Surat Keramat itu |
Terminal
Tirtonadi pagi itu penuh sesak dengan keriuhan manusia. Waktu baru menunjukkan
pukul 05.30 WIB ketika saya dan Hendratno serta beberapa teman yang lain turun
dari bus kelas ekonomi. Kami tiba dari Jakarta, seusai melaksanakan daftar
ulang di Kampus STAN, Jakarta. Begitu melangkahkan kaki dari lajur kedatangan
bus, kami bergegas mendatangi penjaja Koran keliling. Hari itu adalah hari
dimana hasil UMPTN diumumkan serentak di koran, baik lokal maupun nasional.
Lembaran
Koran itu lantas kami bentangkan di lantai terminal. Bak laron yang mengerumuni
lampu neon, kami berlima sibuk berebut halaman mencari nama kami. Yang pertama
kali menemukan namanya adalah saya. Saya hampir melompat saking girangnya.
Slamet Rianto, Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntasi Universitas Gajah Mada.
Berturut-turut kemudian Hendratno yang diterima di Fakultas Kehutanan
universitas yang sama, dan tiga teman yang lain.
Setelah
selesai melampiaskan kegirangan di terminal, kami lantas berpisah. Saya
melanjutkan perjalanan ke desa saya di pelosok Wonogiri sana. Perjalanan ke
rumah orang tua menempuh jarak 74 kilometer dan harus berganti moda angkutan
dari bus besar ke mobil omprengan atau ojek. Jarak segitu biasanya saya tempuh
dalam waktu sekitar 3 jam.
Hari
telah beranjak siang ketika saya turun dari omprengan. Saya tidak langsung
menuju rumah, namun ke warung nasi yang berjarak 1 kilometer sebelum rumah.
Orang tua saya sejak 4 tahun yang lalu membuka usaha kedai nasi di Nglulur, di
sebuah pertigaan yang menjadi pangkalan omprengan di desa kami. Langkah ini
semula saya tentang. Saya merasa malu dan rendah diri melihat kenyataan bahwa
penghasilan bapak sebagai pegawai negeri di Puskesmas tidak mampu mencukupi
kebutuhan keluarganya. Bagi saya, dengan membuka warung nasi ini merendahkan
martabat bapak sebagai PNS. Namun apa daya, kenyataan berbicara lain. Saya yang
dilahirkan pertama kali saat itu masih duduk di bangku SMP, sementara ada 3
adik saya yang akan segera menyusul pendidikannya. Tentu hal itu semakin
membebani kondisi keuangan keluarga.
Saya
segera sungkem ke ibu yang sedang melayani pembeli.
“Piye, Le? Lancar perjalanmu?”
“Pangestunipun, Bu…. Lancar. Bapak
kemana, Bu?”
“Halah
bapakmu kok ditanyain. Itu tadi main ke balai desa. Dari kemarin dia sudah
gelisah nunggu kedatanganmu.”
Demikianlah
bapak saya. Beliau tak pandai bersandiwara di depan ibu. Di balik sosok
perkasanya tersimpan sisi kemelankolisan yang tak terduga. Beliau amat kawatir
dengan kondisi anak-anaknya. Dan itu biasanya dilampiaskan dengan jalan-jalan
keliling kebun atau ngobrol sana sini dengan teman-temannya. Padahal sejujurnya
beliau sedang mengusir gulana.
“Nggih sampun, saya susul ke balai desa ya, Bu,” ujar saya sembari
melangkah keluar warung.
Benar
saja. Bapak sedang berbincang-bincang dengan perangkat desa di situ.
“Lho,
kapan kamu nyampe, Le?”
“Baru
saja, Pak.. tu naik mobilnya mbah Karno,” jawab saya sembari sungkem kepadanya.
“Kepareng matur, Pak…. Dalem diterima di Akuntansi UGM.”
Sontak
berita ini membuat perangkat desa yang ada di situ memberi selamat kepada saya.
“Welaaa…
trus STAN-e piye, Le?”
Kami
berjalan berdampingan menuju warung. Sesampainya di warung, di meja telah
tersedia teh anget dan mie ayam bikinan ibu.
“Anake
biar sarapan dulu, Pak..” ujar Ibu.
Saya
segera meraih mangkuk mie ayam itu. Saya masih ingat, mesin pembuat mie itu
saya beli di Pasar Gede, Solo dua tahun lalu.
“Ngene lho, Le.. Bapak ibu seneng kamu
diterima di UGM. Tapi jangan jadi atimu
yo, bapak minta kamu tetep kuliah di STAN.”
“Inggih,
Pak. Saya manut.”
Gumpalan
mie ayam ini terasa hambar di mulut saya. Batin saya sedang berontak.
Kegirangan yang baru saja saya genggam di Terminal Tirtonadi mendadak menguap
begitu saja. Air mata saya menggenang. Rupanya ibu menyadari hal itu.
“Sing sabar yo, Le..” ujarnya sembari mengelus-elus kepala saya.
“Sakjane bapak juga nggak tega memutuskan
ini, Le. Ning kepiye maneh, adikmu masih tiga. Sebentar lagi
Titik dan Bowo masuk SMP.”
