Hari telah menunjukkan pukul 23.30
WIB ketika saya tiba di rumah dari perjalanan dinas di Bali minggu lalu.
Pesawat saya mendarat pukul 20.15 WIB, tapi bus Damri yang akan saya tumpangi
tak segera datang. Pukul 21.30 WIB akhirnya bus itu tiba. Perjalanan selanjutnya
amat menyiksa. Tol dalam kota macet parah. Setelah turun di Garuda Taman Mini,
saya melanjutkan perjalanan dengan jasa ojek.
Nyonya saya sudah saya pesan agar
pintu depan tak usah dikunci. Saya tidak enak ketika harus membangunkan dia
malam-malam begini. Toh selama ini daerah Kampung Makasar, tempat saya tinggal,
aman-aman saja. Setelah menurunkan tripod, saya membuka pintu. Langkah saya
surut ke belakang. Saya kaget bukan alang kepalang. Dumi, kucing yang setiap
hari menghuni teras rumah saya, berlari keluar dari dalam rumah. Tak biasanya
dia berani masuk ke dalam rumah. Batas wilayahnya hanya sampai teras depan dan
gang samping rumah. Didikan itu berhasil saya lakukan dengan cara agak kejam.
Selama ini jika dia nekad masuk rumah segera saya halau dengan melemparkan sapu
lidi kepadanya. Jitu, dia tak lagi berani menginjak meski sebatas ruang tamu.
Suara pintu tadi rupanya membangunkan
nyonya saya. Dalam sisa kantuknya, dia menyambut saya yang repot oleh bawaan.
Di punggung saya masih tersandang tas kamera. Tangan kanan saya menyeret travel
bag berwarna hijau, dimana di atasnya saya gantungi tas plastik berisi
oleh-oleh. Tangan kiri saya menenteng tripod kamera.
"Macet ya, Pak?"
"Iya Ma, maklum malam Sabtu.
Anak-anak sudah tidur?"
"Sudah, pada kecapekan. Kakak
pulang magrib, ada ekskul. Adek les sampai sore."
Saya lantas menuju kamar belakang.
Anak sulung saya, Abiiyyu, sudah tergolek. Saya usap kepalanya dan saya cium
pipinya. Demikian juga dengan anak bungsu saya, Abyan. Dia tidur dengan mamanya
di kamar tengah. Saya lantas kembali ke ruang tengah. Nyonya saya sedang
membongkar travel bag yang 95% isinya adalah pakaian kotor.
"Itu Dumi kok tadi masuk rumah,
Ma?"
"Iya, Pak. Seminggu ini Dumi
masuk rumah terus. Kerjanya mbuntutin kakak."
"Kok nggak diusir, to?"
"Pada nggak tega, Pak.
Kasihan."
Sejarah keberadaan kucing ini
lumayan panjang. Adalah anak bungsu saya yang memulainya. Syahdan ada seekor
kucing betina berwarna krem yang terbuang dari induk semangnya, tetangga kami.
Abyan sigap menampung kucing itu, bahkan sebuah nama lantas dia sematkan
kepadanya, Duma. Saya tidak tahu makna nama itu. Jadilah teras rumah kami terhuni
olehnya. Suatu hari Duma melahirkan 3 ekor anak. Yang satu tak panjang umurnya.
Yang satu lagi diadopsi oleh teman sekolah Abyan yang tinggal di komplek
perumahan TNI AU Halim Perdana Kusuma. Tersisa satu, itulah yang dipelihara
induknya.
Ketika musim kawin berikutnya, Duma
hamil lagi. Anak satu-satunya itu dia sapih dengan segera. Setelah disapih dia
segera pergi meninggalkan induknya yang tetap menjadi penghuni teras rumah
saya. Hanya sesekali saja dia berkunjung ke teras kami. Dia menjelma menjadi kucing
betina muda yang kurus perawakannya. Mukanya tirus, sorot matanya memelas.
Warna bulunya kusam. Kami serumah segera mengusirnya ketika dia berlama-lama di
teras.
Suatu siang tibalah saatnya Duma
melahirkan anaknya. Dia melakukan persalinan di rak baju kamar tengah, kamar
tidur Abyan. Kami serumah panik, tak tahu harus berbuat apa. Kakak sepupu saya,
Kang Saidi, yang kebetulan sedang merenovasi plafon teras rumah saya sigap
bertindak. Duma dan ketiga bayinya dipindahkan ke rak peralatan mobil di teras rumah.
