Sunday, March 9, 2014

Melihat Surga dari Puthuk Setumbu - Sebuah Catatan Perjalanan

Berteduh di bawah Papan Nama
“Ok.. jam 01.30 aku nyampe situ.”

Itulah kalimat terakhir dari mas Rindhang melalui pesan WA. Saya segera memejamkan mata. Alarm di telepon genggam saya atur ke pukul 01.00 WIB agar saya punya waktu untuk cuci muka dan mempersiapkan kondisi. Kamera dan perangkat pendukungnya sudah saya siapkan di tas, tinggal menjinjingnya.

Ketika dua jam kemudian alarm itu menyalak, saya lantas bangun dengan segera. Setelah mencuci muka dan gosok gigi, saya bangunkan teman sekamar saya, Cupez dan tetangga kamar, mas Deddy. Sepuluh menit kemudian kami sudah berkumpul di lobi hotel, menunggu mas Rindhang.

Tak lama berselang, dari balik kegelapan malam, muncullah sesosok pria yang amat khas senyumnya. Kami lantas bersalaman. Saya bahkan merasa perlu mencium tangannya, sebagai tanda penghormatan baginya. Bagi saya, sosok pria kelahiran Surabaya ini sudah seperti kakak kandung sendiri. Bertahun-tahun kami terlibat pertemanan yang mendalam dan melibatkan emosi di dalamnya.

“Aku bawa termos jahe sama kopi, mau nyicip?”
“Boleh, Mas..”

Pria ini memang amat peduli dengan urusan bekal perjalanan. Kepribadian yang amat klop dengan istrinya. Suami istri ini memang dianugerahi Tuhan talenta memasak yang luar biasa. Belakangan mereka sukses merintis usaha kios makanan di kota ini. Dengan bangga dia bercerita bahwa sekarang sudah ada menu nasi bebek di warungnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kami segera masuk ke mobil yang terparkir di halaman hotel itu. Mas Fath, rekan sesama peserta workshop dari BPPK, memutuskan ikut bergabung bersama kami pagi ini. Kami agak susah menemukan dirinya, karena kami tidak tahu nomor kamarnya, dia memesan atas nama orang lain yang tidak kami kenal, dan nomor teleponnya tidak bisa kami hubungi.

Deru mesin diesel membelah kesunyian jalan Magelang. Yogya beberapa hari lalu diselimuti debu tebal akibat letusan gunung Kelud. Aroma debu itu masih tercium hingga kini meski Yogya sudah bersih darinya.

Hanya perlu waktu 45 menit untuk mencapai kawasan wisata candi Borobudur. Mas Rindhang perlu memelankan laju kendaraan untuk mencari jalur ke tempat yang kami tuju, karena papan penunjuknya hanya berupa tulisan kecil yang numpang di sebuah papan nama restoran dan tempat peristirahatan. Beberapa hari yang lalu dia sudah ke sini bersama anaknya. Namun memang tak mudaht menelusuri lagi rute yang sama mengingat waktunya adalah dini hari dan rute yang kami lalui sudah masuk daerah pinggiran. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai.

Ketika papan petunjuk itu kami temukan, mas Rindhang segera membelokkan arah mobilnya ke kiri. Selang beberapa kilometer kemudian kami menemukan papan penunjuk terakhir, sebuah papan kayu bertuliskan “Borobudur Nirwana Sunrise”.

Rute selanjutnya berupa jalan kampung yang hanya muat satu mobil. Jalan kampung ini sudah diperkeras dengan cor semen. Rumah penduduk berjajar rapi dan resik, khas perkampungan di Jawa Tengah. Tak lama kemudian jalan yang kami lalui menanjak curam. Perlu kelihaian mengemudi dalam kondisi jalan seperti ini. Namun rupanya tanjakan itu tidak panjang, hanya beberapa puluh meter. Seperminuman teh kemudian, mas Rindhang membelokkan mobil ke kanan, memasuki tanah lapang berlapis konblok dan diberi garis sejajar sebagai panduan pengendara mobil ketika memarkirkan mobilnya.

Tak berapa lama seorang pemuda berkalung sarung mendatangi kami. Dia mengarahkan posis parkir mobil. Hebat juga, pikir saya. Sepagi ini sudah ada yang siaga menjaga parkiran ini.
 
