Tuesday, March 31, 2015

Rindu Padanya



Tak ada yang sederhana ketika menyangkut bodro (pindah rumah). Bongkar perabotan, paking, angkut, bongkar lagi, tata, dan banyak yang tercecer bahkan hilang. Belum lagi urusan mindahin anak sekolah, lapor RT, nyari warung sayur baru, tukang gas, tukang jahit keliling, dan sebagainya. Itulah yang saya alami setahun yang lalu. Capek? Pasti.

Dua minggu pertama kami lewati dengan kulu-kilir (Bahasa Palembang: mondar-mandir) mencari rekanan dapur baru. Mulailah satu per satu kami temukan. Gas dan beras bisa diorder via telepon, tukang jahit keliling tak dikenal di sini, urusan RT beres, tinggal urusan sayur. Kebetulan nyonya saya tidak bisa bermotor, pasar jauh, ojek atau becak tak ada, sehingga harapan satu-satunya tinggal tukang sayur keliling. Kami memang tak biasa belanja sayur di toserba. Meski mampu, rasanya tak rela membayar seikat bayam seharga lima ribu.

Ajaib. Hidup kami memang tak dilebihkan, tapi seolah senantiasa dimudahkan. Suatu pagi pandangan mata nyonya menangkap sesosok pria sedang terbungkuk-bungkuk mengayuh gerobak sayur. Aha... Wanita yang saya nikahi sebulan setelah kerusuhan Mei 98 itu segera memburu gerobak tadi.

"Mang, jual sayur, ya?" nyonya saya seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Leres, Neng," sahut pria itu sambil menghentikan kayuhannya.

Pria bertopi itu lantas turun dari gerobaknya. Dari gurat wajahnya terlihat usianya di atas 60 tahun. Senyumnya lebar, menampakkan giginya yang menguning. Mang Sueb namanya.

"Priyogi sayur naon, Neng?"

Nyonya gelagapan. Dua minggu di Bandung belum cukup bagi kami untuk belajar bahasa Sunda. Lha wong melafalkan nama-nama daerah seperti Sekelimus, Kiara Condong, Ciroyom aja masih suka keseleo lidah, apalagi ditodong dengan bahasa halus seperti itu.

Demikianlah selanjutnya, setiap pagi, kecuali hari Minggu, Mang Sueb menyambangi kami. Kepadanya kami berpesan bahwa tak usah menunggu dibukakan pagar halaman, buka saja sendiri, karena pagar itu tak pernah kami kunci. Derit pintu pagar pada pukul 06.05 menjadi penanda kedatangan pria asal Pangandaran itu. Dalam beberapa kesempatan saya ikut nimbrung nyonya di gerobak warna biru yang jadi lapak dagangan tersebut. Saya kagum, gerobak besi ini ternyata memuat banyak komoditi, mulai dari sayur mayur, daging, ikan, bumbu-bumbuan, serta buah-buahan.
 
Mang Sueb dengan mobile lapaknya
"Kalau saya borong semua, berapa segerobak ini, Mang?"
"Ah, Bapak aya-aya wae. Dua juta, Pak."

Haaa.. saya terperangah. Semula saya pikir nilai dagangan Mang Sueb ini tak lebih dari 500 ribu.

"Bu, punten. Ini jeruknya masem, nggak usah dibeli. Besok aja saya carikan lagi yang manis," ujar Mang Sueb kepada nyonya. Mang Sueb memang melayani pesanan apapun dari pelanggannya. Kami, lagi-lagi, amat beruntung. Rumah kami adalah pelanggan pertama setiap pagi sehingga nyonya bisa dengan radikal memilih sayuran.

"Pak, punten. Tadi saya nanem labu siem di kebun Bapak. Udah ada tunasnya," ujarnya suatu hari. Dan memang benar. Di petakan samping rumah dinas ini telah tertanam sebuah labu Siam. Saya terharu dengan inisiatif pak tua ini. Tanaman itu sekarang sudah menjalar ke segala penjuru, dan Mang Sueb lah yang memberinya lanjaran.

Dua bulan lalu Mang Sueb pamit untuk tak berjualan selama seminggu. Mau pulang kampung, katanya. Di antara kami memang timbul ikatan batin yang tak sekedar pembeli dan penjual.