Dibuatkannya kandang dari kardus bekas bungkus mie instant, tak lupa dialasinya
dengan kain handuk bekas. Masalah rupanya belum usai. Saya juga baru tahu,
bahwa kucing yang sedang mengasuh anak mempunyai kebiasaan memindahkan
anak-anaknya ke tempat yang berbeda-beda. Celaka.... Duma memboyong
anak-anaknya ke dalam rumah. Di bawah tempat cuci piring, di lemari pakaian
kamar saya, di bawah tangga, dan di banyak tempat lagi. Tetangga sebelah juga
mulai mengeluh, Duma mulai suka mencuri lauk dan mengacak-acak dapur mereka.
Kami sekeluarga akhirnya berembug.
Abyan bersikukuh tetap memelihara Duma dan ketiga anaknya. Saya, nyonya dan
Abiyyu sepakat membuang kucing itu ke pasar Pos Lama. Tempat yang kami harapkan
mampu menyediakan makanan buat mereka. Dengan air mata berlinang, akhirnya
Abyan rela melepaskan kucing itu. Di suatu siang, dengan dibungkus karung
beras, Duma dan ketiga anaknya kami buang di tempat sampah pasar Pos Lama.
Teras kami kembali sunyi, bebas dari
kekacauan. Anak Duma yang tadinya suka menyambangi induknya, sesekali masih
mendatangi teras. Nyonya saya rupanya jatuh belas kasihannya kepada kucing itu.
Dia lantas suka memberikan makan kepadanya. Seperti yang sudah saya duga,
kucing itu lantas menggantikan posisi Duma.
Saya sebenarnya tidak terlalu suka
dengan kucing ini. Tampangnya tidak manis. Tapi lama kelamaan saya suka
padanya. Tingkahnya lucu. Dia amat senang memainkan benda-benda yang
bergelantungan. Ketika saya lemparkan mobil-mobilan kecil, dia berguling-guling
memainkan benda itu. Juga ketika dikasih kelereng. Lumayan menghibur, pikir
saya. Bulunya pun lama-kelamaan berwarna krem terang, tak bulukan lagi. Mukanya
juga cerah, sorot matanya tidak sayu lagi. Saya namai dia Dumi, kependekan dari
Duma Mini.
Suatu malam, kami sekeluarga sedang
ngriung di teras rumah. Di lantai teras Dumi sedang berguling-guling mengejar
cicak kecil. Kami terkekeh-kekeh dibuatnya. Kemanapun cicak itu lari, Dumi
sigap mengejar. Dia tangkap, lantas dia lepaskan lagi. Tiba-tiba dari arah
depan terdengar suara meong-meong. Kami terperanjat. Seekor kucing betina
berlari dengan muka yang amat cerah mendatangi kami. Duma..... Tanpa permisi
dia langsung menggosokkan badannya ke kaki saya. Ah... Kami semua terdiam,
nyaris tercekat. Perasaan saya campur aduk, antara rasa bersalah sekaligus
bingung, mau diapakan Duma ini.
Kami berembug kembali. Abyan pengin
Duma diterima lagi. Kami bertiga sepakat posisi Duma sudah diganti Dumi.
Syukurlah Abyan mau menerima kesepakatan ini. Duma segera kami usir dari teras.
Dia tak bisa berbuat banyak. Dia tahu diri, tempatnya bukan di sini lagi.
Hari-hari selanjutnya berjalan
seperti biasa. Dumi amat patuh dengan aturan saya, tidak boleh menginjak area
dalam rumah. Kami menyediakan makanan kucing buatnya. Bulunya kian kinclong. Di
keempat kakinya muncul corak belang halus. Dia telah menjelma menjadi kucing
betina remaja yang menyenangkan.
Pagi tadi saya bangun kesiangan.
Ketika saya beranjak dari tempat tidur, saya kembali dikagetkan oleh keberadaan
Dumi di depan pintu kamar. Saya segera mengambil sapu lidi, dan melemparkannya
ke Dumi.
"Kok ada Dumi nggak diusir sih,
Ma?"
"Hehe... Bapak aja yang ngusir
deh. Mama nggak tega."
Saya tak berkata apa-apa lagi. Secangkir
kopi putih yang dibuat nyonya saya segera saya bawa ke teras. Dumi sedang duduk
di rak sepatu. Sembari menulis "Boeing vs Airbus", saya kembali
ngunandika. Saya sering diposisikan sebagai "orang galak" di rumah
ini. Ketika dua anak saya berantem, sayalah yang disuruh melerai. Teman-teman
anak saya juga surut langkah, tak jadi main ke rumah, ketika melihat keberadaan
saya di teras rumah. Kadang saya menikmati posisi ini tapi sering juga tak
nyaman dibuatnya.
Bagi saya disegani jauh lebih
penting dibandingkan dengan ditakuti, meski hanya oleh seekor kucing.
Sekian.
Bengkel Motor AHASS Cililitan, 14
September 2013, 15:01:57 WIB.
No comments:
Post a Comment