Loket Puthuk Setumbu
Kami lantas diarahkan menuju loket masuk kawasan perbukitan ini. Loket tersebut terletak di sisi kanan jalan, menyatu dengan rumah yang diperuntukkan sebagai posko pengelola tempat wisata ini. Di loket tersebut tertera tarif masuk kawasan wisata seharga lima belas ribu rupiah untuk wisatawan lokal dan tiga puluh ribu rupiah untuk wisatawan asing. Sebuah harga yang adil, menurut saya.

Seorang pria paruh baya berbadan kurus mendekati kami.

“Mau ditemani, Mas?”

Saya menoleh ke arah mas Rindhan, meminta pertimbangan.

“Boleh, Pak. Rada horor, je..”

Saya membatin geli. Di balik sosoknya yang garang, kang mas saya ini memang nyalinya tak besar.

Kami lantas menurunkan bawaan, termasuk dua thermos berisi jahe dan kopi panas serta selusin gelas plastik sekali pakai.

“Jauh jalannya, Mas?”
“Nggak, paling setengah jam..”

Ah... saya terdiam sejenak. Kalimat tadi agak menyiutkan nyali saya. Bayangan buruk kembali menyapa. Kuat nggak ya saya menaiki jalur ini?

Tadinya kami mau beristirahat dulu di sini, ketika tiba-tiba mas Deddy menawarkan sesuatu yang belum pernah saya lakukan.

“Kita motret Bima Sakti di atas, yuuk..”

Wah... memotret galaksi merupakan pengalaman baru buat saya. Selama ini saya terlanjur berkutat dengan fotografi liputan kegiatan kantor. Tawaran tadi sekaligus menaikkan nyali saya.
 
Surga itu berada di balik kabut

Puthuk Setumbu dalam balutan kabut

Dengan langkah digagah-gagahkan, saya berjalan paling depan. Jalur ini berupa jalan setapak yang sudah diperkeras dengan semen di beberapa bagian. Beberapa bagian lainnya masih berupa tanah merah, sehingga amat licin ketika basah, seperti saat ini. Sendal untuk naik gunung merupakan alas kaki yang amat cocok untuk mendaki jalur seperti ini. Selepas loket tadi, tak ada satu rumah penduduk pun yang kami temui. Kiri kanan kami adalah ladang penduduk, bahkan sebagian masih nerupa hutan. Suasananya memang rada menyeramkan.

Tak lama kemudian jalanan kian mendaki. Pihak pengelola taman wisata ini telah membangun anak tangga dari semen sehingga pejalan kaki tak perlu kawatir bakal kesulitan. Di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan lereng curam juga telah diberi pagar pengaman dari bambu, sekaligus bisa dipakai untuk berpegangan. Bapak berperawakan ceking tadi menerangi perjalanan kami dengan sebuah lampu senter kecil.

Tiba-tiba tanjakan di depan kian curam. Di ujung tanjakan nampak lampu neon menerangi sebuah bangunan kecil terbuat dari papan kayu. Subhanallah, rupanya itu adalah sebuah rumah ibadah, mushola.

Akhirnya kami tiba di sebuah puncak bukit kecil. Kami masuk dari sisi selatan. Selain dari sisi ini, ada jalan masuk dari sisi utara. Luasnya hanya seluas lapangan basket. Puncak ini telah dipapas rata sehingga amat nyaman bagi para pengunjung. Di bagian utara terdapat sebuah bangunan kayu menjulang tinggi, berlantai dua. Rupanya itu adalah gardu pandang. Di sebelahnya terdapat bangunan serupa, hanya saja tidak bertingkat. Bangunan ke dua ini fungsinya sama, hanya saja dimensinya sedikit lebih luas. Terdapat sebuah bangku permanen tempat kami bisa segera menaruh barang bawaan kami.

“Nggak apa-apa Mas semua kita taruh sini? Nanti kalo ada pengunjung lain gimana?”
“Tenang aja, pengunjung pertama adalah raja.. hahaha.”

Tawa mas Rindhang membelah kesunyian, membangunkan arwah-arwah penunggu bukit ini.

Saya segera mengekor langkah mas Deddy yang sudah lebih dulu mencari spot untuk memotret galaksi Bima Sakti. Dia mengambil posisi di sisi tenggara puncak bukit ini untuk mencari tatapan yang leluasa ke arah langit.

“Sebenarnya sudah tidak ideal motret Bima Sakti jam segini, mas Slamet. Sudah mulai turun posisinya.”
“Lho, enake jam berapa, Mas?”
“Jam sembilan malem lah. Posisinya masih di atas kita.”

