Entah apa maksud Tuhan
yang telah memberi saya sifat suka menerima barang lungsuran (bekas pakai). Serius, saya tidak sedang membual. Barang
yang saya maksud meliputi apa saja, mulai dari pakaian, gadget, peralatan olah raga, atau apapun. Selain itu saya juga
gemar membeli barang bekas. Jenis barangnya pun lagi-lagi tak terbatas. Sebut saja
jas yang saya pakai waktu menikah. Jas itu dibelikan oleh (calon) kakak ipar di
pasar pakaian import bekas di Jambi sana seharga 50 ribu. Lalu beberapa telepon
seluler, sepeda buat anak saya, bahkan sepatu pantofel buat ngantor. Saya memang
berlangganan sepatu bekas di pasar Taman Puring. Dengan harga 150 ribu saya
sudah bisa menenteng sepatu kulit yang masih kinyis-kinyis.
Apa yang melatarbelakangi
sikap ini? Tak ada sih. Semata-mata karena kepepet keadaan saja; tak punya
cukup uang untuk membeli barang baru berkualitas bagus. Atau mungkin saya
memang tak punya ego serta gengsi tampil ala priyayi; yang harus serba wah dan
mengundang komentar “Waaaah..” dari para penggemar saya. Sama sekali tidak,
saya memang tak punya rasa gengsi dengan penampilan. Orang tua selalu berpesan,
hidup jangan mencari sensasi penampilan dan memburu “waah”.
Itu juga yang mendasari
sikap saya ketika di penghujung 2005 saya diberi kesempatan menduduki jabatan
Koordinasi Pelaksana di Dit. Penyuluhan Kantor Pusat. Saat itu saya duduk
sebagai verifikator di Seksi PPh Pot. Put KPP Tanjung Priok. Banyak teman yang
menyayangkan langkah saya ini, karena meski naik jabatan posisi tersebut “tak
menjanjikan apa-apa”. Apa lacur? Setahun kemudian saya malah di-grounded menjadi pelaksana karena
modernisasi Ditjen Pajak. Menyesal? Tidak. Mengumpat? Nggaklah, wong itu
pilihan saya sendiri karena saya malas jadi AR.
Saya tadi mau nulis apa
ya? Oh..iya, baru inget, rejeki lungsuran.
Tempo hari adik saya berkunjung ke Bandung. Pulangnya saya bawain setas
pakaian bekas saya. Pakaian bekas itu terdiri dari kaos, celana panjang, dan
kemeja batik. Di keluarga kami memang punya kebiasaan saling melungsurkan
pakaian yang masih layak pakai. Ketika kuliah di STAN, saya amat senang
di-lungsuri kaos Hammer dari Mas Joko, kakak sepupu yang sudah mapan sebagai
supervisor di pabrik rotan. Saya menyesal tak semua pakaian tersebut muat oleh
saudara-saudara di Wonogiri karena postur saya yang sungguh ideal ini.
Beruntunglah saya
mendapatkan pasangan hidup yang juga nggak hobi ngemol dan bersolek dengan barang mahal. Baginya belanja sayur di
pasar Kramat Jati, Pasar Andir, dan Pasar Ciroyom itu sebuah kenikmatan
tersendiri. Baginya membeli pakaian di butik itu sebuah pilihan terakhir,
ketika toko langganannya di Pusat Grosir Cililitan dan Pasar Baru Bandung sudah
tak menyediakan pakaian lagi. Baginya mengenakan pakaian kondangan seharga 60
ribu itu bukan masalah, yang penting warnanya gathuk dan pas di badan. Saya sih seneng-seneng saja, meski
imbasnya saya juga harus nrimo
dibelikan baju batik produk Thamrin City seharga 100 ribu per 3 buah, atau
celana kerja dari Fabric Bajoe seharga 59 ribu.
Pun demikian dengan
anak-anak. Kami menanamkan sikap samadya kepada mereka, meski memang tak selalu
berhasil. Setidaknya anak sulung saya pede-pede saja menaiki sepeda bekas seharga
300 ribu, atau gitar listrik bekas seharga sejuta setengah. Ketika saya
berganti ponsel, maka ponsel lama saya hibahkan ke nyonya, lalu ponsel nyonya
dihibahkan ke si sulung, dan terakhir ponsel si sulung dilemparkan ke adiknya. Lir gumanti, silih berganti, saling memberi,
demikianlah ajaran orang tua kami.
Maka ketika teman karib yang berpenghasilan 120 juta per bulan heran dengan kecukupan hidup kami, saya hanya tersenyum lebar sembari berucap, "Kan aku nggak kayak kamu, harus tinggal di komplek mewah, harus rutin makan kepiting lada hitam, harus pakai pakaian bermerk, harus disopiri, dan harus-harus yang lain, fellow." Di ujung pertemuan malam itu, dia berkomitmen membantu cicilan mobil bekas saya. Penak, to?
