Saya tiba di
masjid ketika Khotib sudah memulai khotbah. Seusai mendirikan sholat sunat di
halaman masjid, saya bergeser ke tangga serambi masjid, duduk di sana menghadap
keluar masjid. Di halaman, di bawah terik matahari, ratusan orang duduk dengan
khidmat mendegarkan kotbah. Topiknya sederhana, kaidah dan keutamaan sholat
Jumat. Khotib mewartakan bahwa seorang Muslim yang sempurna sholat Jumatnya
adalah yang datang ke masjid dengan langkah yang tidak terburu-buru, mengambil
tempat duduk dimana tersedia buatnya, tidak memaksakan diri melangkahi jamaah
lain yang sudah duduk, kemudian duduk tenang mendengarkan khotbah.
Dibawakan
dengan intonasi suara yang membuat mata saya terhindar dari kantuk. Ringkas,
padat, tak sampai setengah jam pun khutbah itu usai.
Tiba-tiba
pandangan saya tertuju pada seorang pria bertubuh pendek yang baru tiba di
masjid. Dia mengenakan peci dan berkaca mata minus. Wajahnya amat familiar,
karena dia adalah seorang menteri yang latar belakangnya berasal dari
organisasi keagamaan terbesar di negeri ini. Dia datang dikawal empat pria,
salah satunya tinggi besar.
Celingukan
melihat bentangan sajadah di halaman masjid yang sudah terisi penuh, rombongan itu
memilih berbelok ke halaman samping masjid, belakang papan nama. Untuk mencapai
halaman itu, mereka harus melewati ratusan pasang alas kaki jamaah yang sudah
duluan tiba. Saya terhenyak, pria berpeci itu dengan acuhnya menginjak-injak
alas kaki para jamaah. Sendal kulit warna coklat itu dia pakrir di tangga
halaman yang harusnya sudah masuk area suci.
Di halaman
samping itu tidak tersedia alas lantai. Para pengawalnya sibuk mencarikan alas.
Seorang pengurus masjid tergopoh-gopoh memanggul karpet yang beratnya sekitar
10 kilogram, segera menggelarnya sedemikian rupa.
Sholat Jumat
lantas segera dimulai. Saya merangsek masuk ke dalam masjid, melewati jamaah
yang malas bergeser ke depan meski barisan depannya nyata-nyata kosong. Saya
bersebelahan dengan pria muda berbadan agak subur. Jenggotnya tergerai
sepanjang 7 centimeter. Konsentrasi rakaat ke dua saya agak terganggu dengan
polah pria sebelah kiri saya ini. Ketika berdiri dari sujud, tangannya sibuk
merapikan bajunya dengan menarik-narik ujung baju bagian bawah. Sejenak
kemudian ketika sudah bersedekap, beberapa kali dia mengusap-usap muka dengan
kedua telapak tangannya. Bahkan di posisi i'tidal-pun dia sempat-sempatnya
kembali merapikan bajunya. Saya jadi berfikir, mungkin dia sedang membayangkan
ada cermin di punggung jamaah depannya.
Ketika saya
keluar masjid, halaman samping itu telah kosong. Menyisakan karpet merah yang
belum dilipat.
Saya segera
menuju belakang kantor untuk mencari makan siang. Pilihan saya jatuh pada gulai
sapi. Sembari menunggu pesanan saya tiba, saya ngunandika, latar belakang dan
penampilan seseorang tidaklah jadi jaminan atas nilai akhlak seseorang.
Wassalam.
Teras samping
kantor, 13 September 2013, 13:06:45 WIB.
No comments:
Post a Comment