Dalam kegelapan dini hari, saya manggut-manggut. Saya memang tidak punya modal pengetahuan apa-apa tentang hal ini, bahkan termasuk setting kamera.

“Pasang di F/8, ISO 800, WB Auto, waktu sekitar 20 detik, Mas Slamet.”


Bermodal penerangan dari power bank, saya segera menuruti petunjuknya. Clap!!!! Ajaib, hasil di lcd langsung kelihatan. Lensa 20-35 mm yang terpasang di body bersensor APS-C ternyata kurang lebar sudut pandangnya.

“Idealnya pakai 11 mili, Mas Slamet. Bima Sakti kan hampir memenuhi bidang langit.”
“Kalo nggak ya terpaksa kita gali lubang biar dapet sudut ya, Mas.. hahaha...”

Sayangya mendung datang di atas sana. Pandangan ke Bima Sakti terhalang olehnya. Cupez yang alpa membawa tripod sempat mengambil beberapa jepretan, bermodal tripod pinjaman milik mas Deddy.

Saat sholat Subuh telah tiba. Kami segera bergantian menunaikan sholat. Tempat bersuci tempatnya agak terpisah dari mushola tadi, menyatu dengan toilet. Airnya melimpah dan bersih, khas air pegunungan. Air disedot menggunakan pompa listrik dan ditampung di atas bangunan toilet. Sebelum berangkat saya sempat mengkhawatirkan keberadaan toilet di tempat ini. Ritual pagi saya mengharuskan adanya toliet. Untunglah pengelola tempat ini paham akan kebutuhan mendasar setiap manusia.
 
Bangunan toilet dengan air melimpah
Pelan-pelan pengunjung lain mulai berdatangan. Mereka rata-rata datang berombongan. Usianya beragam, meski kebanyakan anak muda. Bukit yang tadinya sunyi kini telah berubah menjadi ajang berkumpul puluhan orang. Mereka menunggu satu peristiwa yang konon keindahannya mirip surga, matahari terbit dari belakang candi Borobudur yang agung itu.
Fasilitas Rumah Ibadah

Seorang pria asing berusia enam puluhan tahun datang bersama istrinya. Dia segera menancapkan tripod dan memasang kamera tepat di sebelah tripod saya. Benda itu saya tancapkan di bibir jurang yang menganga di depan kami, menghadap ke arah timur, siap menghadang kedatangan sang dewi surga, matahari. Pria itu berwajah ramah. Sapaan dalam bahasa Inggris yang amat fasih saya balas sebisanya.

Ufuk timur mulai berderak oleh guratan cahaya matahari. Kamera sudah saya pasangi dengan lensa telezoom 80-200 mm, tinggal jepret. Pandangan mata semua pengunjung tertuju pada satu titik, cakrawala timur.

Waktu berjalan terasa lambat. Kami dilanda kerisauan. Mendung di kejauhan sana lah penyebabnya. Warnanya putih keabu-abuan. Menilik warnanya, saya pastikan dia adalah mendung, bukan kabut. Jarum jam tangan saya telah menunjukka pukul 05.30 WIB, dan mendung itu masih di sana.

Tiba-tiba gerimis turun dengan deras. Saya segera membungkus kamera saya dengan kantong plastik. Setelah saya pastikan aman dari guyuran hujan, saya segera berteduh di bawah bangunan di samping gardu pandang itu. Puluhan manusia berkumpul di sini. Seorang turis bule celingak-celinguk mencari tempat duduk.

Would you like to remove these stuffs? I need a seat.”

Dengan muka malu saya segera memindahkan tas kamera dan buntalan gelas plastik ke tempat lain. Di sebelah saya, mas Rindhang hanya bisa cengar-cengir. Prinsip the first visitor is King ternyata tumbang.

Beberapa kali saya bolak balik ke tempat kamera terpasang, untuk sekedar memastikan bahwa posisinya aman dari air hujan; pun demikian juga dengan pria asing pemilik kamera di sebelah saya. Dia berpayung, sementara saya tidak.

Hello, good morning. Wanna join with me here?”

Rupanya dia menawari saya untuk ikut berteduh di payungnya sembari menunggui kamera. Saya pikir tak ada salahnya, dari pada saya harus bolak balik. Saya hanya berharap dia tak banyak mengajak saya bercakap-cakap karena saya tahu kapasitas bahasa Inggris saya.

Namun harapan saya sia-sia. Pria itu selain ramah dan baik juga doyan ngobrol. Dia mulai mengenalkan dirinya. Namanya sulit saya eja dan ingat. Yang jelas dia berasal dari Sri Lanka. Dia sedang menghadiri sebuah seminar di ITB Bandung bersama istrinya. Gaung keindahan tempat ini rupanya sudah mendunia, sehingga menarik perhatiannya untuk berkunjung ke sini.

Topik pembicaraan mulai rumit. Saya juga mulai gagal paham dengan detil isi pembicaraannya. Satu hal yang saya tangkap jelas adalah ketika dia menebak bahwa sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilu. Saya penasaran, dari mana dia tahu hal itu.

I saw so many photos placed on the tree.”

Hahaha.... baru kali ini saya bisa memahami kelucuan dalam bahasa asing. Dia menerangkan bahwa di negaranya hal itu juga terjadi. Ketika musim kampanye tiba, pepohonan dipenuhi dengan tampang calon legislator. Dasar orang Asia, pikir saya.

Tiba-tiba seorang gadis berambut pirang mendekati kami.

Still waiting for the miracle?

Kami serentak mengangguk sembari tersenyum. Gadis itu hanya mengenakan kaos oblong tipis dan tak berpayung. Lagi-lagi teman baru saya ini dengan ramah mengajaknya bergabung dalam payung kami. Wow.. Sepayung bertiga dalam pagi yang rintik dengan gadis bule memicu hasrat lain dalam batin saya.
 
Pokok pohon penanda titik pusat Puthuk Setumbu
Rupanya dia berasal dari Belanda. Dia baru usai berwisata ke Bandung. Dari sekian banyak pembicaraannya, ada dua hal yang menyentil, yakni rendahnya kemampuan pramuwisata dalam berbahasa Inggris, sampai-sampai tak mampu membedakan towel dan blanket. Selain itu dia juga mengeluhkan minimnya penamaan dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris sehingga menyulitkan pendatang sepertinya. Dua hal  itu saya benamkan dalam ingatan, untuk suatu saat saya suarakan ke pihak yang berkepentingan.

Gerimis mulai reda, berganti dengan kabut yang datang tiba-tiba. Puncak ini berubah menjadi ruang dengan jarak pandang yang amat terbatas. Namun kabut itu hanya melintas sesaat.

Peristiwa yang kami tunggu-tunggu tak jua terjadi. Hari sudah terang benderang. Perlahan-lahan sebagian pengunjung mulai meninggalkan kawasan ini karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Gerimis dan kabut datang silih berganti.

Di gardu pandang rupanya telah tergelar lapak dimana dijajakan minuman hangat dan jas hujan kecil seharga sepuluh ribu rupiah. Dagangan itu lari manis karena sebagian besar pengunjung tak membawa payung atau jas hujan. Sayangnya tidak tersedia panganan atau mie instant di lapak itu, hanya teh dan kopi. Saya sampai berani menantang penjual itu untuk menyediakan mie rebus dengan harga dua puluh ribu semangkok, tapi dia menyerah. Dia bilang tidak punya alat merebus dan persediaan mie instant. Ah.. harusnya mereka melihat peluang usaha ini.

Tanpa terasa penghuni puncak ini hanya tinggal rombongan kami dan tiga pria yang sedang asyik memotret dan sekenanya. Borobudur sempat tampil sekejap, namun didominasi oleh balutan kabut dan mendung di batas cakrawala.
Kantor Sekretariat Pengelola Puthuk Setumbu
Pengunjung melihat foto-foto keindahan sunrise

Parkiran mobil amat representatf
Ketika akhirnya pada pukul 08.15 WIB akhirnya kami memutuskan untuk turun, kami menjadi pengunjung terakhir yang turun dari tempat ini. Bisa dibilang misi kami gagal, tapi itu tak membuat saya kecewa.
Foto Borobudur yang berhasil saya dapatkan

Puthuk yang dalam bahasa Jawa artinya puncak dan Setumbu adalah tempat menaruh padi, telah mengajak saya melihat surga dalam selimut kabut.

Kampung Makasar, 9 Maret 2014

1 comment:

Unknown said...

Salam hormat, Pak.
Punthuk Setumbu, saya yang tinggal relatif dekat dengan tempat itu malah belum pernah ke sana.
Oh iya, sepertinya kalau dalam bahasa jawa saya, punthuk itu berarti gundukan, dan setumbu berarti sebesar tumbu. Hehehe.