“Inggih, Pak.. dalem ngerti.”
Bayangan tentang kemonceran kampus UGM segera saya tebas. Ketika beberapa
hari kemudian surat panggilan dari UGM tiba di rumah, saya segera menyimpannya
rapat-rapat. Surat yang ditandatangi oleh rektor UGM, Prof. Adnan, itu masih
tersimpan apik hingga kini.
Sejujurnya ini bukan kali pertama saya dipaksa memilih karena keterbatasan
kondisi. Ketika masih kecil, setiap ditanya orang tentang cita-cita kelak, saya
selalu menjawab pengin menjadi dokter. Hal ini mungkin didasari pada romantisme
saya setiap kali ikut bapak ke Puskesmas. Figur dokter yang bertugas di
Puskesmas Kecamatan Tirtomoyo menampakkan kegagahan tersendiri bagi saya. Mulai
dari dokter Halim yang peranakan Cina itu sampai dokter Ngatman Harsoyo yang
kerempeng mirip Jokowi tapi baiknya minta ampun. Ketika saya sudah duduk di
bangku SMP bapak mulai realistis. Suatu hari beliau berkata, “Le, Bapak ragu
apa bisa nyekolahin kamu jadi dokter. Biayanya besar. Kamu sekolah perawat kayak mbakmu Naning aja ya...”
Baiklah, dokter mungkin tidak terjangkau oleh saya, tapi sekolah perawat? Bagi
saya profesi itu terlalu feminis. Untunglah saya berhasil meyakinkan beliau
bahwa saya tidak cocok dengan profesi itu. Dokter tetap terpatri dalam otak
saya sampai suatu hari om saya, Joko Susanto, yang alumni STM Mikael itu datang
ke rumah memamerkan slip gajinya. Mata saya terbelalak. Di selembar kertas
putih itu tertera angka yang amat besar, melebihi gaji bapak yang telah bekerja
dari tahun 1965. Pegangan saya goyah. Saya harus masuk STM Mikael.
Ketika lulus dengan NEM 46, dengan sikap yakin saya kemukakan niat saya
masuk STM Mikael. Lagi-lagi kehendak saya membentur karang.
“STM itu biayanya mahal, Le. Bapak lebih seneng kamu daftar SMA wae. Dengan NEM segitu bapak yakin kamu
bisa masuk SMA III Solo kayak putrane pak Sis itu.”
Saya tertegun. Tapi saya nekad. Selain mendaftar di SMA III, saya juga
mendaftar di STM Mikael. Saya tahu bapak amat enggan mengantar saya ke
sekolahan itu.
Seperti saya duga, STM Mikael akan menerima saya dengan syarat saya
melampirkan NEM asli. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan karena berkas
tersebut sudah terlanjur saya masukkan ke SMA III ketika melakukan daftar
ulang. Bayangan slip gaji om Joko itu segera saya buang jauh-jauh.
Dengan niat setengah hati, akhirnya saya menjalani
hari-hari sebagai siswa SMA III Solo. Tahun pertama saya lalui dengan pola
belajar yang amat kacau. Walhasil saya terjerembab ke A3. Dunia serasa kiamat. Saya
tidak melihat secercah harapan dengan situasi seperti itu. Bagi saya, jurusan
itu tak menjanjikan masa depan sama sekali. Yang paling utama adalah jurusan
kedokteran menjadi tertutup secara sistemik dengan kejadian ini.
Adalah om saya, Agus Suwandi, yang tengah kuliah di IKIP
Yogyakarta, yang pertama kali mengenalkan STAN kepada saya. Dari dialah saya
tahu banyak tentang sekolah ikatan dinas ini. Pelan-pelan hati saya mulai bisa
berdamai dengan keadaan. Tidak berhasil menjadi dokter ternyata bukan akhir
segalanya.
Lagi-lagi godaan itu mulai muncul. Melihat grafik prestasi
saya di kelas dua dan tiga SMA, kakak sepupu saya, Giyono, memberi wacana lain.
Menurutnya saya tidak boleh menggantungkan pilihan pada satu jurusan saja. Menjelang
pendaftaran perguruan tinggi, dia menantang saya untuk mendaftar di jurusan
Akuntansi UGM sebagai pilihan pertama. Hal itu didasari wacana dia bahwa UGM adalah salah satu universitas
terbaik di negeri ini. STAN bolehlah jadi alternatif, katanya. Kakak sepupu saya ini meski hanya lulusan SMA namun pengetahuan umumnya lumayan luas. Saya terima tantangan itu.
Demikianlah akhirnya. Pagi itu, di hari Sabtu, akhirnya
semua berlabuh di meja warung ibu. Semangkuk mie ayam dan segelas teh anget
menjadi pupus dari semua kehendak dan ego saya.
Bandung, 5 September 2014, 22.51 WIB.
4 comments:
Teman senasib, hidup itu pilihan.
Hehe
Dan semua ada hikmahnya ya fren.....
saiki wis menemukan hikmah kan?
Haha.. Iki dudu curhat lho mas...
Post a Comment