Maka ketika teman karib yang berpenghasilan 120 juta per bulan heran dengan kecukupan hidup kami, saya hanya tersenyum lebar sembari berucap, "Kan aku nggak kayak kamu, harus tinggal di komplek mewah, harus rutin makan kepiting lada hitam, harus pakai pakaian bermerk, harus disopiri, dan harus-harus yang lain, fellow." Di ujung pertemuan malam itu, dia berkomitmen membantu cicilan mobil bekas saya. Penak, to?
Saya masih ingat, suatu
pagi, seorang teman biasa (saya tak terlalu akrab dengannya) mengirim pesan
pendek.
“Met, mau tab bekas?”
“Wah… mau banget, Mas. Tapi
saya belum punya anggaran untuk beli, tu?”
“Nggak usah dibeli, aku
ganti dengan i-Pad. Merk Cina gpp, kan?”
“Walah, gpp Mas. Merk Tri Windu aja saya mau.. hahahaha”
Tri Windu adalah nama
pasar barang loak di Solo sana. Itulah kisah tab pertama dan satu-satunya yang
berhasil saya punyai, lungsuran. Saya
yakin, tangan Tuhan sedang bekerja lewat Pemangku Jabatan Eselon III di
Kemenkeu itu.
Saya juga masih ingat,
tanah Lee Kwan Yu berhasil saya jejak untuk tujuan membezuk saudara yang sedang
sakit, juga berkat kebaikan kawan. Tiket dan uang saku sudah dicukupi, bahkan
ketika pulang saya masih bisa kemaki nunjuk-nunjuki sisa dollar Singapura.
Dengan segala kabejan (keberuntungan) tersebut apakah
saya lantas Cuma bisa ngathong
(menengadahkan telapak tangan) mengharap belas kasih orang? Tentang ini, bapak
saya berpesan. Orang hidup itu punya sewu
dalaning rejeki, seribu pintu rejeki. Bobollah dengan kekuatan niat
ingsun-mu. Lelah? Gampang, tengoklah sejenak lek Kadiyo yang begitu keras
mengejar sesuap nasi, Pakde Yadi yang menghabiskan hari di ladang, Kang Satimin
yang seolah tak kehabisan cucuran keringat. Maka ketika beberapa minggu yang
lalu seorang teman sejawat di sini meminta tolong untuk memotret acara reuni
angkatan dia, saya iyakan dengan sepenuh hati. Kawan saya itu sampai nggak enak
hati karena ternyata saya banyak dikenal di angkatan mereka, melebihi dirinya
sendiri. Saya sih santai saja. Bagi saya, menenteng kamera itu mendatangkan
pride tersendiri, apalagi pulangnya disodorin 10 lembar ratusan ribu. Pekerjaan
kasar apa yang dalam 10 jam mendatangkan uang segitu? Saya rasa tidak banyak.
Maka ketika belakangan
nyonya bertanya tentang kenaikan penghasilan bulanan, saya stop dengan satu
kalimat, “Sebelum masuk rekening tak usah dibahas. Setelah masuk rekening
jangan lantas lupa daratan. Ada hak
orang lain dalam setiap jengkal rejeki kita, itu yang lebih utama.”
Nyonya paham, untuk urusan satu ini suaminya memang rada-rada ndeso.
Maka ketika malam Minggu
kemarin saya bercengkerama dengan Bapak di Cilebut sana, tiba-tiba saya
teringat kenangan masa kecil. Di desa kami, setiap ada kendurian, imam
tahlilannya pasti mbah Modin. Dia bukan siapa-siapa saya, hanya kebetulan rumah
kami berdekatan. Cucunya seusia dengan saya. Di balik sifatnya yang galak, dia
amat perhatian dengan anak-anak kecil. Jangan harap lolos dari sergapannya
ketika rambut kami gondrong. Mbah Modin pasti akan segera menggelandang kami
untuk dicukur. Pun juga dia amat rajin memeriksa gigi susu kami. Siapapun yang
giginya sudah mau tanggal pasti dia copot dengan jurus sekelebatan tangan.
“Pak, lebaran nanti
ingatkan saya untuk memberi mbah Modin sedikit rejeki.”
“Lah ada apa, Le?”
“Gini, Pak. Jaman dulu,
waktu saya masih suka ikut Bapak kendurian, uang rokok mbah Modin itu selalu
dikasih ke saya?”
“Mosok? Padahal dia kan
punya cucu sendiri?”
“Lha ya nggak tau, Pak. Cuma
seratus rupiah sih, tapi saya tahu itu amat bernilai saat itu.”
Lir gumanti,
silih berganti, saling memberi. Jangan-jangan hidup ini hanya sebatas itu.
Bandung, 23 Maret 2015.
No comments:
Post a Comment