Senen,
9 Maret 2015
Saya
sedang berbincang dengan staf, ketika sebuah nama muncul di panggilan ponsel
saya. Semula saya mengira yang menelepon adalah salah satu Kepala Seksi Humas
Ditjen Pajak, karena di belakang namanya tertera “Kasi Humas..”. Sayang, frasa
setelah tulisan “Kasi Humas” tersebut tidak bisa tampil karena keterbatasan
lebar layar ponsel saya.
“Halo,
Kang Slamet. Akang ada di kantor?” Logat Sundanya amat kental. Ah.. saya salah
duga. Saya segera ingat, rupanya dia adalah kolega saya di Kejaksaan Jawa
Barat.
“Siap,
ada Pak. Bisa dibantu?”
“Ini
Kang. Ada temen dari LSM dan media pengin nanya-nanya masalah pajak. Akang
langsung ngobrol sama dia aja, ya?”
“Boleh,
Pak.”
Suara
kemeresek terdengar di ujung sana, menandakan ponsel sedang berpindah tangan.
“Siang
Pak Slamet. Saya Her** dari LSM XXX. Ada beberapa hal yang ingin saya
konfirmasikan ke Bapak. Kapan saya bisa merapat ke kantor Bapak?”
“Siang
Mas. Silahkan dateng hari ini. Kantor saya di Asia Afrika, seberang hotel
Preanger.”
“Baik,
Pak. Jam 2 kami ke sana. Saya bawa dua orang dari media, Pak.”
“Monggo,
Mas. Saya tunggu.”
Tak
berapa lama, adzan Dhuhur bergema dari speaker masjid kantor. Ah.. perasaan
Subuh baru saja tertunai, kini Dhuhur telah memanggil.
Seusai
sholat, saya segera menuju ke kantin di seberang KPP Madya Bandung. Dapur
Hindun, demikianlah nama tempat makan itu. Letaknya berada di gang senggol yang
berujung di sebuah rumah. Ketika kita duduk menghadap tembok, niscaya punggung
kita akan tersenggol orang yang lalu lalang di gang itu. Saya tak menyarankan
pemilik postur berlebih untuk makan di sini. Menunya sederhana, pun demikian
harganya.
Setelah
menandaskan sepiring nasi berlauk sop ayam, saya segera kembali ke kantor.
Kepada Satpam yang bertugas di lobi gedung K saya berpesan agar mempersilahkan
tamu saya yang akan segera datang. Beberapa surat belum saya disposisi. Voice
recorder saya siapkan di atas meja. Tumpukan surat saya baca dan corat-coret di
lembar disposisinya.
Berkas
di meja saya masih bertumpuk ketika sekonyong-konyong tiga pria sudah masuk ke
ruangan saya. Semula saya berencana menerima mereka di ruang tamu Bidang
P2Humas, karena ruangan kerja saya hanya muat dua kursi tamu. Namun apa daya,
mereka sudah berdiri di depan saya. Saya melambaikan tangan ke arah kang Deni
untuk menjejalkan kursi ke tiga di depan meja saya.
“Silahkan
duduk, Mas. Maaf, saya rapikan sebentar meja saya.”
Seorang
pria berpostur ceking mengenalkan diri sebagai Humas sebuah LSM Anti Korupsi.
Di tangannya tergamit sebuah berkas terjilid bersampul merah marun. Dua pria
lainnya, keduanya berpostur tinggi besar, mengenalkan diri dari sebuah media.
Saya tak berhasil mengenali nama media yang mereka sebut.
“Langsung
saja, Pak. Kami membawa hasil Rakorda Kanwil Bapak tahun 2011. Semua ada di
berkas ini. Isinya data tunggakan pajak. Saya akan minta data dan tindak lanjut
apa yang telah Bapak lakukan terhadap piutang negara ini. Tahun lalu kami sudah
membawa ini ke Banggar DPR, saya ketemu dengan Pak MM, namun yah...Bapak tahu
sendiri, pak MM tersandera kasus. Jadinya ngambang. Ini kan uang negara yang
harus kita selamatkan, Pak.”
“Sebentar
Mas. Kita sepakat pembicaraan ini direkam ya.”
Saya
segera mengaktifkan alat perekam dan saya letakkan di atas meja. Dua pria dari
media itu melakukan hal yang sama, mengaktifkan program perekam suara di ponsel
besar mereka.
“Data
apa yang Mas perlukan dari kami?”
“Ini
lho, Pak. Di berkas ini ada sebuah perusahaan yang bernama PT. IIL. Dia punya
tunggakan pajak milyaran rupiah. Saya ingin tahu sudah sejauh mana
penagihannya.”
Kang
Ijang, OB di ruangan saya melintas di tengah ruangan bidang. Saya lambaikan
tangan ke arahnya.
“Mas-mas
mau minum apa? Kopi atau teh?”
Pria
dari LSM dan salah satu awak media itu memesan kopi, sedangkan pria satunya
memesan air putih.
“Begini,
Mas. Kami memang mempunyai kewajiban melakukan diseminasi informasi ke publik
terkait perpajakan. Namun kami juga punya batasan, karena ada ketentuan yang
mengatur rahasia jabatan. Saya kawatir informasi yang Mas butuhkan itu masuk
dalam kategori yang harus saya rahasiakan.”
Pria
dari media itu angkat bicara, “Kalo begitu apa boleh kami mendatangi perusahaan
tersebut, Pak?”
“Oh,
silahkan Pak. Itu bukan wilayah kewenangan kami.”
Kang
Ijang datang menyajikan pesanan saya, dua cangkir kopi dan air putih dalam
kemasan.
“Ayuk
silahkan diminum, Mas. Kalo sudah ngopi gini enaknya kan ngomongin batu,
hahaha..” ucap saya sembari ngelus-elus batu Ijo Garut yang tersemat di jari
manis kiri. Batu berwarna hijau ini pemberian sohib saya, Kang Dadang yang kini
bertugas di KPP Pratama Bandung Cibeunying. Sosok pria ramah itu memang teman
yang baik. Ketika saya terserang meriang tahun lalu, dengan telaten dia
mengantar saya ke rumah sakit.
“Jadi
informasi apa yang bisa saya peroleh dari Bapak?” Tawaran saya untuk beralih
topik ke perbatuan rupanya tak mempan.
“Begini
Mas. Mas tahu Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik? Silahkan pelajari di
situ, informasi apa saja yang bisa diperoleh dari kami.”
“Apakah
atas tunggakan perusahaan tersebut sudah ada action dari kantor Bapak? Saya
lihat perusahaannya masih jalan lho, Pak. Jangan sampai negara dirugikan.”
“Mas,
menilai kesehatan perusahaan itu nggak cukup dari penampakan luarnya, lho.
Harus dianalisis laporan keuangannya. Bisa saja perusahaan yang tampak meriah
dari luar tapi sebetulnya sedang tidak
sehat. Dan untuk menilai hal itu nggak semua orang bisa melakukannya.
Harus punya keahlian khusus.”
“Jadi
apa yang bisa Bapak infokan ke kami?”
“Begini
saja, Mas. Sampaikan surat secara tertulis ke kami tentang hal-hal yang pengin
Mas ketahui. Nanti kami jawab sesuai kewenangan yang kami miliki.”
Kopi
di cangkir itu tinggal seperempatnya. Alat perekam menunjukkan durasi 56 menit.
Desi, staf di P2Humas memberitahu bahwa ada tiga orang siswa SMA ingin
mewawancarai saya. Saat yang sama, dua orang dari Radio PR FM sudah menunggu di
ruang rapat. Acara kampanye e-Filing hari minggu nanti memerlukan koordinasi
dengan mereka selaku partner kantor kami.
“Apa
pak Slamet keberatan jika masalah ini saya blow up di media kami?” ujar pria
dari media yang memesan air putih itu. Wajahnya lurus namun tatapan matanya
tajam.
“Oh...
sama sekali tidak, Pak. Silahkan dimuat di media Bapak. Lha wong saya ini
penginnya tiap hari di koran itu ada berita tentang pajak, je. Media massa itu
kan partner kami dalam menyebarluaskan informasi perpajakan, Pak. Tu, di rak
arsip saya ada koran Bisnis Indonesia yang memuat hasil wawancara dengan saya
tempo hari.”
“Ya
beginilah kerja kami ini, pak Slamet. Tak digaji. Tapi kalau ada rejeki dari
Bapak nggak kami tolak kok.”
Saya
menimpali ucapan mereka sambil tergelak, “Hahahaha.. sama Mas... saya juga
nggak nolak rejeki dari Sampeyan. Batunya bagus tu... boleh deh barter sama
batu saya.”
Tak
ada reaksi apapun dari pria pemakai batu itu. Mereka lantas pamitan. Ketiganya
saya antar sampai pintu ruangan bidang P2Humas. Di sofa ruang tamu, tampak tiga
siswa berseragam SMU menunggu saya.
“Saya
anter sampai sini ya, Mas. Saya tunggu suratnya.”
Tiga
pria itu menghilang di ujung selasar. Saya segera menyambagi tiga pelajar yang
seumuran dengan sulung saya itu.
“Ada
apa, Dik?”
“Ini,
Pak. Kami mau wawacara Bapak tentang arti penting membayar pajak dan apa pajak
yang dibayar masyarakat nanti nggak dikorupsi Gayus.”
“Hahaha...
okay... aku jelasin tentang Gayus dulu yaaa....”
Detik
berikutnya mulut saya menerocos ke tiga pelajar itu. Perlu waktu sekitar lima
belas menit untuk menjelaskan perpapakan umum dan kasus Gayus. Ketika mereka
pamit, saya iringi langkahnya ke lobi. Hormon endhorphin di otak saya nagih
nikotin. Di lobi gedung, tiga siswa itu bergabung dengan 2 siswi lainnya. Kedua siswi itu berparas elok dan mlunthuh.
“Kok
kalian tadi nggak ikut masuk?”
“Iya,
Pak. Takut keramean, ngganggu Bapak.”
Saya
memasang wajah bersungut-sungut.
“Heh,
kasih tau temenmu ya, lain kali mereka berdua harus wawancara aku lagi, kalo
nggak aku laporin ke guru kalian.”
“Nah
lo, Nit... dibilangin bandel sih, pak Slamet orangnya baik kok.”
Saya
tersenyum kecut sembari ngeloyor ke ruangan. Sesungguhnya saya tiba-tiba malas
harus rapat dengan dua pria dari radio itu.
No comments:
Post a Comment