Wednesday, September 11, 2013

Jaman (rupanya) Sudah Berubah



Teman-teman sekantor, sealumni kuliah, sering memuji dedikasi kerja saya. Betapa tidak, saya hampir pernah pulang tepat pukul 17.00 WIB, batas akhir jam kantor saya. Saya lebih sering pulang di atas pukul 20 an. Alasan saya sebenarnya klise, tidak mau tua di jalan didera macet. Bukan karena saya asyik bekerja. Memang sih, terkadang pekerjaan saya memaksa saya pulang larut malam, tapi itu tidak sering.

Catatan absen saya juga tidak terlalu bagus. Saya lebih sering absen pagi mepet pukul 08.00 WIB bahkan beberapa kali saya terlambat, absen di atas pukul 08.00 WIB. Atasan langsung saya akhirnya memberi peringatan bahwa saya harus memperbaiki kinerja absen tersebut. Saya sanggupi, meski itu hal berat bagi saya.

Saya selama ini memang menikmati kemewahan hidup saya. Saya tinggal di dalam kota Jakarta, di daerah Halim Perdana Kusuma Jakarta Timur. Jarak ke kantor hanya sekitar 15 kilometer. Dengan sepeda motor, jarak tersebut bisa saya tempuh dalam waktu setengah jam saja. Saya nikmati kemewahan hidup saya, bisa berangkat ke kantor pukul 07.00 WIB. Sesuatu yang tidak bisa dinikmati oleh kawan-kawan saya yang tinggal di Bekasi, Cibubur, Tangerang, apalagi Bogor. Saya sangat menikmatinya.

Teguran dan peringatan dari atasan itu kemudian menemukan momentum. Anak pertama saya semenjak awal bulan Juni kemarin mulai memasuki jenjang Sekolah Menengah Umum. Nilai Akhir Ujian Nasionalnya mengantarnya ke SMU yang kebetulan searah dengan rute menuju kantor saya. Pergulatan itu lantas terjadi, pecah di suatu malam.

Saya dari dulu bersikukuh bahwa ketika seseorang belum memenuhi syarat untuk memiliki Surat Ijin Mengemudi maka dia tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor kemanapun. Pernah suatu hari anak pertama saya kepergok sedang menaiki motor milik tetangga saya. Saya juga heran, darimana dia belajar bermotor. Malamnya saya panggil dia.

"Nak, kamu masih kelas 6 SD. Bapak tahu, kamu pengin bisa naik motor. Sama, bapak dulu juga begitu. Tapi gini ya Nak, kamu belum boleh bermotor. Kalo suatu saat kamu sudah berumur 17 tahun, hari itu juga bapak ajak kamu ke kantor polisi untuk bikin SIM motor dan mobil. Nah, baru kamu boleh bermotor, bahkan bermobil."

Anak saya terdiam. Mungkin di benaknya timbul pikiraran, ah kuno kali bapakku ini. Itu anak tetangga seusiaku pada diijinin wira-wiri pakai motor. Saya tidak peduli, saya kukuh dengan pendirian saya.

Pendirian saya mulai goyah ketika anak pertama saya masuk SMU. Sekolahnya memang agak terpencil, tidak dilewati angkutan umum. Suatu malam, saya ajak anak dan istri saya mengukur jarak dari tempat pemberhentian angkutan umum ke gerbang sekolah. Saya ukur menggunakan odometer mobil. Ternyata jaraknya hanya 500 meter. Jarak itu hanya lima kali panjang lapangan sepak bola, tempat anak saya seminggu dua kali berlatih. Saya bawa analogi itu kepadanya dengan harapan dia bisa mengerti bahwa dia bisa berjalan kaki, tidak harus bermotor. Tidak harus saya antar. Dia terdiam. Saya sulit menafsirkan diamnya. Anak pertama saya memang memiliki sifat mirip saya, cenderung diam ketika menghadapi persoalan. Jarang terbuka dengan orang lain.

Hari pertama masuk sekolah. Saya memutuskan membonceng dia ke sekolah, sekalian saya berangkat kerja. Itu juga sekaligus perubahan kehidupan saya. Saya membuang kemewahan berangkat pukul 07.00 WIB, karena anak saya pukul 06.30 WIB sudah harus masuk sekolah. Sholat subuh saya yang sering kedodoran, pagi itu saya jalani tepat setelah adzan berkumandang. Pukul 05.45 WIB saya sudah siap di teras. Sesuatu banget. Perjalanan ke sekolah hanya memakan waktu 15 menit. Ritual itu saya jalani sampai sekarang. Setiap saya melewati rute sejauh 500 meter dari pemberhentian angkutan umum sampai gerbang sekolah saya selalu mencari-cari pejalan kaki yang menuju sekolah anak saya. Sampai saat ini saya tidak menemukannya. Semua siswa di sekolah itu pergi ke sekolah naik beragam kendaraan, membawa motor sendiri, naik ojek, diantar mobil atau bahkan membawa mobil. Rupanya saya sendirian. Tak satupun orang tua murid yang mempunyai prinsip seperti saya.

Pukul 06.45 WIB saya sudah tiba di kantor. Atasan saya sumringah melihat perubahan saya. Teman-teman seruangan pada heran, ada apa dengan Slamet, kok sekarang datangnya pagi banget? Tidak ada apa-apa, saya hanya sedang menegakkan prinsip saya. Bahwa tidak ada pembenaran satupun yang membuat seseorang tanpa SIM mengendarai kendaraan bermotor.

Sekian.

Kampung Makasar, 11 September 2013, 00:10:34 WIB.

2 comments:

Fathur Rahman said...

Luar biasa Kang.....salut

Fathur Rahman said...

Luar biasa Kang.....salut