Wednesday, September 23, 2015

BELENGGU BIROKRASI

Saya baru lunas membelokkan mobil ke arah tol bandara Soekarno-Hatta, ketika ponsel saya berdering.
“Assalamualaikum, Ma. Mama sudah mendarat?”
“Sudah, Pak. Bapak dimana?”
“Masih di tol bandara, Ma. Tunggu ya.”
Detik berikutnya saya dilanda kegugupan. Jarak ke bandara masih lumayan jauh, sekitar 25 kilometer, sementara lalu lintas lumayan padat, padahal waktu telah menunjukkan hampir pukul 11 malam.
Ketika akhirnya mencapai Terminal II D, saya segera mencari tempat parkir yang sedekat mungkin dengan pintu keluar terminal kedatangan. Perhitungan saya adalah bawaan nyonya, bunda Heni dan Ibu mertua akan banyak sekali. Maklum, perjalanan Umroh pasti membuat tas mereka beranak-pinak.
Saya bersama dua anak saya segera menuju ke pintu keluar penumpang, tempat ratusan orang sedang berkumpul di situ, untuk tujuan yang sama, menunggu sanak saudara. Panggilan ke nyonya tak dia respon, sedang sibuk nunggu bagasi, pikir saya. Kami bertiga segera duduk di lantai ruang tunggu sembari saya kabarkan ke nyonya via chat bahwa kami sudah sampai di sini.
“Pak, aku laper, beliin roti dong,” pinta Abyan.
“Ya sudah, kalian tunggu di sini ya, bapak beli roti ke mini Alfa,” jawab saya sembari menuju minimarket yang terletak tak jauh dari tempat kami duduk.
Tiga potong roti dan segelas kopi yang saya bikin dari mesin pembuat kopi instant segera saya boyong ke kedua anak saya. Pada saat yang bersamaan tampak rombongan nyonya keluar dari terminal kedatangan. Anak saya segera lari menghambur ke mereka, sementara saya sibuk memegangi bawaan dari minimarket itu.
Setelah bersalaman dengan mereka, saya merogoh saku celana, mencari-cari kunci mobil. Empat kantong celana saya rogoh, kunci itu tak ada di sana. Saya panik. Saya interogasi kedua anak saya, apakah melihat atau memegang kunci tersebut. Mereka menjawab tidak tahu. Saya segera berlari ke tempat kami duduk tadi, tak ada juga.
“Gimana, Pak, belum ketemu kuncinya,” tanya nyonya dengan wajah letih. Perjalanan selama 9 jam tentu amat berat baginya. Apalagi ini adalah baru kali kedua dia naik pesawat terbang.
“Nggak ada tu, Ma. Adoooh, jatuh dimana ya…perasaan tadi bapak kantongin.”
Saya kian panik. STNK ada di dalam dompet yang saya jadikan gantungan kunci. Ditambah lagi, saya baru ingat, saking buru-burunya, karcis parkir ada di dalam mobil, tidak saya kantongi. Hal tersebut sebetulnya bukan kebiasaan saya ketika parkir mobil. Saya amat disiplin soal tersebut. Karcis parkir pasti saya kantongi di saku belakang bagian kiri. Pertimbangan saya, saku itu paling jarang saya jamah.
“Mama tunggu sebentar deh, bapak liat di parkiran dulu, siapa tahu kuncinya ketinggalan di dalam mobil.”
Saya segera berlari ke parkiran mobil. Begitu sampai di sana, mobil masih berada di tempatnya. Pintunya pun terkunci rapat. Dengan bantuan senter ponsel, karcis parkir itu tampak tergeletak di konsol tengah, amat kentara dari luar. Benak saya penuh rasa waswas, jika kunci itu ditemukan oleh orang jahat, dan dia berhasil menemukan mobil yang cocok plat nomornya dengan yang tertera di STNK, maka dia bisa melenggang keluar parkiran membawa mobil ini karena dia memegang dua kunci utama, STNK dan karcis parkir. Saya segera kembali ke keluarga saya yang masih menunggu di sana.
“Kalian pulang naik taksi aja ya, kuncinya belum ketemu. Bapak cari dulu di sini,” ujar saya dengan nada pasrah dan bersalah. Niat menjemput mereka jadi buyar gara-gara kunci mobil ketlisut.
Setelah mereka pergi, saya segera kembali ke samping mobil. Penjagaan fisiklah satu-satunya benteng terakhir keamanan mobil ini. Untuk beberapa saat saya tak mampu berbuat, bahkan berfikir apapun. Saya bisa saya mendobrak kaca mobil ini, tapi alarm pasti akan bekerja, dan saya juga tidak punya kunci cadangan. Kondisi saya kian buruk ketika ada peringatan bahwa ponsel saya lowbat. Saya juga tidak membawa power bank.
Koneksi data segera saya matikan agar konsumsi daya irit. Saya segera menghubungi adik saya yang tinggal di Bogor untuk mengabarkan kondisi saya. Kepadanya saya berpesan jika sampai besok pagi saya tak memberi kabar tolong susul ke sini. Setelah itu saya hanya bisa duduk termangu di samping mobil. Di sebelah saya tampak dua pria sedang ngobrol. Tampaknya mereka tengah menunggu seseorang. Saya timbul ide.
“Permisi, Pak, boleh minta tolong nitip mobil saya sebentar, kuncinya jatuh, saya mau lapor ke satpam dulu.”
“Oh iya, Mas. Kami masih lama di sini, kok.”
Saya segera berlari lagi ke pintu terminal tadi. Kepada petugas keamanan yang ada di situ saya utarakan masalah saya.
“Coba Bapak hubungi kantor kami. Kalo ada barang ditemukan biasanya disimpan di sana.”
Saya segera menuju ke kantor dimaksud. Ruangan itu sepi, perlu beberapa kali uluk salam sebelum akhirnya muncul sesosok pria yang tampaknya tengah tidur.
“Nggak ada kunci diserahkan ke sini, tu Pak. Coba Bapak hubungi pos polisi di lantai dua. Kadang diserahkan ke sana juga.”
Sembari berjalan ke pos dimaksud, saya terpikir satu hal.
“Permisi, Pak. Saya kehilangan kunci dan STNK mobil, apa ada yang menemukan dan menyerahkan ke sini, Pak?”
“Kapan hilangnya, Pak?”
“Kira-kira sejam yang lalu, Pak.”
“Nggak ada tu, Pak,” jawabnya sembari tetap meluruskan pandangan ke arah layar kaca yang ada di depannya.
“Kalo gitu, apa saya bisa minta tolong hubungi ke kantor parkir bandara agar mereka ngeblok parkir mobil saya sehingga nggak bisa keluar parkiran, Pak. Soalnya karcis parkirnya ada di dalam mobil,”
“Wah, kami nggak punya nomor telponnya, Pak. Bapak datang langsung saja ke sana. Tuh kantornya di samping pintu keluar parkir.”
Gleg… saya tercekat. Jawaban itu tak saya duga sama sekali. Untuk obyek sevital ini masak mereka tak saling punya nomor kontak.
“Atau barangkali bisa Bapak kontak ke mereka dengan HT, Pak. Saya kawatir dengan mobil saya.”
“Nggak nyambung juga HT kami dengan mereka, Pak.”
Tanpa berucap apapun, saya tinggalkan petugas itu dengan perasaan kesal. Saya kembali berlari ke arah mobil. Saya bernafas lega, mobil dan dua orang pria tadi masih ada di situ. Saya segera pamitan ke mereka untuk melanjutkan urusan.
Kantor operasional parkir bandara itu terletak di dekat pintu keluar parkir. Seorang anak muda menyambut saya dengan raut sumringah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Kepadanya segera saya ceritakan permasalahan yang membelit saya.
“Oh, baik, Pak. Saya bantu blokir nomor mobilnya biar nggak bisa dibawa keluar parkir. Untuk lebih amannya sebaiknya bapak hubungi sekuriti bandara biar ban mobil Bapak digembok.”
Saya turuti saran tersebut. Saat yang bersamaan ponsel saya sudah mati. Saya segera mendatangi seorang sekuriti yang sedang berjaga di tempat parkir. Dia segera mengontak kantornya untuk memanggil mobil yang membawa gembok raksasa.
Gembok yang biasa digunakan untuk menyegel ban mobil yang parkir sembarangan itu akhirnya dipasang di mobil saya. Saya juga harus menandantangi beberapa surat terkait hal itu. Barulah saya bisa bernafas lega.
“Kalo mau bikin laporan kehilangan STNK kemana, ya Mas?” tanya saya ke mereka.
“Ke Polres Bandara, Pak. Kantornya di deket ATC. Bapak bisa naik taksi ke sana.”
Saya segera mencari taksi. Meski dilanda letih yang luar biasa, pikiran saya mulai tenang. saya bahkan belum sempat mengabarkan apakah rombongan keluarga saya tadi sudah sampai rumah atau belum. Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dinihari.
Gerbang polres itu tertutup rapat, untunglah tidak terkunci. Tak ada satu orang manusiapun di pos penjagaan. Dengan langkah celingukan saya menelusuri sudut-sudut kantor untuk menemukan petugas. Akhirnya saya menemukannya di balik pintu yang setengah terbuka.
“Ada apa, Pak?”
“Mau lapor kehilangan STNK, Mas.”
“Tunggu ya, Pak. Bagian reserse sedang ke lapangan. Ada penemuan mayat.”
Gleg. Saya kembali tercekat.
Lima belas menit kemudian tiga orang berjaket hitam masuk ke ruangan itu sambil menenteng senter. Di pinggang mereka tersembul senjata api.
“Macem-macem aja, jam segini ada mayat,” ujar mereka dengan nada menggerutu. Saya diam terpekur.
“Ada apa, Mas?”
“Mau lapor kehilangan STNK dan kunci mobil, Pak.”
“Pinjam KTP sama fotokopi STNK atau BPKB-nya.”
“KTP ada, Pak. Kalo fotokopi STNK dan BPKB nggak bawa lah. Kan hilangnya di parkiran bandara.”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus melampirkan dua dokumen itu.”
“Terus gimana dong, Pak? “
“Lapor aja di pos polisi dekat rumah Mas sambil bawa dokumen itu.”
Dengan langkah gontai saya tinggalkan kantor gelap gulita itu, menuju taksi yang menunggu di luar pagar.
“Ke Halim ya, Pak,” ujar saya memberi perintah.
Sepanjang perjalanan ke rumah saya tak habis pikir dengan alur birokrasi dan lemahnya koordinasi di republik ini. Saya tak bisa membayangkan seandainya kejadian ini menimpa orang yang tidak lincah secara fisik seperti saya. Akhirnya saya tertidur sepanjang perjalanan.
Pagi itu saya bangun dengan kepala berat.  Saya juga masih dilanda kantuk dan letih. Siang itu orang tua saya mau pulang kampung setelah seminggu yang lalu pulang umroh bersama saya. Seharusnya orang tua dan mertua serta kakak ipar saya berangkat umroh bareng. Karena permasalahan penerbitan visa akhirnya keberangkatan mereka tak bisa berbarengan. Saya bersama orang tua berangkat duluan, sementara ibu mertua dan kakak ipar berangkat belakangan. Dengan pertimbangan tertentu akhirya nyonya ikut berangkat umroh bersama rombongan ke dua ini.
Setelah mengantarkan kedua orang tua ke terminal bus Pinang Ranti, saya bersama adik saya pergi ke pos polisi Cililitan untuk mengurus laporan kehilangan. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke bandara. Untuk mengantisipasi keadaan, saya juga mengajak tukang kunci yang mangkal di Cililitan. Jasanya mungkin akan saya perlukan untuk membobol pintu mobil karena saya tak punya kunci mobil cadangan.
Sebelum berangkat tadi nyonya berpesan agar saya mencari kunci mobil itu di minimarket tempat saya membeli roti dan kopi. Siapa tahu tertinggal di situ, katanya. Pesan itu setengah saya abaikan karena saya tak merasa membawa kunci tersebut ke situ.
Begitu tiba di bandara saya kembali mendatangi petugas yang berjaga di meja kecil dekat pintu keluar. Jawabannya tetap sama, tak ada penemuan kunci mobil. Saya segera menuju ke minimarket, hitung-hitung iseng saja, walau saya amat tak yakin.
Saya segera mengelilingi minimarket yang tak berapa luas tersebut. Tempat-tempat yang semalam saya sambangi tak menampakkan kunci mobil itu. Saya mampir ke kasir.
“Mbak, apa ada kunci ketinggalan di sini?”
“Ada, Pak. Kunci mobil ya? Nih…”
Jreng……!!!!!! Mata saya hampir meloncat dari kelopaknya. Di tangan gadis berambut ekor kuda itu tergenggam barang milik saya. Saya segera menyambarnya, memeriksa isi dompet dan menemukan STNK di sana. Kasir itu bercerita bahwa temannya yang shift malam menemukan dompet itu di dekat mesin pembuat kopi. Sampai akhir masa dinasnya pagi tadi tak ada seorangpun yang menghubunginya, makanya dia menitipkan barang tersebut ke penggantinya.
“Terima kasih, Mbak. Tolong saya titip ini ke mas yang nemuin dompet ini,’ ujar saya sembari menyelipkan uang tak seberapa.
Dengan langkah ringan saya segera menuju ke kantor pengamanan bandara untuk membebaskan belenggu roda mobil saya. Seiring dengan tergelincirnya matahari ke ufuk barat, belenggu seberat puluhan kilo itu dilukar dari roda mobil. Lukar pula kepenatan saya. Tukang kunci yang saya bawa dari Cililitan itu hanya duduk termangu sembari memegangi seperangkat alat pembobol kunci mobil.


Bandung, 23 September 2015.

No comments: