Sawah di seberang ladang bapak |
Wonogiri, 9 Agustus 2013.
Lebaran hari ke dua.
Hawa dingin semalam, kami
menyebutnya bediding, hanyalah salah satu pertanda bahwa musim kemarau telah
tiba. Jauh-jauh hari sebelum mudik adik saya, Titik, sudah berpesan agar kami
membawa selimut tebal. Hawa di desa saya sedang tidak bersahabat. Ketika siang
panas terik, sedangkan malam hari dining menusuk tulang. Selimut hangatlah yang
kemudian meninabobokkan saya, terlelap
sampai-sampai adzan Subuh di mushola depan rumah bapak saya tak terdengar.
Ujian keimanan yang sebenarnya, kata
ustadz di sebuah pengajian, memang pada Subuh lebaran ke dua. Jika pada Lebaran
hari pertama Sholat Subuh kita masih terjaga kualitasnya karena biasanya kita
akan meneruskan aktifitas sholat Idul Fitri, tidak demikian dengan lebara hari
ke dua. Dan itulah yang terjadi pada diri saya pagi itu. Iman saya belum
teruji.
Desaku dari atas Watu Gowok, Pakelan |
Saya baru saja selesai
mengembalikan linggis ke tempatnya semula ketika bapak muncul dari arah sungai.
"Ngapain, To?"
"Ini habis ngupas
kelapa, Pak."
"Ayok jalan-jalan ke
kebun, nengok kayumu."
"Inggih, Pak."
Saya berjalan di samping
bapak menuju ke arah timur rumah. Sebelum mencapai kebun dimaksud, bapak
berhenti di bagian belakang rumah kandang ini.
"Jadi gini To,
pekarangan rumah sampai batas sini ini jatahnya adikmu Titik. Kalian yang
anak-anak lanang jangan mengharap bagian tanah dan rumah sampai bagian ini
yo."
"Inggih Pak. Saya
mengerti."
"Nah, mulai batas
ini sampai nanti ketemu parit, itu adalah masih haknya bapak sama ibumu,"
ujar bapak sembari meneruskan langkah.
Kami melangkah melewati
parit-parit diantara gundukan tanah yang tampak kosong padahal di dalamnya
adalah tanaman kunyit yang memang sedang "tidur" ketika musim
kemarau. Kunyit tersebut tahun depan siap dipanen.
Tibalah kami pada parit
kering yang melintang di depan kami, dari sisi selatan ke sisi utara menuju
sungai. Di sebelah timur parit ini berdiri pohon durian.
"Nah mulai dari
parit ini sampai pinggir sungai sana juga sudah haknya adikmu Titik. Tanah ini bapak
tukar dengan tanah depan rumah punya adikmu Titik yang sekarang bapak wakafkan
untuk bangunan mushola itu."
Saya memandangi bentangan
lahan di depan kami. Lahan ini berukuran 300 m2 dan ditumbuhi beragam kayu
keras, mulai dari sengon laut, waru dan beberapa jati. Sebelah utara dan timur
lahan ini berbatasan dengan sungai, sedangkan sebelah selatannya adalah
pekarangan lek Kasnidin. Saya manggut-manggut mendengar konsep tukar guling
bapak.
"Inggih, Pak."
Posisi pekarangan lek
Kasnidin lebih tinggi dibandingkan lahan yang kami lewati. Saya beberapa kali
harus jalan di depan dan menarik tangan bapak agar beliau bisa menaiki lereng
pekarangan tersebut. Diabetes yang diderita bapak sejak sepuluh tahun yang lalu
menggerogoti syaraf lututnya sehingga bapak tidak selincah dulu lagi.
"Nah itu To, kayumu
yang kamu beli sepuluh tahun lalu."
"Wah, sudah gede
juga tu pak, bisa buat ningkat rumah, hahaha.."
"Iyo.. Harusnya
kelima-limanya besarnya sama. Tapi jangan marah yo le, yang dua dijual lagi
oleh lek Kasnidin tanpa seijin bapak. Terus sama dia ditukar dengan yang lebih
kecil."
Saya terdiam mendengar
kabar tersebut. Saya amati lima batang kayu jati yang berdiri di pekarangan lek
Samidin ini. Tiga batang pertama usianya mungkin sudah 25 tahun, diameternya
sekitar 40 centimeter. Dua batang sisanya masih agak kecil, berdiameter sekitar
30 centimeter. Saya jengkel sekali dengan ulah lek Kasnidin ini.
Suatu hari sepuluh tahun
yang lalu bapak datang ke Jakarta menengok kami. Saya ingat waktu itu bapak
baru saja pensiun. Beliau bercerita bahwa ada pohon kayu jati yang mau dijual
milik lek Kasnidin. Ada lima batang harganya tiga juta rupiah. Pohon tersebut
boleh dipelihara sampai kapan saja. Saya setuju untuk membeli pohon kayu
tersebut, meskipun sebenarnya saya belum tahu mau saya apakan. Kini batang kayu
itu kelima-limanya harusnya sudah bisa ditebang untuk dijadikan perabotan atau
kusen rumah. Namun apa mau dikata yang dua batang belum siap ditebang, masih harus
menunggu beberapa tahun lagi.
Dua bulan yang lalu Titik
memang bercerita pada saya bahwa ada tetangga curang, kayu sudah dijual ke
orang lain kok dijual lagi. Saya tidak menyangka jika kayu tersebut adalah kayu
saya yang saya beli sepuluh tahun yang lalu.
"Inggih Pak, nggak
apa-apa. Saya yakin lek Kasnidin pasti sedang kepepet sampai bertindak
begitu," ujar saya sembari menahan rasa jengkel.
"Iyo Le, sudahlah,
sewu dalaning rejeki, seribu pintu rejeki, nggak usah kawatir."
"Inggih, Pak."
"Ayo sekalian kita
lebaran ke rumah lek Kasnidin."
Saya kian terhenyak
mendengar ajakan bapak. Saya sama sekali tidak terpikir untuk berlebaran ke
orang yang telah berbuat curang kepada saya. Tidak demikian dengan bapak.
Kampung Makasar, 20
Agustus 2013 22:07:44 WIB.
No comments:
Post a Comment