Tahun ke tiga
berdinas di KPP. Baturaja saya mulai risau. Banyak hal memenuhi pikiran saya.
Melanggengkan hubungan dengan calon istri, melanjutkan sekolah, beli sepeda
motor, beli rumah, dan yang pasti pengin cepat pindah dari sini. Empat
keinginan pertama bisa saya tunda. Saya sudah punya calon istri, tinggal
mencari modal nikah. Memiliki sepeda motor bisa saya tunda, toh saya diberi
sepeda motor dinas Yamaha L2 Super jatah Kepala Seksi saya. Membeli rumah tidak
sederhana, apalagi saya tidak ingin hidup saya berakhir di kota ini.
Melanjutkan kuliah paling realistis ya daftar di Universitas Terbuka, karena di
Baturaja saat itu tidak ada perguruan tinggi. Adanya cuma virtual perguruan
tinggi, ya UT itu. Keinginan terakhirlah yang amat mengganjal pikiran saya.
Betapa tidak.
Saya merasa mentok berkarir di sini. Tak ada apa-apa yang bisa membuat saya
bersemangat kerja di sini. Penghasilan saya waktu itu sebesar 400.000 rupiah
per bulan. Meski saya bertugas di seksi basah, PPN dan PTLL, saya tidak punya
kesempatan untuk mendapat "uang tambahan" karena memang potensinya
nyaris ada. Tapi itu bukan permasalahan utama. Toh dengan penghasilan segitu
saya masih bisa menyisihkan sedikit buat modal mudik.
Masalah saya
cuma satu, saya pengin bekerja dekat dengan orang tua, sehingga jikapun saya
tidak bisa membalas budi baik mereka dengan materi, saya bisa sering-sering
menengok mereka. Saya memang setahun hanya bisa pulang dua kali, mengingat
sebatas itulah kemampuan keuangan saya. Saya jadwalkan kepulangan setiap
lebaran dan tengah-tengah antara lebaran tahun ini dengan tahun depan. Orang
tua saya sebenarnya tidak pernah menuntut saya harus bekerja dekat dengan
mereka. Baginya anak laki-laki itu harus merantau biar luas wawasannya. Bahkan
sejak kelas 6 SD sampai lulus kuliah saya sudah keluar dari rumah.
Posisi saya
sebagai pelaksana memang menyulitkan. Mutasi pelaksana skalanya tidak nasional,
hanya regional dalam lingkup satu kantor wilayah. Artinya, kemungkinannya saya
hanya akan berotasi di sekitar provinsi Bandar Lampung dan Sumatera Selatan.
Kondisi itu kian membuat saya tidak semangat bekerja. Saya lampiaskan itu
dengan kabur-kaburan dari kantor. Seusai absen pagi biasanya saya lari ke
warung Uda Mie Rebus, ngopi di situ sampai menjelang siang. Jam istirahat saya
manfaatkan untuk makan siang dilanjutkan dengan tidur siang di kamar kost
sampai pukul 14 an. Kembali ke kantor bukannya bekerja, tapi malah main games
di komputer atau sibuk tebar pesona ke tenaga honorer yang memang manis-manis
tampangnya. Pukul 16 saya sudah sibuk nyari-nyari kertas absen, pengin
cepat-cepat main tennis. Begitulah perilaku saya, setiap hari, terus menerus.
Saya bukannya
tidak berusaha mengurus mutasi dari sini. Tapi semua upaya saya, baik yang
kasak-kusuk maupun yang legal selalu gagal. Saya sudah dua kali mendaftar
sekolah Ajun Khusus, keduanya gagal. Saya patah arang, tapi tak juga membuat
kinerja saya membaik. Saya cenderung mengumpat organisasi yang telah begitu
tega menjerumuskan saya ke kota kecil di pedalaman Sumatera Selatan ini.
Demikianlah
saya. Saya lebih memilih mengumpat dengan keras, bukan bekerja dengan keras
agar pimpinan melihat prestasi saya sehingga mungkin itu bisa dijadikan
pertimbangan mutasi ke home base.
Saya hanyalah manusia penggerutu.
Hotel Atria
Serpong, 19 September 2013, 09:38:43 WIB.
No comments:
Post a Comment