Saya
baru saja melangkah ke dalam Gerai Telkomsel Bandung, ketika ponsel di saku
berderak dan berdering keras.
“Jadi
cuma sebatas ini pertemanan kita?”
Ponsel
Samsung G-Note I yang saya beli dalam kondisi bekas dua tahun lalu itu saya
jauhkan dari telinga. Saya ragu dengan nama yang terpampang di situ setelah
mendengar kalimat barusan. Ah, tak ada yang salah. Pak Pulung, sohib di Kanwil
Jawa Barat I, demikianlah nama yang muncul di layar itu.
“Ya,
Pak. Ada apa ya?”
“Masak
bagi-bagi batu saya ndak kebagian. Tipislah pertemanan kita selama ini.”
“Hahahahahaha…..
siap pak Pulung. Untuk Bapak masak saya kasih batu itu. Nggak level-lah. Masih
ada kok, Pak..”
Batu
ini memang bikin kami semua gila. Setiap hari ruang-ruang waktu kami selalu
diisi dengan pembicaraan mengenai per-batu-an. Saya yang selama ini sama sekali
tak tertarik dengan batu tiba-tiba jadi penggila. Beberapa koleksi batu yang
sudah saya gudangkan sejak puluhan tahun silam kini saya keluarkan dari laci.
Pun ketika ada cukong nawarin batu yang warnanya menarik, saya tak segan
menyisihkan uang rokok untuk menebus maharnya. Gila….
Sepulang
dari Gerai Telkomsel hari telah memasuki waktu Ashar. Seusai sholat di masjid
kantor, sekumpulan pria tak langsung kembali ke ruangan. Mereka, termasuk saya,
ngobrol di sudut gedung. Sudah tentu topik obrolan kami adalah batu, sambil
menggosok-gosokkan batu kepunyaan masing-masing ke celana kerja.
“Jadi
mana bagian saya, mas Slamet?” pak Pulung langsung menagih janji.
“Bagian
apa. Nih? Jangan main belakang dong!!” uda Edral, Kasi sebelah ikut-ikutan
menyela.
“Naaah..
Uda nggak dikasih juga sama mas Slamet? Wadoooh, paraaaah…” pak Pulung kian
kalap.
“Wasyuuuuu….
Matek aku. Gara-gara secuil batu kok
saya jadi orang hina gini yak…”
“Hahahaha….
Makanya jangan pelit berbagi, mas Slamet. Udah mana batunya, kita belah di
sini. Nanti suruh Tommy aja yang bawa ke tukang asah.’
Demikianlah
akhirnya. Sebongkah batu kiriman “sedulur
sinorowedi” dari Bangko itu sah menjadi bancakan penyembah berhala kantor
kami. Tommy senyum-senyum saja mendapat titas membawa batu itu ke tukang asah.
“Pokoke
minggu depan kita sepakat pakai batu dari mas Slamet yaaa….”
Edaan…
batu sudah membuat kami gila.
Hari
berganti minggu. Sore tadi sesuai Ashar, kelompok penyembah batu kembali
berkumpul di tempat biasa.
“Asem
tenan, barusan dapet sms dari Mandiri, jebule TC-ku turun sejuta lebih. Padahal
absenku penuh. Baru inget kalo turun grade,”
ujar pak Pulung sambil bersungut-sungut.
Kemarin
beberapa dari kami memang dilantik dalam jabatan baru sesuai aturan mengenai
reorganisasi DJP. Saya termasuk di dalamnya. Seksi Humas berubah nama menjadi
Seksi Kerjasama dan Hubungan Masyarakat. Keramas adalah akronim pertama yang
muncul di benak saya. Pak Pulung juga mengalami hal yang sama dengan saya.
Bedanya adalah dia turun grade dari 15 ke 14, sedangkan saya tetap di 14.
“Wis to Mas, rejeki nggak akan tertukar,”
ujar mas Eko. Fungsional penyidik itu sebetulnya bukan penggemar batu, namun
sesekali dia bergabung bersama kami. Pria asal Semarang itu kembali ke
ponselnya, tak hirau dengan reaksi ucapannya barusan.
“Lha
inggih lah, mas Eko. Rejeki grade 15
mah nggak akan tertukar dengan grade 14…hahahaha”
Sahutan
saya memancing gelak tawa anggota per-akik-an ini.
“Jadi
kalo dikaitkan dengan kenaikan Tukin nanti, berapa potential loss pak Pulung?” tanya uda Edral denga senyum sinis. Dasar
orang Minang, rasanya tak puas kalo semua persoalan tidak dihitung untung
ruginya dari sisi uang. Pak Pulung seolah kehilangan kata-kata. Lulusan STAN 92
itu memilih ngelus-elus bacan yang tersemat di jari manis kanannya.
“Dua
setengah juta, pak Pulung. Setahun berarti tiga puluh juta. Bisa beli bacan
berapa tuh?”
Tawa
kami kembali pecah. Seorang wanita berseragam Bea dan Cukai yang kebetulan
tengah melintas sampai menoleh ke arah kami.
“Ngomong-ngomong
Tukin jadi nggak sih?”
“Sudahlah
pak Slamet. Nikmati saja yang ada. Pak Slamet nggak turun grade, kan?”
“Nggak,
Da. Dan Alhamdulillah saya sekarang nggak minder lagi. Di komunitas ini ada dua
orang yang grade 14, saya dan pak Pulung.. hahahaha.”
Pak
Pulung kembali tertohok. Dia ngeloyor ke kios rokok mang Ajo. Sebotol minuman
dingin dia tenggak di depan kami.
“Uda
tahu nggak, kemarin-kemarin pak Pulung tuh minumnya Pocari, lho. Kok hari ini
minumnya teh botol doang, ya?”
“Masak
pak Slamet nggak tahu. Grade, Pak… gradeeeee….”
Kembali
sore ini seolah mau meledak oleh derai tawa kami.
“Makanya,
Da. Kalo ada idle cash tahan dulu deh, kayaknya sebentar
lagi ada yang jual batu murah nih…hahahahaha…..”
“Betul
pak Slamet. BU CPT (butuh uang cepat).. huahahahaha….”
“Ngomong-ngomong
Tommy kemana ya, Da?” Kebetulan uda Edral adalah atasannya.
“Lagi
cuti, mas Slamet. Minggu depan baru masuk,” sergah pak Pulung seolah menemukan
celah pengalih topik.
“Lha
trus urusan pesanan batu kita gimana dong?” saya mulai was-was.
“Yaah…
gimana lagi. Kita tunggu aja sampai dia masuk, Mas.”
“Walaaah..
kacau nih. Ngaplo bin ndlongop (kecewa)
deh kita. Aturan udah bisa kita pake rame-rame kok malah cuti bocah iku.. Ngomong-ngomong
kok urusan batu ini seolah nyindir kita ya? Tukin yang diarepin, turun grade
yang malah dateng…hahahahahaha……!!!!!!”
Tawa
keras kami berlanjut di perjalanan kembali ke ruangan masing-masing. Kami,
empat pria berumur ini, berjalan beriringan. Pak Pulung merangkul pundak saya.
“Sama-sama
grade 14 jalannya bareng ya, Le…Hahahahaha”
Bandung,
1 April 2015
No comments:
Post a Comment