“Jangan lama-lama ya Mang, susah saya kalo nggak ada Mang Sueb,” pesan nyonya.
“Sumuhun, Ibu.” Pria tua itu segera mendorong gerobaknya keluar halaman.

Suatu pagi terdengar bunyi ganjil setelah bunyi derit pagar rumah kami. Bunyi itu mirip dengan alarm truk ketika dikemudikan mundur, "Nit...nit...niiiiiit." Ah... saya terpana. Jika sebelumnya kendaraan tempur Mang Sueb adalah gerobak tua, pagi ini berbeda. Bunyi nit nit tadi rupanya berasal dari gerobak bermotor. Posisi duduk Mang Sueb pun sudah tidak di belakang gerobak lagi, tapi berpindah ke depan. Maka pantat gerobaklah yang masuk terlebih dulu ke halaman rumah kami.

Saya bergegas mendekat.

“Waaaah… keren nih, Mang. Kenapa ganti?” saya berkeliling mengitari sepeda motor merk China yang telah dimodifikasi menjadi gerobak canggih itu. Electric starter, gigi mundur, dan tentu tak harus mengeluarkan tenaga untuk mengayuh. Rak sayurnya pun lebih apik. Rak itu didesain secara bersusun seperti laci, sehingga bisa ditarik keluar. Saya geleng-geleng.

“Iya, Pak. Saya sudah tua, sudah gampang capeeek.”
Saya mahfum. Di usianya sekarang, seharusnya pria ini tinggal mengasuh cucu sembari menjalani kegemaran. Sayang, kehidupan kadang berjalan di luar kehendak manusia. Sebetulnya saya pengin bertanya kemana anak-anaknya, kenapa dia biarkan pria selanjut ini masih berjuang mencari nafkah? Ah, niat itu saya urungkan. Rasanya Mang Sueb bukan satu-satunya pria yang menjalani masa tua dengan beban seberat ini. Saya lalu teringat pakde Yadi, dan pakde-pakde lain yang kehidupannya mirip dengan Mang Sueb.

Seminggu lalu saya pulang ke rumah dalam keadaan lapar berat. Tudung nasi segera saya kuak. Sepotong lele tampak “ngglinding” di sana. Tak ada sayur, tak ada oseng, menu kegemaran saya. Dan ini sudah berlangsung beberapa hari.

“Iya, Pak. Mang Sueb nggak jualan,” kata nyonya menanggapi keluhan saya. “Apa dia sakit ya, Pak?”
“Waktu ketemu terakhir emang bilang apa, Ma?”
“Iya, dia bilang badannya ngilu-ngilu semua, kayaknya encok. Mama liat memang mukanya pucet gitu sih.”

Saya terdiam. Rasa lapar itu menafikkan kekawatiran tentang kondisi kesehatan rekanan dapur kami.

Tiga hari lalu saya coba telepon Mang Sueb. Telepon selulernya tak bisa dihubungi. Kami mulai was-was. Tak ada satu orang pun yang bisa kami tanyai perihal ini. Semalam saya kembali mencoba meneleponnya.

“Assalamualaikum, Mang. Mang Sueb sakit?”
“Wa alaikum salam. Oh, Bapak ya….? Iya, Pak. Saya masih sakit.”
“Lho, sakit apa, Mang? Sudah berobat belum?”
“Sumuhun, Pak. Darah tinggi. Sudah berobat. Tapi masih disuruh istirahat dulu. Barang seminggu lagi saya mungkin sudah bisa jualan.”

Nada suaranya memang terdengar lemah. Seolah dia sedang menahan rasa yang berat. Kondisi tersebut segera saya kabarkan ke orang rumah.

“Belanjalah ke Griya, Ma. Masak suamimu yang pejabat ini dikasih lauk lele melulu. Boseeeennn. Lama-lama bikin darah tinggi juga, tauk…”

Halaman rumah kami masih dirundung sepi. Rumput teki yang tempo hari dicabuti adik saya kini mulai bersemi kembali. Tunas teki itu seolah mengejek kami. Mengejek seisi rumah yang tengah dirundung rindu pada Mang Sueb.

Bandung, 31 Maret 2015.

No comments: