma ini," katanya sambil menunjukkan kotak asongannya.
Dalam
pendar cahaya yangg temaram karena terlindung pohon akasia, aku samar-samar
melihat isi kotak itu. Deretan bungkus rokok tersusun rapi, jumlahnya kutaksir
tidak lebih dari dua puluh lima bungkus. Agak lusuh tertutup debu.
"Ya
udah, minta Sam Su saja, Pak", kataku sambil membuka dompet.
"Ini
pak uangnya, nggak usah kembali", kataku sambil menyerahkan selembar uang.
"Sehat
selalu ya pak, semoga lancar rejekinya". Bapak dan anak itu hanya sempet
tertegun sebelum berucap terima kasih dan melanjutkan perjalanannya.
Ah... Aku
sebenernya kepengin ngobrol beberapa kalimat dengannya, tapi aku tahu mereka
pasti amat letih. Kupandangi sosok yang makin mengecil menjauh dariku, dengan
langkah terseok...
Harapku
cuma satu, ketemu mereka lagi...pak Kodir dan anaknya, Denny...
No comments:
Post a Comment