Hawa
panas memanggang Jakarta. Angin dari teluk Jakarta menerobos menyeberangi
pelabuhan Tanjung Priok, lalu seolah bersarang di halaman kantor kami. Aroma
tak sedap meruah dari got di depan kantor yang tergenang sepanjang tahun.
Minimnya elevasi tanah membuat got itu menjelma menjadi kubangan abadi.
Saya
menghela nafas berat, sembari menyeka keringat yang mengalir di sekujur tubuh.
Tenda ini tak mampu melindungi kami dari serangan hawa sumuk, ditambah lagi
dengan hiruk pikuk ratusan manusia yang lalu lalang di halaman kantor pajak
Tanjung Priok. Halaman tak seberapa luas ini disulap menjadi arena penerimaan
SPT Tahunan PPh yang hari itu memasuki hari terakhir, 31 Maret.
“Pak,
ini gimana sih, masak kurang melulu lampirannya,” suara seorang pria tinggi besar
mengagetkan saya.
“Ya,
Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Mas
yang di sana bilang saya harus nglampirin Faktur Pajak, sementara yang satunya
bilang nggak usah. Kalian ini maunya apa sih?!!”
Saya
terhenyak sesaat. Tadinya saya pikir dia mau lapor SPT Tahunan, rupanya tidak.
Bundelan berkas yang sudah digelar di depan saya itu ternyata SPT Masa PPN. Saya tak bisa menyalahkan bapak ini. Meski ini
memang bukan “musim” lapor SPT PPN, bagi saya penolakan kepadanya akan
memperparah keadaan. Ini Priok, Bung; demikianlah ungkapan yang sering
digunakan untuk menggambarkan keseraman daerah ini. Kantor kami hanya
seperlemparan tombak dari terminal bus yang terkenal angker itu.
“Baik,
Pak. Memang Bapak gak salah kok. SPT Bapak nggak perlu dilampiri Faktur Pajak.
Simpan aja Pak Fakturnya, jangan sampai hilang. Nanti lapornya bisa besok-besok
aja ya. Kebetulan kami sedang konsentrasi nangani SPT Tahunan, Pak. Takutnya
berkas Bapak malah kececer.”
“Ah…
dasar kalian orang pajak. Kerjanya bikin susah,” ujar pria itu sembari ngeloyor
pergi.
Di
meja sebelah, suasana tak kalah seru. Asep, teman saya, sedang bersitegang
dengan seorang tamu.
“Sudah
syukur saya mau lapor, Pak. Saya ini Cuma buruh rendahan, gaji udah dipotong
pajak, eh mau lapor aja susah banget, ini salah, itu salah.. Rusak aturan
kalian itu.”
“Saya
hanya menyarankan agar Bapak mengganti SPT ini lho, Pak. Tulisan tangan Bapak
nggak kebaca. Ketentuannya memang begitu, kan harus lengkap, benar dan jelas.”
“Lha
memang tulisan saya jelek, situ mau apa?”
Asep
terdiam. Lajang asal Cisarua itu memang orang Sunda yang kalem, tak mau
konfrontasi.
“Ya
sudah Pak. Kalo memang Bapak nggak mau ngganti nggak apa-apa.”
Stempel
bundar lantas tertera di atas tanda terima SPT yang tulisannya acak-acakan itu.
Saya tersenyum getir membayangkan petugas perekam yang bakal pusing ketika melihat
angka itu.
Demikianlah
sekelumit cerita seputar hajat tahunan Direktorat Jenderal Pajak. Tanggal 31
Maret, kala itu, adalah hari yang amat riuh rendah di semua Kantor Pelayanan
Pajak. Semua Wajib Pajak seolah tak mau rugi dengan lapor di awal waktu. Semua
merasa kurang keren jika lapor sebelum tanggal-tanggal akhir.
Pun
demikian dengan kami. Ritual yang merupakan bentuk implementasi pelayanan
kepada Wajib Pajak itu ditunaikan secara tak serius. Pembentukan satgas seolah
hanya tinggal selembar Nota Dinas tanpa kekuatan apa-apa. Pegawai yang berada
di luar seksi PPh Badan dan PPh Perseorangan menganggap Nota Dinas itu angin
lalu. Mereka lebih suka mengerjakan pekerjaan sendiri di ruangan, seperti juga
saya yang saat itu bukan warga PPh Badan dan Perseorangan. Tugas di meja
penelitian itu saya jalani sekedarnya saja, sambil cuci mata, dan syukur-syukur
ada Wajib Pajak yang memberi uang rokok.
Kini
lima belas tahun telah berlalu dari kejadian itu. Hajat tahunan itu masih ada,
bahkan menjadi setahun dua kali, yaitu 31 Maret dan 30 April. Apakah suasana
pelayanan masih seperti yang tergambar di atas? Saya yakin tidak.
Tengoklah
sebentar ke KPP terdekat. Tempat Pelayanan Terpadu sekarang sudah nyaman dan representative,
tak lagi kusam seperti dulu. Petugas juga telah dilatih sedemikian rupa
sehingga bisa memberikan pelayanan yang baik kepada tamunya. Inovasi-inovasi
telah dilakukan, mulai dari e-Filing, SPT Drive Through, sampai ada yang
memberikan souvenir bagi pelapor via e-filing seperti yang dilakukan KPP
Pratama Purwakarta.
Dua Wajib Pajak berpose dengan souvenir yang diperolehnya dari KPP Pratama Purwakarta |
Kini
melapor SPT harusnya bukan sesuatu yang menyengsarakan. Kewajiban, ya memang
ini kewajiban, bagi setiap pemilik penghasilan di atas PTKP ini menjelma
menjadi ritual yang didesain semenarik mungkin. Sebuah KPP, lagi-lagi di
Bandung, menggunakan jasa SPG untuk menggaet WP agar mau menggunakan e-Filing.
Salah? Saya rasa tidak, meski kadang masih dipandang aneh. Pun demikian juga
dengan pemberian souvenir tadi. Salah? Masak salah. Mungkin iya, nyleneh,
apalagi setelah itu foto selfie-nya diunggah ke akun media sosial KPP tersebut.
Saya malah membayangkan lapor SPT awal waktu bisa dapet hadiah kambing.
Tidak
usah takut dengan inovasi sepanjang niat, tujuan dan caranya baik. Lha wong
nabi saja ada yang menganggap gila karena membawa ajaran baru.
Selamat
lapor.
Bandung,
30 Maret 2015.
No comments:
Post a Comment