Monday, September 2, 2013

Digoyang Isu

Tas punggung belum juga saya taruh di kamar, ketika istri saya menyambut dengan berondongan kalimat.

"Eh, tau nggak Pak, Jembatan Lama mau dirobohin. Jadi nanti kita nggak bisa ke sekolahan adek lewat situ lagi."
"Kata siapa, Ma?"
"Itu tadi bapak-bapak pada rame ngobrol di pos ronda."
"Kenapa dirobohin, Ma?"
"Ada yang bilang demi keamanan. Ada yang bilang juga nggak jelas. Komandan Pangkalan AU baru ganti."

Saya memang tinggal di kampung yang berbatasan langsung dengan Pangkalan TNI Halim Perdana Kusuma. Antara landasan pacu bandara Halim P dengan rumah saya hanya dipisahkan pagar, jalan, dan sungai buatan. Saya masih inget, ketika Air Force One yang membawa presiden Goergo W. Bush take off, ratusan warga sekitar tempat tinggal saya berbondong-bondong melihat pesawat tersebut. Ndeso banget yaaa....

Nah, dari kampung saya ke jalan samping bandara tersebut dihubungkan oleh jembatan kecil. Jembatan tersebut hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki. Sepeda motor tidak bisa melewatinya karena di setiap ujung jembatan di pasangi portal. Kawasan ini memang merupakan kawasan dengan tingkat penjagaan kategori "ring I". Kepala negara, tamu negara dan tamu-tamu penting lainnya datang dan pergi melalui bandara ini. Setiap hari Sabtu presiden juga main golf di sini.

Keberadaan jembatan tersebut jelas amat vital bagi warga kampung kami. Jalan samping bandara kebetulan adalah jalur angkutan Trans Halim yang menghubungkan perumahan Halim dengan Cililitan. Banyak warga kampung kami, termasuk saya, yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang berada di komplek perumahan TNI AU Halim Perdana Kusuma. Makanya ketika ada isu seperti itu, warga kampung kami serasa disengat. Pembicaraan seru lantas terjadi. Tapi di balik semua itu sebenarnya kami tidak berdaya jika jembatan itu benar-benar akan dirobohkan. Keberadaannya memang antara ada dan tiada. Sebagai kawasan Ring I seharusnya semua yang akan memasukinya melalui proses pemeriksaan provost.

Seminggu berikutnya saya kembali disambut istri saya dengan gempita yang sama. Kali ini berbeda topik.

"Pak, nanti rumah kita nggak masuk gang lagi, lho."
"Weh...serius, Ma?"
"Iya, tadi kata pakde Parno, deretan rumah pinggir jalan itu mau digusur, kena pelebaran jalan."
"Wah, asyik dong... Mobil kita bisa masuk rumah."

Rumah kami memang masuk gang kecil, dua rumah di belakang jalan Kerja Bakti VII. Jangankan mobil, gerobak bakso saja tidak muat. Sepeda motor saya harus terseok-seok ketika masuk gang, saking sempitnya. Delapan tahun tinggal di sini membuat kami merasa terkurung di antara rumah-rumah lain. Tak apalah, tapi saya tetap mendambakan rumah yang berhalaman dan bergarasi. Makanya isu barusan sangat meriangkan hati.

Tidak di rumah, tidak di kantor, isu datang silih berganti. Suatu hari di kantor beredar isu bahwa seluruh pegawai di sebuah KPP akan terkena hukuman disiplin karena menggunakan kantor mereka sebagai tempat tinggal. Sontak forum diskusi memanas, penuh makian. Makian-makian tesebut ditujukan kepada unit kepatuhan internal kantor kami. Tak lama isu itu hilang dengan sendirinya, karena memang tidak demikian kenyataannya.

Paling seru tentu saja isu mutasi. Level pejabat apapun sangat menikmati isu ini. Kasak-kusuk siapa yang akan jadi atasan jadi topik yang hangat setiap hari menjelang mutasi. Ketika akhirnya Surat Keputusan itu keluar, publik seperti mengalami pecah bisul, gempar. Ada yang bangga tebakannya tepat. Ada yang segera menganalisa arah pergerakan organisasi. Ada yang bersiap-siap menyusun strategi. Wah pokoknya seru...

Apapun itu, yang jelas hingga kini jembatan itu masih tegak berdiri. Mobil saya juga masih terparkir di pinggir jalan, karena depan rumah saya masih berupa gang sempit.

Hotel Padma Resort, 2 September 2013, 22:26:59 WIT.

No comments: