Speaker masjid
di bawah rumah saya baru saja diam, menandakan rangkaian ibadah sholat Magrib
baru saja usai. Masjid ini memang sedari menjelang adzan magrib sampai selesai
berdoa selalu mengumandangkan kegiatannya. Saya segera mengambil air wudhu di
kamar mandi rumah saya ketika speaker itu berbunyi kemresek pertanda seseorang
akan berbicara lagi. Saya memilih menunda masuk ke kamar mandi, karena pasti
ada pengumuman penting. Speaker masjid itu memang multi fungsi. Tak hanya
mengumandangkan suara azdan lima kali sehari, tapi juga pengumuman banjir,
kegiatan Posyandu, dan berita kematian.
Innalillahi wa
innaillahi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, guru kita habib Munzir bin
Fuad Al-Musawa pada hari ini........."
Saya terhenyak.
Buru-buru saya teruskan ritual yang tertunda, karena waktu sholat Magrib sudah
hampir habis.
Kelar
mendirikan sholat Magrib saya keluar rumah. Tetangga depan pada sibuk
berbincang, membicarakan kabar duka tersebut. Sosok habib Munzir memang lekat
di lingkungan tempat tinggal saya. Masjid Hasbi Al Bahri, yang mengumumkan
kematiannya tadi sudah dua kali didatangi habib tersebut.
Sejujurnya dari
awal saya tidak terlalu suka dengan sosoknya, termasuk organisasi yang dia
pimpin semasa hidupnya, Majelis Rasulullah. Perasaan tersebut tumbuh dari hal
sepele. Suatu malam saya mengikuti majels taklim di masjid tersebut. Guru pada
malam hari itu adalah habib Usman bin Yahya. Seperti biasa, saya setiap ke
masjid jarang memakai baju koko juga tak pernah berpeci. Saya hanya bersarung
dan mengenakan kaos panjang warna putih. Kepala saya sakit kalau memakai topi
atau peci. Tema pengajian malam itu adalah adab beribadah. Di tengah-tengah
bahasan tema, tiba-tiba sang habib menunjuk saya.
"Jadi
begini ya Pak, kalo pergi ke masjid itu jangan pakai kaos dong. Bapak pasti
punya baju koko. Itu namanya Bapak tidak etis ibadahnya. Masak mau menghadap
Allah pakai pakaian kayak gitu."
Saya tertegun,
kesal bercampur malu. Jamaah pengajian serentak melihat ke arah saya. Saya
hanya bisa diam tertunduk, tak berkutik. Sejak saat itu saya jadi malas
mengikuti pengajian di masjid itu apabila ketika dia yang menjadi nara
sumbernya. Bagi saya beribadah itu hanya mensyaratkan pakaian bersih, suci dan
sopan, tak harus berbentuk baju koko dan peci.
Demikian juga
ketika kampung saya dilanda hiruk pikuk menjelang kedatangan habib Munzir.
Seminggu sebelumnya panitia sudah sibuk mempersiapkan segalanya. Maklum,
mengundang habib Munzir tak semata hanya dia yang akan hadir. Ratusan pedagang
keliling pernak-pernik khas Islam akan membuntutinya. Manajemen Majelis
Rasulullah juga akan mengundang jamaah dari masjid lain yang jumlahnya ribuan.
Tempat tinggal saya berupa perkampungan padat dengan jalan dan gang yang
sempit. Hal ini tentu saja membuat panitia kelimpungan. Saya dihubungi panitia guna
meminta ijin penggunaan tempat parkir mobil saya untuk tempat berjualan. Saya
tolak mentah-mentah. Saya bergeming pada pendirian bahwa pengajian harusnya
tidak mengganggu hak orang lain.
Malam itu saya
sengaja pulang kantor larut malam Saya sama sekali tidak tertarik mengikuti
pengajian ulama besar itu. Hari telah menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika malam
itu saya memasuki gerbang kampung. Saya kaget, rupanya pengajian itu belum
selesai. Sepeda motor saya tak bisa memasuki gerbang kampung karena jalanan
sempit itu penuh oleh pedagang. Panitia memberitahu saya bahwa sepeda motor
bisa diparkir di depan gerbang, tempat ratusan sepeda motor lain juga terparkir
di situ. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya lantas meneruskan pulang ke
rumah dengan berjalan kaki sejauh 300 meter. Sepanjang jalan Kerja Bakti VII
menuju rumah saya dipenuhi oleh ratusan pedagang keliling yang menjajakan aneka
barang. Ada pakaian muslim, pewangi badan, souvenir, stiker, dan sebagainya. Di
jalan ini ratusan jamaah juga asyik berbelanja, duduk-duduk sembari ngobrol dan
lain-lain. Kegiatan yang tidak mencerminkan sebuah pengajian. Saya makin
apatis.
Setiba di
rumah, saya langsung mengganti baju kantor dengan baju kebesaran saya, celana
pendek dan kaos singlet. Saya lantas duduk di teras sembari menikmati teh panas
bikinan nyonya saya. Saya tak peduli dengan suara speaker masjid yang sedang
mengumandangkan marawis. Suaranya keras, agak memekakkan telinga, karena jarak
rumah saya dengan masjid itu hanya 50 meter.
Rupanya habib
Munzir bahkan belum tiba di masjid itu. Dia baru akan tiba sekitar pukul 22.30
WIB. Wah, habib macam apa ini, tega membiarkan ribuan jamaah menunggu, pikir
saya.
Ketika akhirnya
sosok yang ditunggu-tunggu itu tiba, jamaah sempat ricuh, berebut salaman
dengannya. Tak lama pengajianpun dimulai. Lamat-lamat saya mendengar suara
habib itu. Suaranya pelan, gandem, nadanya sejuk. Sayang kualitas pengeras
suara masjid itu tak terlalu bagus, sehingga saya tak berhasil saya tangkap
dengan jelas. Saya akhirnya memilih nonton film di stasiun televisi sampai
akhirnya pengajian bubar dan saya bersungut-sungut mengambil sepeda motor saya
yang masih terparkir di depan gerbang kampung.
Minggu siang
itu hawa sangat terik. Setelah setengah harian membereskan rumah, saya
leyeh-leyeh di depan tv. Pencetan tangan saya pada remote control berhenti pada
angka 11, TV One. Sebuah acara pengajian sedang on air secara live. Nara
sumbernya Habib Munzir. Saya obati rasa penasaran tempo hari dengan berdiam
sejenak mendengarkan tauziahnya. Benak saya dipenuhi prasangka, pasti isi
pengajiannya radikal dan tak membumi. Rupanya prasangka saya salah. Isi
ceramahnya amat membumi, dibawakan dengan suara dan intonasi yang santun, tidak
meledak-ledak. Saya bahkan terhenyak ketika dia menyampaikan pandangan tentang
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Menurutnya hal itu tidak cocok dengan
keragaman yang ada di sini.
Sampai di
situlah sikap saya menemukan titik balik. Stempel yang selama ini saya sematkan
kepadanya segera saya kelupas. Itulah saya, suka berburuk sangka terhadap
sesuatu yang tidak saya ketahui sepenuhnya. Itulah saya, prasangka yang
kemudian menutupi nalar sehat, lantas memvonis seseorang sedemikian rupa. Gusti
Allah, jauhkanlah saya dari sifat itu....
Kampung
Makasar, 17 September 2013, 23:43:16 WIB.
No comments:
Post a Comment