Teman-teman
sekantor, sealumni kuliah, sering memuji dedikasi kerja saya. Betapa tidak,
saya hampir pernah pulang tepat pukul 17.00 WIB, batas akhir jam kantor saya.
Saya lebih sering pulang di atas pukul 20 an. Alasan saya sebenarnya klise,
tidak mau tua di jalan didera macet. Bukan karena saya asyik bekerja. Memang
sih, terkadang pekerjaan saya memaksa saya pulang larut malam, tapi itu tidak
sering.
Catatan absen
saya juga tidak terlalu bagus. Saya lebih sering absen pagi mepet pukul 08.00
WIB bahkan beberapa kali saya terlambat, absen di atas pukul 08.00 WIB. Atasan
langsung saya akhirnya memberi peringatan bahwa saya harus memperbaiki kinerja
absen tersebut. Saya sanggupi, meski itu hal berat bagi saya.
Saya selama ini
memang menikmati kemewahan hidup saya. Saya tinggal di dalam kota Jakarta, di
daerah Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur. Jarak ke kantor hanya sekitar 15
kilometer. Dengan sepeda motor, jarak tersebut bisa saya tempuh dalam waktu
setengah jam saja. Saya nikmati kemewahan hidup saya, bisa berangkat ke kantor
pukul 07.00 WIB. Sesuatu yang tidak bisa dinikmati oleh kawan-kawan saya yang
tinggal di Bekasi, Cibubur, Tangerang, apalagi Bogor. Saya sangat menikmatinya.
Teguran dan
peringatan dari atasan itu kemudian menemukan momentum. Anak pertama saya
semenjak awal bulan Juni kemarin mulai memasuki jenjang Sekolah Menengah Umum.
Nilai Akhir Ujian Nasionalnya mengantarnya ke SMU yang kebetulan searah dengan
rute menuju kantor saya. Pergulatan itu lantas terjadi, pecah di suatu malam.
Saya dari dulu
bersikukuh bahwa ketika seseorang belum memenuhi syarat untuk memiliki Surat
Ijin Mengemudi maka dia tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor kemanapun.
Pernah suatu hari anak pertama saya kepergok sedang menaiki motor milik
tetangga saya. Saya juga heran, darimana dia belajar bermotor. Malamnya saya
panggil dia.
"Nak, kamu
masih kelas 6 SD. Bapak tahu, kamu pengin bisa naik motor. Sama, bapak dulu
juga begitu. Tapi gini ya Nak, kamu belum boleh bermotor. Kalo suatu saat kamu
sudah berumur 17 tahun, hari itu juga bapak ajak kamu ke kantor polisi untuk
bikin SIM motor dan mobil. Nah, baru kamu boleh bermotor, bahkan
bermobil."
Anak saya
terdiam. Mungkin di benaknya timbul pikiraran, ah kuno kali bapakku ini. Itu
anak tetangga seusiaku pada diijinin wira-wiri pakai motor. Saya tidak peduli,
saya kukuh dengan pendirian saya.
Pendirian saya
mulai goyah ketika anak pertama saya masuk SMU. Sekolahnya memang agak
terpencil, tidak dilewati angkutan umum. Suatu malam, saya ajak anak dan istri
saya mengukur jarak dari tempat pemberhentian angkutan umum ke gerbang sekolah.
Saya ukur menggunakan odometer mobil. Ternyata jaraknya hanya 500 meter. Jarak
itu hanya lima kali panjang lapangan sepak bola, tempat anak saya seminggu dua
kali berlatih. Saya bawa analogi itu kepadanya dengan harapan dia bisa mengerti
bahwa dia bisa berjalan kaki, tidak harus bermotor. Tidak harus saya antar. Dia
terdiam. Saya sulit menafsirkan diamnya. Anak pertama saya memang memiliki
sifat mirip saya, cenderung diam ketika menghadapi persoalan. Jarang terbuka
dengan orang lain.
Hari pertama
masuk sekolah. Saya memutuskan membonceng dia ke sekolah, sekalian saya
berangkat kerja. Itu juga sekaligus perubahan kehidupan saya. Saya membuang
kemewahan berangkat pukul 07.00 WIB, karena anak saya pukul 06.30 WIB sudah
harus masuk sekolah. Sholat subuh saya yang sering kedodoran, pagi itu saya
jalani tepat setelah adzan berkumandang. Pukul 05.45 WIB saya sudah siap di
teras. Sesuatu banget. Perjalanan ke sekolah hanya memakan waktu 15 menit.
Ritual itu saya jalani sampai sekarang. Setiap saya melewati rute sejauh 500
meter dari pemberhentian angkutan umum sampai gerbang sekolah saya selalu mencari-cari
pejalan kaki yang menuju sekolah anak saya. Sampai saat ini saya tidak
menemukannya. Semua siswa di sekolah itu pergi ke sekolah naik beragam
kendaraan, membawa motor sendiri, naik ojek, diantar mobil atau bahkan membawa
mobil. Rupanya saya sendirian. Tak satupun orang tua murid yang mempunyai
prinsip seperti saya.
Pukul 06.45 WIB
saya sudah tiba di kantor. Atasan saya sumringah melihat perubahan saya.
Teman-teman seruangan pada heran, ada apa dengan Slamet, kok sekarang datangnya
pagi banget? Tidak ada apa-apa, saya hanya sedang menegakkan prinsip saya.
Bahwa tidak ada pembenaran satupun yang membuat seseorang tanpa SIM mengendarai
kendaraan bermotor.
Sekian.
Kampung
Makasar, 11 September 2013, 00:10:34 WIB.
2 comments:
Luar biasa Kang.....salut
Luar biasa Kang.....salut
Post a Comment