21 April 2006 - Kartinian SD Angkasa III |
1 Juni 2013 - Wisuda SMP |
Tapi apa daya,
larangan itu sering dilanggar olehnya. Diam-diam, ketika lepas dari pengawasan
kami, dia suka membeli jajanan minuman dingin. Berulangkali kami memarahinya
tapi tak juga membuatnya jera.
Malam itu dia
merengek minta manisan buah yang ada di lemari pendingin. Saya bersikukuh tidak
mengijinkannya. Nyonya saya idem dito. Tapi dia merengek, bahkan menangis. Saya
menyerah.
"Ya sudah
Kak, tapi ambil sendiri ya, segelas kecil aja."
Dia lantas mengambil
gelas kecil di rak piring yang terletak persis di sebelah kiri lemari pendingin
itu. Saya meneruskan nonton siaran televisi di ruang tengah, persis di depan
lemari pendingin itu. Ruang tengah rumah kami memang menyatu dengan dapur.
Pembatasnya hanya berupa meja makan berbentuk huruf "L". Meja makan
itu terbuat dari bata yang bagian atasnya saya lapisi dengan keramik ukuran 40
x 40 cm sepanjang 2 meter. Desain ini terinspirasi dari meja bar di Pasar
Festival Kuningan, tempat saya dahulu suka bermain bilyard.
Di ruang tengah
tempat televisi itu terpajang, tidak ada kursi atau alas lantai yang permanen.
Saya memang sengaja mengosongkan ruang tengah tersebut agar terlihat lapang.
Kalau pengin nonton televisi kami menggelar kasur Palembang. Praktis dan tidak
memakan tempat.
Saya masih
asyik mencari-cari kanal stasiun televisi yang menarik untuk ditonton ketika
tiba-tiba terdengar bunyi "krompyang". Saya kaget. Bunyi itu berasal
dari arah lemari pendingin. Rupanya baskom alumunium tempat manisan buah itu
jatuh ke lantai. Anak saya sembrono. Dia tidak mengeluarkan baskom itu terlebih
dahulu, tetapi nekad mengambil manisan buah dari dalam lemari pendingin.
"Kakak!!!
Gimana sih? Ayoooo, bersihin semua tumpahan itu. Bersihin pake kain pel terus
keringin pake lap!!"
Saya meradang
tak kepalang. Emosi saya membuncah.
"Tadi kan
bapak sudah ngomong, hati-hati ngambil manisannya. Keluarin dulu baskomnya.
Masak gitu aja nggak bisa sih.
Anak saya diam,
tak mengeluarkan sepatah katapun. Dia tampaknya juga kaget dengan suara keras
tadi. Dengan muka menunduk dia ambil kain pel di kamar mandi. Segera dia
lakukan semua perintah saya tanpa bersuara sedikitpun. Nyonya saya yang sudah
tidur dengan anak bungsu saya sampai terbangun mendengar teriakan saya. Dia
segera ke dapur mengambil kain lap untuk mengeringkan lantai yang sudah selesai
dipel oleh Abiyyu.
"Nggak
usah dibantuin, Ma. Biarin dibersihin sendiri sama kakak. Bandel sih."
Nyonya saya
surut langkah. Dia sudah hafal dengan sifat suaminya. Dalam kondisi seperti ini
saya memang pantang dilawan, atau saya akan kian emosi. Dia memilih kembali ke
kamar tidur.
Adik kandung
saya, Bowo, yang melihat kejadian itu juga tak berani berkata apa-apa. Dia
memilih menyingkir ke teras. Baginya, kakak tertuanya itu terlalu menakutkan
untuk dikoreksi.
Saya lantas
meneruskan mencari-cari kanal siaran televisi. Tak juga menemukan siaran yang
menarik, saya lantas mencuci kaki, tangan, dan muka, bersiap tidur. Sebelum
menuju kamar tidur, saya melongok ke kamar tidur tengah tempat Abiyyu tidur
bertiga dengan mamanya dan adiknya. Dari balik pintu saya melihat dia sedang
duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk, air matanya berlinang. Dia duduk
sembari memegangi gelas kecil yang masih kosong.
Saya tak jadi
menuju tempat tidur. Kantuk saya hilang seketika. Dada saya sesak oleh emosi
yang berbalik arah, sebuah penyesalan. Saya duduk merenung di balkon jemuran.
Dalam kegelapan malam saya ngunandika. Jabatan tertinggi di rumah ini tak
membuat saya dewasa. Selama ini saya cenderung gencar mengkritik atasan yang
saya nilai tak punya nurani memimpin kami. Saya sedemikian mudah mencacinya,
mengumpatnya dengan pikiran buruk, percuma kalian digaji besar tapi
kenyataannya kalian hanya tenggelam dalam kursi empuk kekuasaan. Sejenak saya
sadar, saya ternyata belum bisa memegang amanah yang secara kodrati tersemat
sebagai ayah. Saya hanyalah pria ingusan yang tak bisa mengendalikan kekang
amarah.
Kampung
Makasar, 23 September 2013, 23:30:15 WIB.
5 comments:
speechless
Saya ikut sedih bacanya...karena saya juga suka melakukan hal yang sama,,,tulisan sederhana tapi bisa jadi pengingat kita sebagai orang tua...
semoga menyadarkan kita bahwa kodrat sebagai bapak adalah sebuah amanah sekaligus tanggung jawab yg TIDAK ringan..
iya mas Eka Surya. Semoga kita bisa belajar dari kejadian sederhana ini..
betul tzar.mento..... berat di amanah..
Post a Comment