Friday, September 13, 2013

Pak Menteri, Sandalmu Menginjak-injak Sandalku



Saya tiba di masjid ketika Khotib sudah memulai khotbah. Seusai mendirikan sholat sunat di halaman masjid, saya bergeser ke tangga serambi masjid, duduk di sana menghadap keluar masjid. Di halaman, di bawah terik matahari, ratusan orang duduk dengan khidmat mendegarkan kotbah. Topiknya sederhana, kaidah dan keutamaan sholat Jumat. Khotib mewartakan bahwa seorang Muslim yang sempurna sholat Jumatnya adalah yang datang ke masjid dengan langkah yang tidak terburu-buru, mengambil tempat duduk dimana tersedia buatnya, tidak memaksakan diri melangkahi jamaah lain yang sudah duduk, kemudian duduk tenang mendengarkan khotbah.

Dibawakan dengan intonasi suara yang membuat mata saya terhindar dari kantuk. Ringkas, padat, tak sampai setengah jam pun khutbah itu usai.

Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada seorang pria bertubuh pendek yang baru tiba di masjid. Dia mengenakan peci dan berkaca mata minus. Wajahnya amat familiar, karena dia adalah seorang menteri yang latar belakangnya berasal dari organisasi keagamaan terbesar di negeri ini. Dia datang dikawal empat pria, salah satunya tinggi besar.

Celingukan melihat bentangan sajadah di halaman masjid yang sudah terisi penuh, rombongan itu memilih berbelok ke halaman samping masjid, belakang papan nama. Untuk mencapai halaman itu, mereka harus melewati ratusan pasang alas kaki jamaah yang sudah duluan tiba. Saya terhenyak, pria berpeci itu dengan acuhnya menginjak-injak alas kaki para jamaah. Sendal kulit warna coklat itu dia pakrir di tangga halaman yang harusnya sudah masuk area suci.

Di halaman samping itu tidak tersedia alas lantai. Para pengawalnya sibuk mencarikan alas. Seorang pengurus masjid tergopoh-gopoh memanggul karpet yang beratnya sekitar 10 kilogram, segera menggelarnya sedemikian rupa.

Sholat Jumat lantas segera dimulai. Saya merangsek masuk ke dalam masjid, melewati jamaah yang malas bergeser ke depan meski barisan depannya nyata-nyata kosong. Saya bersebelahan dengan pria muda berbadan agak subur. Jenggotnya tergerai sepanjang 7 centimeter. Konsentrasi rakaat ke dua saya agak terganggu dengan polah pria sebelah kiri saya ini. Ketika berdiri dari sujud, tangannya sibuk merapikan bajunya dengan menarik-narik ujung baju bagian bawah. Sejenak kemudian ketika sudah bersedekap, beberapa kali dia mengusap-usap muka dengan kedua telapak tangannya. Bahkan di posisi i'tidal-pun dia sempat-sempatnya kembali merapikan bajunya. Saya jadi berfikir, mungkin dia sedang membayangkan ada cermin di punggung jamaah depannya.

Ketika saya keluar masjid, halaman samping itu telah kosong. Menyisakan karpet merah yang belum dilipat.

Saya segera menuju belakang kantor untuk mencari makan siang. Pilihan saya jatuh pada gulai sapi. Sembari menunggu pesanan saya tiba, saya ngunandika, latar belakang dan penampilan seseorang tidaklah jadi jaminan atas nilai akhlak seseorang.

Wassalam.




Teras samping kantor, 13 September 2013, 13:06:45 WIB.



No comments: