Seharusnya penerbangan saya dari
bertugas seminggu di Bali ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Betapa tidak,
seminggu berdinas di Bali, menginap di hotel yang menyajikan pemandangan aduhai
terutama di area kolam renangnya, pekerjaan beres tak ada halangan, dan ketika boarding saya mendapati pesawat yang
akan menerbangkan saya adalah Boeing 777-300 ER. Pesawat ini adalah unit ke dua
dari tiga pesanan Garuda Indonesia, yang baru tiba bulan lalu. Bodinya masih
kinyis-kinyis. Interiornya amat mempesona. Ada first class, kelas baru di atas business
class, dimana tersedia layanan chef
on board. Penumpang kelas ini bisa memesan makanan yang langsung dimasak di
dalam pesawat. Wuih, nggak terbayang jika tabung gasnya meledak. Bahkan ke
depan, khusus kelas ini juga menyediakan layanan koneksi internet berbasis wi-fi.
Lah, apa ini tidak akan mengganggu komunikasi penerbangan ya?
Bangku pesawat ini masih beraroma
pabrik. Konfigurasi bangkunya 3-3-3. Saya diberi seat 32 H. Sebelah kanan saya
ternyata kosong, sedangkan di dekat jendela duduk seorang pria paruh baya.
Cocok, pikir saya.
Pesawat berangkat tepat waktu.
Hidangan makanan dan minuman selalu menggugah selera saya, ditambah ini memang
sudah jam makan malam. Ketidaknyamanan mulai terasa ketika layar monitor di
depan saya tidak bisa memainkan sajian hiburan on demand. Saya segera panggil pramugari berpostur semampai itu.
Rika namanya. Dengan gesture yang sopan, dia membantu saya. Tak berhasil, dia
lantas melapor ke teknisi. Tak lama dia kembali dengan senyum tetap
tersungging. Jawabnya amat sederhana.
"Maaf Pak, ada gangguan di
jalur ini. Sistem sedang di-reset,
mohon sabar menunggu."
Saya anggukkan kepala, tanda saya
menerima penjelasan tersebut. Majalah bulanan Garuda Indonesia lantas jadi
pilihan saya menamani sisa perjalanan yang masih 45 menit lagi. Lampu kabin
terlalu redup sehingga saya tekan saklar lampu baca. Sekali, dua kali, tiga
kali tekanan saya tidak membuahkan reaksi apa-apa. Lampu baca tetap tak
menyala. Pramugari yang sedang membereskan sajian makan malam saya pintai
bantuan lagi. Kali ini usianya lebih senior dibanding Rika. Saya tidak tertarik
melirik papan nama di dada kirinya. Sigap dia menekan-nekan tombol yang sama.
Tetap bergeming, tak menyala. Tangannya berpindah menekan saklar seat sebelah
kanan saya. Clap, lampu baca untuk penumpang tengah menyala dengan sempurna.
"Maaf Pak, bohlam lampu baca seat Bapak rupanya padam. Saya akan
lapor teknisi."
Saya tidak anggukkan kepala kali
ini. Saya memilih segera merebahkan kursi, mencoba memejamkan mata. Dan seperti
biasa, hanya mata saya saja yang terpejam, tapi pikiran saya tetap terjaga.
Saya memang paling susah tidur di sebuah penerbangan. Penerbangan Jakarta -
Sorong selama 5 jam saja tak sanggup membuat saya terpejam.
Suara desau angin itu terdengar
sedemikian keras tepat di bawah tempat duduk saya. Saya segera membuka mata,
nanar, kaget. Rupanya palka roda pendaratan telah dibuka, tanda sebentar lagi
pesawat akan mendarat. Saya merasa suara ini terlalu bising, jauh lebih bising
dibandingkan dengan pesawat setipe,
Airbus A330-200 yang saya naiki sebelumnya. Pendaratan lantas terjadi dengan
segera. Badan saya nyaris terpental ketika pesawat touch down. Ough, hard
landing, sesuatu yang harusnya tidak terjadi di cuaca bagus seperti ini,
dengan pesawat badan lebar, dan di bandara Soekarno Hatta yang kualitasnya
termasuk bagus. Sejurus kemudian pilot mengumumkan bahwa pesawat tidak akan
parkir di garbarata. Ah....mengesalkan, karena pasti perjalanan ke terminal
kedatangan akan disambung dengan bus. Rasanya gimana gitu, habis naik pesawat
kok naik bus, kayak mudik lebaran saja. Ditambah lagi hand carry saya lumayan berat, tas kamera seberat 7 kilogram dan
tentengan tas plastik berisi oleh-oleh.
Pilot sudah mengumumkan bahwa pintu
boleh dibuka, tetapi ujung barisan penumpang tak bergerak juga. Para penumpang
lantas menggumankan kalimat bernada protes. Lama kejadian ini berlangsung,
sampai-sampai beberapa penumpang memilih duduk kembali. Setelah 10 menit
menunggu akhirnya pintu bisa dibuka. Tak ada penjelasan apapun dari awak
penerbangan atas insiden ini.
Ketika saya tiba di pintu keluar,
saya sempatkan menyapa pria berjas yang merupakan manajer awak penerbangan.
"Sampaikan ke Boeing ya Pak,
suruh belajar sama Airbus."
Teras Rumah, 14 September 2013,
11:04:11 WIB.
2 comments:
Nice field report Masla.. ..
Working n travelling dalam satu kegiatan, mantabnya. ...
thanks Rud... lebih banyak workingnya lhooo...hehehe
Post a Comment