Thursday, September 19, 2013

Buruk Sangka


Speaker masjid di bawah rumah saya baru saja diam, menandakan rangkaian ibadah sholat Magrib baru saja usai. Masjid ini memang sedari menjelang adzan magrib sampai selesai berdoa selalu mengumandangkan kegiatannya. Saya segera mengambil air wudhu di kamar mandi rumah saya ketika speaker itu berbunyi kemresek pertanda seseorang akan berbicara lagi. Saya memilih menunda masuk ke kamar mandi, karena pasti ada pengumuman penting. Speaker masjid itu memang multi fungsi. Tak hanya mengumandangkan suara azdan lima kali sehari, tapi juga pengumuman banjir, kegiatan Posyandu, dan berita kematian.

Innalillahi wa innaillahi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, guru kita habib Munzir bin Fuad Al-Musawa pada hari ini........."

Saya terhenyak. Buru-buru saya teruskan ritual yang tertunda, karena waktu sholat Magrib sudah hampir habis.

Kelar mendirikan sholat Magrib saya keluar rumah. Tetangga depan pada sibuk berbincang, membicarakan kabar duka tersebut. Sosok habib Munzir memang lekat di lingkungan tempat tinggal saya. Masjid Hasbi Al Bahri, yang mengumumkan kematiannya tadi sudah dua kali didatangi habib tersebut.

Sejujurnya dari awal saya tidak terlalu suka dengan sosoknya, termasuk organisasi yang dia pimpin semasa hidupnya, Majelis Rasulullah. Perasaan tersebut tumbuh dari hal sepele. Suatu malam saya mengikuti majels taklim di masjid tersebut. Guru pada malam hari itu adalah habib Usman bin Yahya. Seperti biasa, saya setiap ke masjid jarang memakai baju koko juga tak pernah berpeci. Saya hanya bersarung dan mengenakan kaos panjang warna putih. Kepala saya sakit kalau memakai topi atau peci. Tema pengajian malam itu adalah adab beribadah. Di tengah-tengah bahasan tema, tiba-tiba sang habib menunjuk saya.

"Jadi begini ya Pak, kalo pergi ke masjid itu jangan pakai kaos dong. Bapak pasti punya baju koko. Itu namanya Bapak tidak etis ibadahnya. Masak mau menghadap Allah pakai pakaian kayak gitu."

Saya tertegun, kesal bercampur malu. Jamaah pengajian serentak melihat ke arah saya. Saya hanya bisa diam tertunduk, tak berkutik. Sejak saat itu saya jadi malas mengikuti pengajian di masjid itu apabila ketika dia yang menjadi nara sumbernya. Bagi saya beribadah itu hanya mensyaratkan pakaian bersih, suci dan sopan, tak harus berbentuk baju koko dan peci.

Demikian juga ketika kampung saya dilanda hiruk pikuk menjelang kedatangan habib Munzir. Seminggu sebelumnya panitia sudah sibuk mempersiapkan segalanya. Maklum, mengundang habib Munzir tak semata hanya dia yang akan hadir. Ratusan pedagang keliling pernak-pernik khas Islam akan membuntutinya. Manajemen Majelis Rasulullah juga akan mengundang jamaah dari masjid lain yang jumlahnya ribuan. Tempat tinggal saya berupa perkampungan padat dengan jalan dan gang yang sempit. Hal ini tentu saja membuat panitia kelimpungan. Saya dihubungi panitia guna meminta ijin penggunaan tempat parkir mobil saya untuk tempat berjualan. Saya tolak mentah-mentah. Saya bergeming pada pendirian bahwa pengajian harusnya tidak mengganggu hak orang lain.

Malam itu saya sengaja pulang kantor larut malam Saya sama sekali tidak tertarik mengikuti pengajian ulama besar itu. Hari telah menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika malam itu saya memasuki gerbang kampung. Saya kaget, rupanya pengajian itu belum selesai. Sepeda motor saya tak bisa memasuki gerbang kampung karena jalanan sempit itu penuh oleh pedagang. Panitia memberitahu saya bahwa sepeda motor bisa diparkir di depan gerbang, tempat ratusan sepeda motor lain juga terparkir di situ. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya lantas meneruskan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sejauh 300 meter. Sepanjang jalan Kerja Bakti VII menuju rumah saya dipenuhi oleh ratusan pedagang keliling yang menjajakan aneka barang. Ada pakaian muslim, pewangi badan, souvenir, stiker, dan sebagainya. Di jalan ini ratusan jamaah juga asyik berbelanja, duduk-duduk sembari ngobrol dan lain-lain. Kegiatan yang tidak mencerminkan sebuah pengajian. Saya makin apatis.

Setiba di rumah, saya langsung mengganti baju kantor dengan baju kebesaran saya, celana pendek dan kaos singlet. Saya lantas duduk di teras sembari menikmati teh panas bikinan nyonya saya. Saya tak peduli dengan suara speaker masjid yang sedang mengumandangkan marawis. Suaranya keras, agak memekakkan telinga, karena jarak rumah saya dengan masjid itu hanya 50 meter.

Rupanya habib Munzir bahkan belum tiba di masjid itu. Dia baru akan tiba sekitar pukul 22.30 WIB. Wah, habib macam apa ini, tega membiarkan ribuan jamaah menunggu, pikir saya.

Ketika akhirnya sosok yang ditunggu-tunggu itu tiba, jamaah sempat ricuh, berebut salaman dengannya. Tak lama pengajianpun dimulai. Lamat-lamat saya mendengar suara habib itu. Suaranya pelan, gandem, nadanya sejuk. Sayang kualitas pengeras suara masjid itu tak terlalu bagus, sehingga saya tak berhasil saya tangkap dengan jelas. Saya akhirnya memilih nonton film di stasiun televisi sampai akhirnya pengajian bubar dan saya bersungut-sungut mengambil sepeda motor saya yang masih terparkir di depan gerbang kampung.

Minggu siang itu hawa sangat terik. Setelah setengah harian membereskan rumah, saya leyeh-leyeh di depan tv. Pencetan tangan saya pada remote control berhenti pada angka 11, TV One. Sebuah acara pengajian sedang on air secara live. Nara sumbernya Habib Munzir. Saya obati rasa penasaran tempo hari dengan berdiam sejenak mendengarkan tauziahnya. Benak saya dipenuhi prasangka, pasti isi pengajiannya radikal dan tak membumi. Rupanya prasangka saya salah. Isi ceramahnya amat membumi, dibawakan dengan suara dan intonasi yang santun, tidak meledak-ledak. Saya bahkan terhenyak ketika dia menyampaikan pandangan tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Menurutnya hal itu tidak cocok dengan keragaman yang ada di sini.

Sampai di situlah sikap saya menemukan titik balik. Stempel yang selama ini saya sematkan kepadanya segera saya kelupas. Itulah saya, suka berburuk sangka terhadap sesuatu yang tidak saya ketahui sepenuhnya. Itulah saya, prasangka yang kemudian menutupi nalar sehat, lantas memvonis seseorang sedemikian rupa. Gusti Allah, jauhkanlah saya dari sifat itu....

Kampung Makasar, 17 September 2013, 23:43:16 WIB.

No comments: